16. Langkah Padam

229 38 2
                                    

Sejak awal Elang tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Hanya saja malam tadi hampir membuatnya gila. Ia tak tidur karena Tirta yang tiba-tiba berkata tentang masa lalu. Bagaimana dia menceritakan sedikit dari memori lamanya dan berakhir Elang yang kembali membuka lembaran kelamnya.

Meski pagi ini Gilang memutuskan untuk ambil cuti lebih lama karena Tirta yang tiba-tiba pingsan saat keluar dari kamar Elang. Gilang tidak tahu apa yang terjadi saat Tirta berada di kamar Elang. Karena yang Gilang tahu setelahnya Elang hanya diam, padahal Elang ada di sana, meski berdiam diri di tempat tidurnya.

Beruntungnya Arthur ada di sana ketika Gilang hendak menggendong Tirta. Arthur ikut andil untuk membantu. Entah harus berkata apa, karena Gilang sendiri sedikit kepayahan jika harus mengurus kedua adiknya yang sama-sama sakit.

"Lo nggak sekolah?" tanya Gilang.

"Gue izin, gue nggak tega lihat lo ngurus mereka sendirian, gue cukup paham besar tanpa orang tua itu kayak gimana. Karena Mama gue sendiri udah nggak punya orang tua, lebih tepatnya nenek dan kakek gue udah nggak ada. Ya, hitung-hitung amal jariyah." sahut Arthur.

Begitu ringan Arthur bercerita. Begitu tenang Arthur mengatakannya dengan senyum. Sejenak Gilang berpikir apa yang Arthur katakan. Tidak semua orang bisa mengurus sesuatu hanya seorang diri, mereka juga pasti menbutuhkan orang lain. Hanya saja jarang ada orang lain yang mau membantu dengan suka rela sama seperti yang Arthur tunjukkan.

Bukan, kah Arthur telah memberikan sebuah contoh untuk saling mengasihi walau tidak sedarah sekali pun? Lalu apalagi yang harus dikhawatirkan, sementara semuanya sudah terjadi.

"Kak, gue udah bilang sama lo. Jangan pikirin  hal yang nggak berguna, lo nggak sendiri, lo masih punya gue, Kak Endru, dan yang terpenting, kesehatan diri lo sendiri supaya lo bisa jaga mereka. Kak Elang dan Tirta. " ucap Arthur.

Gilang menoleh, "Lo bener."

"Urusan izin gampang, tadi gue udah bilang Mama gue juga,  minta tolong izinin ke sekolah. Lo nggak perlu pikirin lagi. Sekarang fokus lo buat mereka, gue siap bantu kok."

"Thanks."

Arthur hanya mengangguk, kemudian membiarkan Gilang bersama Tirta di kamarnya. Baru saja keluar dari kamar Tirta, suara gaduh kembali timbul dari dalam.kamar Elang. Cepat-cepat Arthur menghampirimya. Elang ada di sana, meringkuk di atas lamtai yang dingin. 

"Elang.... cepat keluar dari sana. Ayah nggak suka punya anak lembek kayak kamu, jangan buat Ayah malu di depan rekan bisnis Ayah, dengar itu Elang? Cepat keluar!"

Ingatan itu kembali mengganggunya. Sekuat apapun Elang mencoba bersembunyi, tetap saja ia akan runtuh ketika ingatan itu kembali muncul.

"Kak, lo kenapa? Ini dingin, nanti lo masuk angin."  suara Arthur sudah memggema, bahkan Arthur bersusah payah untuk membantu Elang.

Kamarmya cukup berantakan memang, namun Arhur tak peduli, setixaknya ia  bisa membujuk Elang lebih dulu.

"Hitam."

"Apanya?"

"Hidup ini hitam, nggak ada sinar walau matahari udah bersinar tinggi di angkasa luas."

Arthur sedikit gemas, apa yang Tirta rasakan tak semudah yang dibayangkan. Mungkin ini kali pertana Arthur melihat Elang yang sedang kacau. Biasanya Tirta yang mengurus Elang sebelum berangkat sekolah. Tirta tidak mungkin mrngharapkan Gilang, karena Tirta tahu Gilang super sibuk. Tirta paham dengan pekerjaan kakaknya  yang selalu berangkat pagi pulamh malam.  Itulah mengapa Tirta jauh lebih tahu tentang Elang dari pada Gilang.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang