18. Sudahkah Berakhir?

264 37 2
                                    

Hari semakin siang, setelah makan siang, Gilang tak lagi ada di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari semakin siang, setelah makan siang, Gilang tak lagi ada di sana. Di kamar Elang atau Tirta. Cowok itu memilih berdiam diri duduk sambil mrnikmati masa cutinya dengan menonton televisi.

Semua yang Gilang rasakan adalah biasa, bukan berarti dia tak peduli. Dia hanya  tak mau mengingat kejadian beberapa jam lalu, ketika ia melihat Elang di dalam kamar mandi.

Gilang hanya bingung dengan ucapan Elang sebelum ia memilih untuk meninggalkannya sendirian.

Elang yang dia lihat seperti semu, tergenggam hanya sesaat. Sebenarnya, apa maksud perkataan Elang? Bukan kah Gilang sudah bangun dari tidurnya ? Atau yang sebenarnya, dia sedang menikmati mimpi panjang sememtara raganya tak ada di sana?

Gilang benar-benar dibuat pusing oleh Elang hari ini, bahkan ketika Gilang sedang mengobati tangannya yang  terluka, Elang justru berbicara dengan suara yang bergetar. Gilang bisa melihat kedua mata Elang sudah memerah menahan tangis.

"Gue pecahin cermin kamar mandi, jangan lo ganti." ucap Elang. Gilang tak menyahut, dia hanya mendengarkan apa yang Elang katakan tanpa berkomentar. Tapi, siapa sangka perkataan Elang selanjutnya malah membuat Gilang emosi sejadinya.

"Lo pikir mati itu enak? Lo kalau ngomong diayak dulu, ini dunia, bukan negeri dongeng. Lang, lo itu kenapa sih? Dari kemarin, omongan lo nggak ada yang bener."

"Mati, cara terbaik buat seseorang menghilangkan rasa sakit, Kak."

"Nggak ada omongan kayak gitu, hidup dan mati itu ada ditangan Tuhan. Lo bukan Tuhan, yang seenaknya bisa  ngomong atas kehendak sendiri. Inget, Lang. Sesakit apapun lo, gue ini tetep Kakak lo. Orang yang akan bertanggung jawab kalau lo atau Tirta kenapa-kenapa. Ngerti? Udah deh, jangan bahan tentang hidup dan mati, selagi masih dikasih napas, gunain yang bener. Jangan sampai napas lo abis terus nyesel sama omongan sendiri."

Setelah itu Gilang berlalu, membiarkan Elang berpikir, ucapannya mungkin sudah menyakiti Gilang. Untuk itu Gilang memilih pergi dari pada harus berlama-lama dengan Elang. Lagipula, Gilang bukan orang yang senang berdiam diri di satu ruangan, nyatanya kini, Gilang sudah berpindah ke halaman belakang untuk meredam semua amarah dan emosinya.

"Kak, gue udah agak mendingan nih,  berarti besok udah bisa masuk sekolah,kan?" tanya Tirta. Anak itu berdiri di belakang Gilang selagi Kakaknya sedang meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Belum ada beberapa menit Gilang berada di sana, suara Arthur sudah mulai terdengar dari luar.

Gilang menoleh, tapi hanya sebentar."Pastiin lo di sekolah nggak bikin gara-gara. Nggak ada yang nolongin lo, kalau lo cari masalah."

"Nggak akan, udah, tenang sekarang udah tobat. Lagian ada Arthur kok, yaudah duluan Kak, gue mau samperin  Arthur dulu."

Seperti biasa, Tirta itu bagai angin, datang dan pergi sesuka hati. Pantas saja Elang selalu kesal jika berlama-lama bersama Tirta.

Elang dan Tirta itu sama, mereka bisa menimbun luka namun, Elang jauh lebih pandai sampai rasa sakitnya saja tak ada yang tahu. Kali ini Gilang hanya perlu memikirkan sedikit tentang kedua adiknya, tapi ucapan Elang tetap terngiang.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang