Chapter 22. Lost Feeling, Feeling Lost

464 84 19
                                    

⌜𝙎𝙪𝙛𝙛𝙤𝙘𝙖𝙩𝙚𝙙 (adj.) 𝑓𝑒𝑒𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑟𝑎𝑝𝑝𝑒𝑑 𝑎𝑛𝑑 𝑜𝑝𝑝𝑟𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑⌟

─────────────────────

Bakugou memperhatikan kegaduhan di tengah komplek asramanya dari depan kamar Midoriya. Ia bisa melihat hampir setengah dari teman di kelasnya berlarian mengambil cutter dan tiner--termasuk Midoriya. Bakugou ingat sekali bagaimana rupa kamarnya beberapa minggu lalu ketika seseorang melakukan kegiatan vandalismenya di sana. Ia juga ingat bagaimana ekspresi wajahnya, tepat seperti wajah Kirishima yang sekarang tengah terpaku pada bagian depan kamarnya yang penuh coretan.

"Guys! Ambil trashbag, sebelum jam setengah tujuh kita selesein!" Iida berseru dari depan kamar Kirishima.

Di sebelah Bakugou Todoroki menyenderkan badan pada pilar, "Gue penasaran, apa orang itu orang yang sama kayak yang nyoret-nyoret kamar lo?" matanya sedang melihat ke kamar Kirishima ketika Bakugou menoleh.

"Mungkin?" Bakugou meresponsnya dengan nada pertanyaan, "Siapa yang tahu?"

Bakugou mengedikkan bahu tidak peduli. Saat matanya kembali memperhatikan kamar Kirishima, ia sadar Kirishima tengah menoleh padanya. Melayangkan tatapan yang seolah menderita.

❅❅❅

"Lo bales dendam sama gue."

Mereka sedang di perpustakaan, pada mata pelajaran seni budaya. Bakugou sedang mencari buku sumber untuk mengerjakan tugasnya saat ia mendengar Kirishima memberikan pernyataan yang menurutnya menggelikan. Bakugou mengalihkan pandangannya dari permukaan buku, menoleh pada Kirishima-yang terlihat kacau dengan lingkaran hitam matanya.

"Huh?" Bakugou tertawa kecil, "Itu bukan bales dendam, Kirishima. Lo bisa bilang apa yang gue kerjain sebagai bales dendam kalau gue ngelakuin hal yang sama persis kayak yang lo lakuin. Sementara gue cuma corat-coret kamar lo."

"Enggak, lo emang mau bales dendam sama gue." Kirishima mendekatinya, "Lo mau ngapain setelah ini? Lo mau minta maaf? Lo mau sebar foto gue? Lo mau nge--"

Bakugou menelengkan kepala, "Rape you?" Kirishima mendadak mundur selangkah.

"Atau sekarang lo lagi ngerasa terancam--will you call him out so he can help you rape me again to shut my fucking mouth?" Bakugou menyimpan buku di tangannya pada rak, "Do it. Lakuin sekarang, pake tangan lo. Iket tangan gue lagi atau bikin gue enggak sadar kayak dulu. Lakuin!" ia menarik kedua tangan Kirishima, menempatkannya pada pahanya.

Kirishima melotot, ia segera menepis tangan Bakugou, "B-Bak--"

"Shut the fuck up!" Bakugou menatapnya tajam, "Enggak ada Bakugou di sini! Bakugou yang lo kenal udah lama mati! Sama matinya kayak 'Katsuki' gara-gara lo yang terus minta excuse--gue nyerah liat lo hari ini baik, besoknya lo gila! Just go to a psychiatrist or kill yourself I don't care anymore!"

Ia melihat kedua tangan Kirishima bergemetaran, tetapi amarahnya sudah tidak bisa terbendung.

"Call him." Bakugou mendekati Kirishima, "Panggil dia, panggil sisi biadab lo. Kalau perlu, biarin dia ngelakuin apa yang dia mau buat terakhir kalinya dan gue bakal bales lo berdua dengan cara gue sendiri nanti. Gue pastiin lo enggak bakal pernah lupain apa yang bakal gue lakuin."

Kirishima menarik tangannya sebelum Bakugou sempat melangkah, "P-please, Bakugou g-gue--"

Bakugou menepisnya, "Gue enggak peduli lagi sama apapun yang mau lo omongin. I've lost my feeling, Kirishima. Sorry." ia memberikan ekspresi datarnya, meninggalkan Kirishima yang terdiam.

❅❅❅

Bakugou memperhatikan baik-baik sebuah foto pada ponsel Aizawa. Terlalu jelas untuk Bakugou tidak mengenali dua orang yang ada di dalamnya adalah dirinya dan Kirishima--meskipun kepala Kirishima sepenuhnya tertutup bayangan gelap. Kepalanya perlahan berdenyut, layar ponsel Aizawa mendadak blur di matanya. Bakugou segera menyodorkan kembali ponsel itu sebelum jatuh dari tangannya, ia beralih memijit keningnya. Aizawa lantas mengambil segelas air, membiarkan Bakugou meneguknya.

Bakugou sudah mulai melupakan kejadian itu seminggu ini, tetapi foto pada ponsel Aizawa membuat kepalanya otomatis memutarkan kembali adegan itu. Ia menggigit bibirnya, menahan mual yang tiba-tiba muncul. Saat itu, baik Bakugou maupun Aizawa tidak berkata apa-apa selama sepuluh menit setelahnya.

"Itu saya." Bakugou akhirnya berbicara, "Itu bukan foto palsu."

Ia melihat Aizawa berganti ekspresi, untuk pertama kalinya ia melihat Aizawa berganti ekspresi. Pria hampir paruh baya di depannya itu mengepalkan tangan di atas paha. Bakugou menebak gurunya itu sedang menyusun kalimat dalam kepala untuk membuatnya merasa lebih baik--seperti kebanyakan guru lain yang menangani siswa-siswanya. Sekadar basa-basi belaka supaya masalah mereka terkesan cepat usai. Akan tetapi, apa yang keluar dari mulut Aizawa membuat Bakugou terkejut.

"That's suck, problem child."

Bakugou tertawa sejenak, "Yeah, Sensei. That was suck."

"Berapa kali?"

"Dua. Dua kali yang berhasil. Setahun yang lalu, dan malam itu." Bakugou menunjuk ponsel Aizawa, memaksudkannya pada foto yang ia lihat sebelumnya.

"Siapa aja yang tahu tentang ini?" tiba-tiba percakapan mereka berakhir secara kasual.

"Enggak ada," Bakugou menggeleng, "kalaupun ada, mereka enggak ada yang bakal buka mulut, Sensei."

Aizawa di depannya terlihat menghela napas, "Kenapa kamu enggak lapor? Saya bisa bantu kalau kamu bicara lebih awal."

Bakugou diam sebentar, "Membantu seperti apa? Membuka identitas saya dan orang yang melecehkan saya?"

"Itu bukan pelecehan ringan," Aizawa menatap Bakugou dengan serius, "itu pemerkosaan. Pelanggaran asusilanya lebih tinggi."

Bakugou tertawa kecil, "Tapi saya laki-laki, Sensei. Kasus yang dialami cewek aja banyak yang akhirnya diredam, apalagi saya yang laki-laki."

"Saya bakal bantu kamu dapetin keadilan. Berapapun biaya yang harus saya keluarin." Aizawa masih menatapnya.

"Kasih tahu saya, Sensei." Bakugou balik menatap mata pria di depannya lekat-lekat, "Mereka yang punya gangguan mental enggak bakal dapat hukuman. Mereka di anulir dari sederetan kriteria tersangka. Kalau orang yang ngelecehin saya ini punya gangguan mental, seberapa banyak keadilan yang bakal berpihak ke saya?"

Ia melihat Aizawa seperti hendak bicara sesuatu, tetapi gurunya itu kembali merapatkan mulutnya. Bakugou tahu persis apa yang pria itu pikirkan. Kerumitan. Sebab setiap kali semua orang bicara tentang keadilan, sebenarnya keadilan itu sendiri menjelma dalam berbagai bentuk, sesuai apa yang orang-orang proyeksikan dalam diri mereka sendiri. Beberapa orang akan terus berpikir ulang, 'Apakah penjelmaan keadilan menurut saya sudah compatible untuk semua orang?' dan berakhir kecewa.

Bakugou tertawa miris, "Saya tahu, Sensei." ia memajang senyuman, "Kayak Sensei hari ini, I've been feeling so fucking lost before."[]

─────────────────────

Counting ...

[Todoroki Shouto | Bakugou Katsuki] Suffocating Book I: SuffocatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang