2.

2.8K 179 8
                                    

(( Saya bersama imajinasi kotor nan nista hina, terus berlanjut sampai selanjutnya. Masih membaca ini? Well, memang baru permulaan. Peringatan, tetap berlaku, omong-omong. ))

°
°
°
°
°

Taehyung ingat ia berlari ke arah pintu, tapi terkunci. Ia menggedor-gedor bilah kayu itu juga memanggil-manggil nama yang sekiranya adalah satu-satunya penyelamat. Seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya dan sudah ia beri segala yang ia punya. Seseorang yang menyayanginya.

Namun, saat itu Taehyung ditinggalkan. Dirinya tak lagi didengarkan dan disayang. Tangan yang menggenggamnya sudah lepas dan berubah dingin. Dihempas begitu saja. Dibuang ke dalam kumpulan pria lapar yang sama sekali tak pernah ia lihat sebelumnya.

Katanya Taehyung adalah kesayangan.
Katanya Taehyung dicintai.
Katanya Taehyung segalanya.

"Sudah tidak lagi. Kau cuma pelacur kecilku yang malang. Tak ada yang kuinginkan selain tubuh dan tanda-tanganmu. Setelah itu, kau cuma sampah."

"Kenapa? Kenapa?!"

Kalau saja Taehyung bisa melupakan jawaban darinya, semua mungkin lebih baik.

"Di dunia ini, tak ada yang gratis. Manusia hanyalah bentuk nyata dari sifat iblis sebenarnya, manis. Kau sungguh naif."

Lalu semua kacau. Entah sesudah atau sebelumnya pintu itu menutup baginya. Meninggalkannya sendirian di sana bersama iblis-iblis berwujud manusia, yang menyiksa tubuhnya dengan segala kekerasan fisik sampai membuatnya gila.

Tubuh serasa remuk. Wajah menebal mati rasa. Lengket cairan mani dan sperma di dalam dan luar tubuh yang begitu pahit menekan mental. Sampai tidak tahu lagi bagaimana melawan. Marah. Sedih. Kesal. Segala emosi bercampur baur dengan semua indra perasa. Chaos.

Jalan satu-satunya hanya dengan membunuh itu semua.

.

"Taehyung? Taehyung? Hei, nak? Sadarlah. Ini aku. Jangan pikirkan itu lagi. Dengarkan aku. Taehyung?" Dante menepuk-nepuk pipi sedikit tembam itu dengan pelan. Berusaha meraih kedua mata bulat basah agar fokus padanya. Begitu iris cokelat terang itu bergulir tepat membalas manik tua Dante yang kehijauan, Dante serasa mendapat angin segar.

"Mimpi itu lagi ...," lirih Taehyung segera. Sebulir air mata menuruni pipinya saat Dante memeluk sembari mengecupi puncak kepalanya. "Kenapa?"

"Tak usah pikirkan itu, sekarang tenanglah. Ada aku di sini, oke?" Dante merasakan belum ada respon, jadi ia mengendurkan pelukan guna mengecek. Taehyung menatap kosong ke arah pintu. "Kau—astaga, nak. Maafkan aku. Ini takkan terjadi kalau saja kuminta Norah menjemput dan bukannya membiarkanmu jalan sendiri. Kau takkan mimpi seperti tadi. Terlebih mengalami kejadian malang itu. Ya, ampun. Maafkan aku, Taehyung. Maafkan aku ...." Dante mengusap air mata kemudian mengecup pelipisnya, lalu kembali merengkuh erat. Sedikit berayun seperti menimang.

Kedua mata bulat itu mengerjap beberapa kali sampai sadar ia tengah berada di mana. Di kamarnya yang minim perabot serba biru pastel dan tengah dipeluk erat oleh orang yang selalu datang kapan pun ia sedang kesulitan. Menarik ingus, Taehyung meremas punggung lebar itu.

"Dante."

"Iya, aku di sini. Maafkan aku. Marahi atau minta apa pun. Aku layak kau beri hukuman, Tae." Dante mengusap-usap punggung kecil yang sebelumnya menggigil takut.

"Dante tidak salah. Dante selamatkan Taehyung. Tidak perlu hukum."

Dante tersenyum. Tubuh yang dipeluknya boleh lebih dari anak seumuran sepuluh, hampir berumur tujuh belas malah, tapi tutur katanya masih seperti bocah. Bukan hanya karena Taehyung bukan penduduk asli yang entah bagaimana berakhir di stasiun perbatasan, tapi juga fisiknya yang beda jauh. Selain nama, tak ada yang disebut Taehyung saat ditemukan.

to die for | vottom ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang