Terbangun dengan rasa remuk di sekujur badan adalah hal yang tidak menyenangkan. Belum cukup dengan penyebab mengapa dirinya berakhir demikian mengenaskan di atas ranjangnya sendiri, di tubuhnya dengan nyata tersisa bekas kejadian semalam. Maunya hanya diam dan tergeletak, karena demi apa pun, rasa letih begitu menguasai. Belum lagi, siap terpicu menggaruk seluruh kulitnya.
Namun, seperti telah dikontrol sesuatu, Taehyung bangkit dari ranjang dengan tertatih menuju kamar mandi. Bau khas persetubuhan membuat dirinya merasa jijik kian kuat. Sesekali meringis, Taehyung pun mulai mengguyur diri dengan air dingin. Bergeming di bawah pancuran, berharap setiap inci kotoran yang tertinggal tersapu bersih. Kalau bisa malah, isi kepalanya juga.
Denyutan mengganggu itu begitu menyebalkan dan tak kunjung mau pergi.
Taehyung seolah dipaksa menyadari diri sendiri bahwa terlalu menyedihkan dan murahan.
Tidak berguna juga payah.
Sampai puas menyalahkan diri sendiri dan menangis tak bersuara, Taehyung pun keluar. Mungkin akan tetap bergerak seperti robot kalau telinga tidak menangkap bunyi pintu dan suara yang amat ia rindukan.
Jam menunjukkan sudah pukul sepuluh pagi. Jika informasi Norah benar, Dante harusnya sudah tiba. Dorongan semangat mendadak tumbuh dalam dada Taehyung, membuatnya bergegas memakai baju dan sweter berkerah tinggi yang hangat, guna menghalau dingin. Bukan cuaca, tapi dari dalam dirinya.
Masih sesekali meringis akibat pinggul yang nyeri dan bokong perih, Taehyung menggunakan tangan bertumpu pada dinding sambil berjalan menuju ruang kerja Dante. Pria itu pasti mengira Taehyung tak ada, makanya langsung menuju ruangannya sendiri. Rasa rindu membuncah seperti kelegaan tiada tara, semakin dekat Taehyung ke sana. Suara Dante menjelas. Begitu banyak yang ingin ditumpahkan Taehyung dalam isak tangis yang mencekat lehernya, ketika mendadak ia mendengar suara jahanam itu lagi.
"Dia bukan Max, kak. Sadarlah. Kau pun tak tahu latar belakangnya. Ditemukan nyaris menggelandang pula. Kau harus bisa bangkit dari keterpurukan. Yang kulakukan padanya, bukan tanggung jawabmu dan kau tahu itu."
Meja digebrak kemudian. Dante mengumpat. Di luar Taehyung membeku.
"Berengsek kau, Darren! Bagian mananya yang kurang jelas?! Apa yang kau pikir sudah kau lakukan?! Tak cukup mengorbankan Darton kemarin itu dan kau berpikir lebih hebat jika langsung merasakannya sendiri, iya? Kau sinting! Dia itu rentan! Kau bakal membuatnya trauma dan—"
"Ayolah, kak! Kau dan aku punya selera yang sama dan berhenti sok budiman begini! Dramamu yang memergokiku saja sangat remeh. Aku muak, kak. Kau sendiri yang bilang, Max, keponakanku takkan tergantikan, lalu apa ini? Mau menyimpannya sampai kapan? Kau dapat barang bagus dan bahkan mengangkatnya anak untuk apa? Menikmatinya sebagai barang seperti yang sudah-sudah, bukan? Kita berdua ini iblis, kakakku sayang. Ayolah."
"Darren. Dia sangat rapuh dan—"
"Berhenti, kak. Jujur pada dirimu dan akui saja. Tipe kita sama."
"Darren!"
"Meh. Kesempatanmu sudah hilang sepuluh tahun lalu dan demi ibu di atas sana, bocah itu bukan darah dagingmu! Jadi, terima saja bagaimana takdirnya ditentukan. Kalau kau tak sanggup, biar aku yang melakukannya. Toh, sudah kurasakan sendiri kualitasnya."
Bunyi kursi terdorong dan helaan napas panjang setelahnya. Taehyung masih bergeming, merasakan kakinya yang berpijak mulai goyah, tapi ia tak mampu bergerak. Nyawanya seperti tersedot pergi. Begitu saja. Bunyi pecah kaca imajinatif memenuhi kepalanya.
"Darren. Aku hampir bisa memilikinya penuh, tapi kau dan Darton mengacaukan segalanya."
"Salahkan anak itu yang terlalu menggoda."
KAMU SEDANG MEMBACA
to die for | vottom ✔
Lãng mạnYang tinggal kini, hanya keinginan untuk mati, tapi ia punya sedikit harap bisa menemukan siapakah yang layak untuk itu. Seseorang yang dirasanya pantas sebagai empunya nyawa yang ia miliki. Seorang yang tulus mencintainya luar dalam. Tanpa pamrih...