Part 05

4 0 0
                                    


Mataku terkesiap. Aku seperti masih di pusara masa lalu. Senyuman itu pernah menjadi milikku. Senyuman yang membuatku tenang. Tanganku mulai bergerak hendak meraih raut wajah itu, sebelum sebuah panggilan seketika membuyarkan lamunanku.

Mataku mengerjap berulang kali ketika tersadar dari kepingan masa lalu yang berhasil menyeretku. Aku kembali ke dunia nyata sambil menghirup napas panjang. Aku melepas senyum pada pemilik suara yang memanggilku lembut.

"Ai? Su-sudah lama?" tanyaku kemudian.

Kembali raut wajah itu memberiku senyum. "Kamu kenapa? Dari aku sampai di sini, aku lihat kamu lagi bengong. Aku panggil-panggil kamu nggak denger. Kamu kenapa? Mimpi itu lagi?" tanya Ailani lembut.

Aku hanya mampu mengangguk lemah. Kepada Ailani, aku mulai menceritakan mimpiku tadi malam dan malam-malam sebelumnya. Tentang pertemuanku dengan Mita, kemiripan Mita dengan Arumi dan kemudian berakhir dengan pertanyaanku kepada Ai.

"Apa kabar suamimu? Masih di luar kota?"

"Kabar dia baik. Mas Tendy memang sedang ada proyek di luar kota. Dia pulang dua hari sekali." Ai menceritakan suaminya sambil menunduk.

Aku seperti menangkap genangan air mata di pelupuk matanya. Lebih lama aku memperhatikannya. Mengamati dugaanku bahwa Ai sedang menahan tangisnya.

"Ai ...." Suaraku mulai tercekat. "Jangan bohong. Ada apa?"

Ai memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia sedang berusaha menutupi sesuatu. Namun, sepertinya kantung matanya sudah tak mampu lagi menahan air matanya, lalu jatuh satu demi satu.

"Kenapa nangis? Cerita, Ai."

Aku mendesaknya dan hampir saja aku meletakkan tanganku di atas tangannya untuk meredakan tangisnya seperti dulu. Aku menarik tanganku lagi, sadar bahwa Ai istri Guntoro. Senior Ailani di Fakultas Hukum. Pria yang sangat terobsesi memiliki Ai bahkan sejak masih bersamaku.

"A-aku minta maaf. Aku bukan ingin mengganggu rumah tangga kalian. Maafkan aku."

"Van ...," panggilnya lirih, "kamu masih ingat ramalan tarot waktu itu?" tanyanya kemudian.

Aku memejamkan mata sambil mengangguk. Itu juga yang terjadi dalam mimpiku beberapa malam ini. Aku sedang bertengkar hebat dengan Ai tentang foto itu. Foto yang entah siapa pembuatnya. Sampai sekarang pun aku sulit menemukan jawaban; kenapa foto itu bisa ada di tangan Ai.

"Kamu berpikir pertengkaran kita waktu itu sama persis dengan ramalan kartu tarot?" tanyaku hati-hati.

"Bukan Cuma pertengkaran kita, tapi juga rumah tanggaku. Kamu masih ingat? Dia meramalkan setelah kita putus masa laluku akan datang mengganggu rumah tanggaku."

Aku buru-buru menegakkan tubuhku, mencondongkan lebih dekat lagi.

"Ai! Pertengkaran kita waktu itu tidak akan terjadi kalau kamu percaya sama aku. Foto tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang sedang terjadi. Visualnya bisa mengakibatkan otak berpikir ke mana pun dia mau. Arumi tiba-tiba nyebur. Apa aku–sebagai seorang dokter–membiarkan seseorang tenggelam? Coba pikir, Ai!"

"A-aku ...." Suara Ai mulai serak.

"Aku wajib menolongnya apalagi aku sedang berada di sana."

"Ya, kamu memang sedang di sana bersama dia. Kamu juga sudah menjelaskan pembicaraan kalian selama di sana dan tujuan kamu berada di sana."

"Terus kenapa kamu tetap nggak percaya? Bahkan kamu lebih memilih mengakhiri hubungan kita?"

"Untuk membuktikan ramalan itu benar adanya."

"Maksud kamu?!" tanyaku mulai meninggi.

"Ya, itu takdir. Takdir yang sesuai ramalan," ucapnya tenang.

Aku menghela napas panjang. Ternyata Ai lebih memercayai analisis kartu itu daripada penjelasanku. Tanpa aku sadari, dengan menghubunginya, akum akin menguatkan kebenaran sebuah ramalan.

"Ai ...."

"Mas Gun bilang, sudah dua kali mendengar aku menerima telpon dari kamu tengah malam."

"Jadi suamimu ada di rumah semalam? Bukannya kamu bilang suamimu dinas luar kota? Sampai-sampai kamu bilang aku beruntung?"

"Aku bohong, Van. Aku juga kaget waktu aku melihat Mas Gun keluar dari kamar mandi. Aku coba jelaskan, tapi Mas Gun tetap marah. Tadi malam kami bertengkar hebat."

"Kalau kalian baru bertengkar, kenapa kamu tetap mau temui aku, Ai?"

"Supaya kalian bisa menyelesaikan masalah kalian berdua yang sempat tertunda." Suara berat itu tiba-tiba saja muncul dari belakang Ai.

Pria itu menatapku tajam. Sorot matanya seperti menantang padaku. Aku membalas tatapannya tanpa rasa ciut.

"Maafkan saya. Saya bisa jelaskan. Sama se–"

"Cukup. Cukup, Van. Jangan jelaskan apa-apa pada saya. Selesaikan saja masalah kalian. Saya beri ruang untuk kalian."

"Ta-tapi ini berpotensi salah paham! Sebaiknya Anda juga di sini," pintaku pada Mas Guntoro.

"Tidak ada gunanya saya berada di antara kalian." Guntoro berlalu.

Aku melihat Ai tak berusaha mengejarnya. Ai seperti pasrah.

"Kenapa kamu biarkan suamimu pergi?" tanyaku kemudian.

"Kita selesaikan masalah kita, urusan Mas Gun biar jadi masalahku."

Aku tak mampu berkata lagi. Beberapa saat kami hanya diam. Membiarkan waktu jauh bergulir tanpa saling bertukar kata. Sampai akhirnya aku menegaskan perihal mimpi.

"Dalam mimpiku kamu marah besar karena foto aku bersama Arumi. Kamu pergi karena sebuah kesalahan yang tidak aku lakukan. Sepertinya pertemuan kita hari ini untuk meluruskan masalah. Setelah sekian tahun kita berpisah, kamu pun sudah menikah. Kamu tetap pada pemikiran kamu, itu hak kamu. Kamu mempercayai ini bagian dari ramalan tarot pun aku tak punya hak menyangkal. Aku minta maaf jika beberapa mala mini ketenteramanmu. Aku juga tidak ingin tindakanku ini justru makin membenarkan ramalan tarot kita dulu."

Ah, tarot! Sial!

#6

#onedayonepart

#liezerswritingproject

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang