5. BUSURNYA TAJAM

433 50 18
                                    

Elang yang terkejut ketika mendengar suara Tirta yang berteriak memanggil namanya, membuat Gilang ikut terlonjak dari tempat tidur. Semalam adalah waktu yang begitu panjang, setelah minum obat, Elang langsung beristirahat membiarkan semua isi kepalanya juga ikut tenang.

Dan kini, dia harus berdebat  dengan Tirta di pagi hari. Anak itu tidak akan tenang jika belum membuat Gilang dan Elang frustasi.

Gilang pikir sedang terjadi sesuatu, ternyata  hanya Tirta dengan kaos kaki belangnya yang Elang pakai untuk mengelap  cairan amis di bawah tempat tidurnya.

"Kak Elang, sumpah ya, lo ngepain pake kaos kaki kesayangan gue?" jerit Tirta yang sudah berdiri di dekar Elang.

Elang memang tidak bisa melihat, jadi apapun yang disentuhnya akan dia gunakan. Lagipula Elang mana tahu kalau benda yang ada di lemari miliknya adalah kaos kaki punya Tirta.

"Yang taruh di lemari gue siapa? Gue mana tahu ini punya lo, lagian lo ngepain muntah di kamar gue? Bau nih!"  balas Elang tak mau kalah.

Baru saja mau melempar buku gambar  yang ada digenggamnya, suara Gilang sudah lebih dulu memecah keributan di sana. Tirta menoleh, menatap tak suka pada Gilang  dengan wajah khas bangun tidurnya.

"Lihat tuh Kak, Kak Elang pake kaos kaki gue, pasti lo, kan yang taruh di lemarinya? Ngaku lo?!" sarkas Tirta. Ya, sejujurnya apa yang Tirta katakan ada benarnya. Kemarin siang Gilang  menemukan barang yang dia tidak tahu itu punya siapa. Jadi,  Gilang  menaruhnya di tempat Elang, yang dia pikir memang milik Elang. Tapi siapa sangka, pagi ini, Tirta dengan kehebohannya memnuat Gilang harus bangun di pagi hari.

"Ya, maaf. Lagian itu kaos kaki gue pikir  punya Elang, tadinya mau gue buang udah buluk nggak elit banget, gue kaya tapi adeknya pake kaos kaki buluk nggak berguna."

Dam!

Untuk pertama kalinya Gilang mengatakan hal yang membuat Tirta benar-benar tak terima. Gilang pikir  sebuah benda yang usang bisa seenaknya dibuang?  Gilang hanya lupa akan sesuatu saja, kan?

"Enak ya, tinggal bilang buang?" tanya Tirta, Gilang mengangguk santai dengan kedua tangan yang sudah dilipat di depan dadanya.

"Iyalah. Emang harus di buang, kan? Emang mau di apain?" balas Gilang.

"Dengar ya, Kak. Nnggak semua hal bisa lo beli pake uang, termasuk kenangan." kata Tirta, tangannya sudah mengepal, lalu merampas paksa  kaos kaki yang ada dalam genggam Elang, sampai cowok itu terdorong sedikit ke belakang.

Ada getir yang membuat Gilang harus berpikir di pagi hari tentang ucapan Tirta. Dia benar-benar hampir gila, jika setiap hari harus mendengar Tirta dan Elang berdebat. Untung saja kali ini Tidak bermain fisik pada Elang. Meski pada kenyataannya Elang yang akan memulainya,  jika dia merasa terancam seperti pagi ini.

"Santai dong! Lo pikir gue robot, main dorong aja, otak dipake, bukan di pendem, kayak masker aja!"

"Bangsat! Lo yang pake otak, tanya  dulu kalo mau ngapa-ngapain,  mata tuh di pake, bukan buat pajangan doang!"

Seolah detik memnjadi beku, suara Tirta menggema di telinga Elang.  Saat itu juga Elang mulai kesal dan marah. Tangannya mengepal kuat, mengacak apa yang ada di dekatnya sambil berteriak.

Sungguh, hal ini yang selalu Gilang benci. Ucapan Tirta selalu menjadi  topik perbincangan yang sangat menyebalkan. 

"Tirta!"

"Apa? Lo juga, lo Kakak gue, kan? Ah.... gue lupa, gue nggak punya Kakak, percuma ngomong sama  lo berdua, nggak ada gunanya gue di rumah."

Tepat  saat Tirta menyelesaikan kalimatanya,  satu hantar panas yang Gilang berikan di pipi Tirta membuat anak itu memegangnya. Kali ini Tirta sudah kelewatan, Gilang tidak suka.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang