15. Memori Lama

241 36 8
                                    


Gilang kembali menarik ingatannya  ke tempat di mana dulu pernah menghambiskan masa kecilnya. Berlari   mengejar Tirta dan Elang. Tak lepas dari semua keributan karena mainan pasir juga mobil-mobilan yang berakhir  salah satu dari keduanya menangis.

Gilang mengingatnya, bahkan ia sangat ingat pertama kali Elang belajar bermain sepeda dan jatuh berkalk-kali. Gilang juga ingat saat pertama kali Tirta memanggilnya dengan sebutan Kakak. Di sana Gilang mengingat semuanya. Gilang mengingat saat Ayah dan Mama mereka tertawa bersama ketika melihat kelakuan jahil Tirta pada Elang.

Namun... detik kembali memngupas beberapa luka yang Gilang coba tutupi dari masa lalunya. Gilang, Elang dan Tirta hanya segores ingatan untuk orang lain.

"Ini?"

"Iya, jawaban yang lo mau."

"Kenapa tempat ini?"

"Sedikit kisah yang lo mau tahu dari apa yang lo cari tahu, semua hal dan segala urusannya. Lo tadi nanya, gue siapa ? Gue, Gilang Rafardhan Putra. Putra sulung dari tiga bersaudara. Apalagi yang mau lo cari tahu?"

"19930, chat atas nama gue. Lo belum jawab, Kak.  Siapa lo dan kenapa lo nimbun sebegitu banyaknya." tanya Tirta. Gilang hanya tersenyum, kemudian berjalan  meninggalkan Tirta yang masih terlaku di tempatnya.

"Kak Gilang! Jawab gue! Maksudnya apa ?"

Bahkan seorang Tirta yang jahil pun masih mampu menahan amarahnya walau pada kenyataannya, Tirta ingin sekali memukul wajah Gilang yang sok ke gantengan.

"Kak! Kita mau ke mana sih? Kita pulang aja deh." ucap Tirta.

Tepat di depan sebuah rumah berbentuk jamur khusus anak-anak Gilang menghentikan langkahnya. Kemudian sedikit membungku untuk mengintip dari celah jendela yang berukuran sedang.

"Kita mau ngepain sih, di sini? Ini rumah mainan buat anak kecil, lo udah tua nggak mungkin muat."

"Lo lihat anak kecil di dalam sana, lihat tuh." sahut Gilang. Mau tidak mau, Tirta menurut apa yang Gilang katakan. Ia pun ikut membungkuk setelahnya.  Betapa terkejutnya saat melihat Elang  yang ada di sana. Duduk sendirian di sudut sambil memeluk kedua lututnya.

"Kak Elang, Kak?" tanya Tirta.

Gilang mengangguk,  cowok itu pun berdiri kemudian kembali menjelajah  tempat yang lain. Di sana ada seorang anak kecil yang berdiri sambil memegangi ujung baju Ibu-nya. 

"Tuh, di sana. Lo kenal dia?"

"Itu... gue?"

"Iyap, itu lo orang yang jahilnya minta ampun. Karena lo Elang dimarahin Mama,  Elang bersembunyi sampai nggak mau pulang. Kalau nggak ada Ayah, mungkin dia menolak pulang ke rumah." timpal Gilang.  Tirta menoleh ke arah Gilang yang berdiri begitu santai.

"Lo itu egois Ta, semua hal lo mau rebut. Tapi lo nggak mikir perasaan orang lain. Lo mau semuanya, tapi lo lupa selain lo punya gue, lo juga punya Elang.  Lo tahu Elang susah di ajak ngobrol, bahkan sampai keadaannya kayak sekarang pun Elang orang yang paling sedikit bicara." lanjut Gilang.

"Lo nyalahin gue?" sahut Tirta. Kali ini Gilang berbalik sempurna menghadap Tirta. Senyumnya sedikit lebar kemudiam menepuk kedua bahu adiknya.

"Gue nggak nyalahin lo sepenuhnya, gue cuma mau kasih lihat ke lo sedikit dari ingatan, yang mungkin dari kita bertiga lupa." ucap Gilang.

"Lo tahu setelah kejadian itu kalian selalu nggak akur. Tapi setelah itu, kalian baik lagi dan begitu terus sampai Ayah sama Mama pergi ninggalin kita bertiga. Lo percaya sama gue, tapi gue masih kayak begini aja. Gue masih belum bisa jadi Kakak yang baik buat kalian." ucap Gilang.  Detik berikutnya Tirta menepis kedua tangan Gilang, lalu melangkah mundur.

Gilang pun mengangkat kedua tangannya ke udara, tanda menyerah kemudian berbalik dan kembali melangkah.

"Kak Elang!"

🎸🎸

Arthur tiba-tiba terlelap di kursi meja makan ikut terkejut ketika Tirta meneriaki nama nama Elang. Gilang yang baru keluar daru pantri  juga ikut terkejut. 

"Lo kenapa, Ta?" tanya Arthur. Tirta menoleh, kemudian menatap Gilang yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Minum dulu, lo ketiduran tiap kali ngobrol sama gue, dan itu belum kelar." sahut Gilang sambil menyodorkan segelas teh hangat pada Tirta.

"Gue ketiduran lagi?" tanyanya memastikan. Gilang kembali mengangguk begitu juga dengan Arthur.

"Lo mimpi apa, sampai segitunya manggil nama Elang?" tanya Gilang.

"Iya, Ta, lo mimpi apaan? Di jam segini, lho." tambah Arthur.

Tirta hanya menggeleng, rasanya seperti nyata dan begitu jelas. Namun Tirta tak bisa menjelaskan betapa mengerikannya saat melihat Elang di sana. Tirta pun bangkit, kemudian berlari menaiki anak tangga menuju kamar Elang. 

Tirta bisa melihat tubuh Elang yang terbaring lelap dan tenang di sana. Bahkan jemari yang terbalut pelester pun terlihat  sangat mencolok dengan warna merah muda yang tak sengaja Tirta temukan di laci lemari Elang.

Kakinya melangkah, mendekati ranjang Elang. Ada gelisah yang coba Tirta simpan rapat belakangan. 

"Kak, seandainya lo emang udah nggak ada,  tolong balikin gue ke dunia yang sebenarnya. Gue nggak mau hidup dalam kegelisahan sepanjang hari. Gue mau hidup sebagai Tirta yang biasa, gue tahu ini menyakitkan buat lo. Tapi sejak kejadian itu, gue nggak pernah tenang. Tolong gue, Kak." guman Tirta.

"Kak, maafin gue untuk waktu yang lama. Waktu di mana gue udah buat lo di marahin Mama, buat lo jadi di jauhin Kak Gilang, dan buat lo di keluarin dari tim basket. Semuanya karena gue. Karena gue yang selalu ingin menjadi nomor satu.  Tapi, Kak... dibalik itu semua gue sayang sama lo, gue tahu lo selalu takut sendirian, takut gelap dan sekarang ketakutan lo bertambah juga karena gue yang nggak denger peringatan dari lo. Gue minta maaf, Kak."

Panjang ucapan Tirta menjadi akhir  malam yang begitu singkat untuknya. Bahkan ketika Tirta keluar dari kamar Elang, cowok itu membuka matanya dengan tetes air mata yang mengalir bebas di sudut matanya.

Ada jejak ingatan yang semula Elang tutupi namun kembali terbuka oleh Tirta.  Ada takut yang ingin Elang hindari namun kembali terlihat betapa  sakitnya saat itu. Saat di mana semua orang pergi tanpa memikirkan Elang ada atau tidak.

"Ayah bilang kalau kita saudara, Ta. Tapi Ayah juga bilang, gue cuma menyusahkan. Itulah kenapa gue nggak suka kalau lo ganggu gue."

Keresahan yang selama ini coba Elang tutupi dari siapa pun termasuk Gilang. Awan kelabu di sana menjadi kunci kebisuan Elang ketika  sang Ayah bersama dengannya. 

Di mana Gilang dan Tirta dengan manisnya menikmati es krim mereka. Kemudian Mama mereka yang tertawa riang melihat Tirta dengan jejak es krim yang celemotan. 

Elang melihat semuanya dari balik tubuh tegap  sang Ayah. Elang hanya tak bisa mengatakannya pada Gilang, Tirta dan Mama kalau dirinya sangat takut. 

"Dengar Ayah, ya, Elang. Kamu memang anak Ayah, tapi kamu selalu membawa beban. Karena kehadiran kamu,  usaha ayah menurun, karena kamu juga beberapa rekan bisnis Ayah membatalkan kerjasamanya. Kelahiran kamu itu membawa sial.  Tapi Ayah bersyukur memiliki Tirta. Usaha Ayah kembali bangkit, itu semua karena kehadiran Tirta. Jadi, kamu jangan coba-coba menyakiti Tirta."

Sesak yang selalu menyerang Elang adalah memori lama ketika ia harus melihat wajah seram Ayahnya saat menyuruhnya keluar dari rumah jamur itu.  Tatap tajam menusuk, membuat anak belia seusia Elang pasti akan menangis, namun tidak dengan Elang.

Sepenggal saja sudah membuat Elang terus menahan sesak, apalagi harus mendengar semuanya. Semua hal yang sampai detik ini masih harus ia selami sampai ke dasar. Jika boleh Elang meminta, hadirnya  hanya sebagai pelengkap keluarga Rafardhan bukan lagi sebagai anggota resmi. 

Jika seseorang menanyakan apakah mereka baik-baik saja? Jawabnya, hanya waktu yang tahu.


Nah, segini dulu, ya. Ada yang kangen mereka ? Mana suaranya ?

Publish, 23 Desember 2020

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang