3. EGOIS

633 60 15
                                    

Pesan Elang untuk kalian
Sayangi diri bukan sekadar batin. Tapi juga raga yang perlu diperhatikan.
. . .

Selamat membaca  😊

🎸🎸

Jika ditanya bolehkah Tirta egois? Apakah dia harus mengalah terus? Lalu gunanya Elang untuk apa?

Sejak jam istirabat berakhir... sekitar lima belas menit lalu. Tirta tetap diam di kursinya tak bergerak sedikitpun. Bahkan dia mengabaikan panggilan Oscar yang sejak beberapa waktu lalu memintanya untuk menemani mencari buku di perpustakaan saja, dia tetap tidak menyahut. Dan sekarang Tirta malah melamun dengan sebelah tangan yang dilipat di atas meja sebagai bantalan kepalanya yang ia letakan di sana.

Tirta pikir Elang akan benar-benar melawannya, bahkan Tirta bisa melihat bagaimana Elang menjatuhkan barang-barang yang ada di atas meja belajarnya dengan begitu brutal.

Tirta juga cukup tahu diri untuk tidak mendekat selagi Elang dalam keadaan emosi. Tirta hanya tak tahu cara  meraih tangan Elang ketika dirinya hendak menjauhkan benda-benda yang bisa membuat Elang terpeleset. Belum ada satu barang yang benar-benar di singkirkan, Elang sudah terpeleset lalu membentur sudut tempat tidur.  Alhasil, pelipisnya menjadi santapan manis  malam itu.  Tirta panik bukan main, anak itu terus menghubungi Gilang tapi kakak sulungnya sama sekali tidak menjawab atau membalas pesannya satupun.

"Tirta, ada apa?" Suara Arthur mengalihkan pikirannya, membuat Tirta menatapnya. Tirta hanya diam, membuat Arthur mengusap punggungnya seraya memberi tenang untuk temannya yang  sejak datang pagi tadi hanya diam tanpa kata.

"Lo pernah mikir nggak sih, di saat lo rapuh tapi lo juga dikucilkan?" tanya Tirta tiba-tiba. Tak ada yang salah sebenarnya, hanya saja dirinya terlalu sibuk memikirkan kejadian tadi malam yang membuatnya panik setengah mati.

"Lo habis ribut sama Kak Elang?"

Pertanyaan Arthur langsung diangguki oleh Tirta. Arthur selalu tahu lebih dulu walau Tirta tidak menceritakannya.

"Gue nggak sengaja senggol jam tangan favoritnya di atas meja belajar, dia denger. Buru-buru dia raba jamnya yang udah pecah dilantai. Pas gue mau bantuin dia malah dorong gue. Gue emosi, gue nggak terima, ya akhirnya gue dorong balik... tapi, akibat  gue dorongnya terlalu kasar jadinya kebentur sama sudut  tempat tidur." jelas Tirta. Arthur menghela napas kasar, sebelum dia kembali bertanya pada Tirta, tentang keadaan Elang.

"Terus Kak Elang gimana?" 

"Ya gitu, untungnya nggak berdarah, pelipisnya memar, cuma... gue takut di marahin Kak Gilang," katanya pelan. 

Arthur bisa mengerti posisi Tirta saat ini. Anak itu hanya tak ingin di marahi, tapi tindakannya sangat tidak dibenarkan. Dia memang kasar, bukan berarti bisa seenaknya melukai orang lain.  Apalagi  saudaranya sendiri.  Bahkan ketika Arthur berkunjung ke rumah mereka. Arthur melihat  langsung sikap telaten yang Tirta tunjukkan di sana. Membantu Elang makan siang dan menemaninya  untuk beristirahat. 

Bahkan Arthur tahu  prestasi Elang di sekolah sangat baik. Cowok itu termasuk  siswa teladan walau memiliki cara pandang yang berbeda. Tergolong siswa yang dingin serta kata-kata tajam di sela kalimat yang akan dilontarkannya. 

Tapi, semenjak  kecelakaan yang merenggut cahaya terang itu, Elang jauh lebih pendiam,  tak mau mengenal siapapun selain keluarga dan teman terdekatnya.  Arthur tahu semuanya, karena Tirta selalu menceritakan keluhnya ketika mereka bersama.  Namun, hanya satu yang Arthur tidak tahu.  Tentang Gilang yang masih abu untuk Arthur ketahui.

"Kak Gilang pasti udah tahu. Kalau lo jujur dia pasti maafin kok, asal lo nggak pakai emosi aja kalau ngomong. Kadang gue mikir, lo adiknya mereka atau bukan sih?"  Detik membawa Tirta  diam, apa yang Arthur katakan terkadang memang selalu muncul dibenak Tirta. Tapi detik juga yang membawanya kembali pada kenyataan.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang