20. Kak Elang?

428 44 11
                                    

Pagi hari Gilang sudah dibuat panik oleh Tirta, karena Elang yang tak kunjung bangun. Gilang pikir itu hanya akal-akalan Elang yang senang mengerjai adiknya dengan pura-pura tertidur tanpa bernapas. Tapi, Gilang salah. Setelah menyentuh kening adiknya Gilang bergumam sedikit lebih pelan dari biasanya. Tepat di sebelah telinga Elang, Gilang mengatakan kalau dirinya takut.

Gilang tak pernah tahu kapan Elang terbangun, suhu tubuhnya begitu panas, tapi ia juga tidak ingin Tirta mengkhawatirkannya. Gilang pun melirik pada Tirta sambil teraenyum dan mengusap lengan adiknya.

"Hari ini gue nggak anterin lo ke sekolah, nggak apa-apa 'kan Ta?

"Santai,  Kak Elang jauh lebih butuh lo, dari pada gue. Gue masih bisa bareng sama Arthur kok," sahut Tirta.

Bersyukur Tirta bisa mengerti, setidaknya, sedikit lebih lega karena tidak berat sebelah. Selama ini, Gilang jarang sekali pulang ke rumah, mengurus Elang dan Tirta, karena pekerjaannya yang selalu padat.  Gilang selalu bisa merasa lega kalau sudah mendengar suara Elang, meski hanya lewat telepon. Selebihnya, hanya lewat pesan singkat yang ia kirim melalui ponsel Tirta. 

Kini, Gilang baru merasakan betapa payah dirinya mengurus Elang. Padahal selama ini, Tirta yang mengurusnya.  Terlihat dari sikap Tirta yang begitu terampil dan telaten saat bersama Elang. Meski Tirta selalu membuat gaduh tak jelas, juga membuat Elang kesal. Setidaknya Tirta jauh lebih baik mengurus Elang dari pada dirinya.

"Gue tahu, lo capek. Tapi jangan kelamaan juga,  buka mata lo, kita sarapan bareng, habis itu minum obat," ucap Gilang sambil mengusap rambut hitam milik Elang.

Gilang tahu, bisiknya hanya sampai sebatas angin tak lebih. Bahkan semut saja tak mungkin bisa mendengarnya. Saat Tirta berpamitan, Gilang hanya menyuruh anak itu untuk  membawa bekal yang sudah ia siapkan di atas meja makan.

"Ka-"

Pelan suara Elang nyaris tak terdengar, Gilang menoleh, sambil menggenggam jemari adiknya. Matanya yang masih terpejam benar-benar membuat Gilang   bernapas lega, ia bisa melihat kedua kelopak matanya bergerak, tak lama Elang pun membuka kedua matanya.

"Gue di sini, ada apa ?" tanya Gilang. Elang diam, ia tidak bergerak sama sekali atau berkata apa pun.

Gilang tidak tinggal diam, ia pun mengompres kening Elang, setelah ia tahu Elang tekena demam. Gilang benar-benar khawatir jika Elang atau Tirta  sudah sakit. Bahkan ketika Tirta sakit saja, Gilang benar-benar tidak tidur karena Tirta yang terus mengigau menyebut nama Elang dan dirinya.

Jika boleh meminta pada Tuhan, biarkan Gilang saja yang sakit jangan kedua adiknya. Sebelum saat ini tiba, Elang adalah orang yang bisa terbilang rentang terserang penyakit. Meski hanya penyakit ringan, tetap saja sembuhnya akan lama. Elang sendiri juga termasuk keras kepala jika di minta untuk istirahat sejenak. Ia akan menolak dan memaksakan diri dengan alasan supaya cepat sembuh. 

Itu dulu, ketika Gilang masih punya waktu luang meski sebenarnya tidak sama sekali. Gilang memang mengatakan kalau dirinya tidak sibuk, tapi siapa yang tahu? Jauh dibalik ucapan itu diam-diam Gilang juga bekerja. Sama seperti yang ia lakukan di malam-malam sebelumnya.

Jauh sebelum hari ini, tiga hari lalu Gilang mengalami sesak pada dadanya, cowok itu tidak akan memperlihatkannya, tapi ia tahu kerika ia hendak mengambil segelas air mineral dari dalam kulkas, di lantai dua tepat di depan kamar Elang... Gilang melihat adiknya berdiri diam seperti patung, sambil memeganh pagar pembatas tangga.

"Jawab Lang, lo mau bilang apa?"

Tidak! Sekali lagi Gilang hanya bicara pada sosok yang diam seperti patung. Hela napas Gilang justru membuat Elang terisak dengan sendirinya. Hal yang paling Gilang takutkan jika Elang tiba-tiba menangis. 

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang