2. SEPENGGAL INGATAN

857 72 25
                                    

Kegiatan pagi ini tidak banyak, hanya menemani Elang sarapan dan duduk bersantai di ruang televisi sambil menonton siaran baru.  Tadi, sebelum Gilang benar-benar keluar dari kamar Elang. Cowok itu sempat meminta Gilang untuk tetap di sana menemaninya. Awalnya Gilang menolak, dia cukup malas jika harus berlama-lama di dalam kamar, terlebih Gilang bukan orang yang suka menetap di satu tempat yang sama dan tidak melakukan apapun.

Cukup lama Gilang ada di sana, menunggu sampai Elang benar-benar bangun dan berhenti untuk diam tanpa kata.  Bahkan ketika Elang mengatakan kalau dirinya sempat bertengkar dengan Tirta, Gilang hanya berdiam diri tak tahu harus berkomentar apa.  Baginya  Tirta srorang remaja yang baru saja menginjak masa puber, perdebatan dan pertengkaran kecil sangat wajar. Tapi ketika dia melihat memar dipelipis Elang, pikiran Gilang tak lagi tenang. Cowok itu terlalu mencemaskan  kejadian yang aneh dan ketika tahu Elang sempat terluka cukup serius.

Enam bulan memang sudah berlalu. Tapi Gilang masih belum bisa melupakannya. Selama ini dia mencoba untuk tidak mengingat hal buruk selain menjaga Elang dan Tirta. Apalagi  dia satu-satunya orang yang mengenal adiknya jauh lebih baik.

Maka tepat ingatannya kembali tertarik sebelum kejadian berlangsung cepat sampai meninggalkan bekas luka yang cukup dalam.

"Kak, gue minta uang tambahan dong." suara bisik yang selalu Tirta ucapkan ketika Gilang sedang asik bermimpi. Cowok itu akan mengumpat lebih kejam dari seorang Ibu kost yang menagih uang kontrakan.  Menyeramkan!

"Berisik Tir. Gue nggak tuli. Uang bulan lo udah cukup perasaan, udah jangan boros-boros, hemat gue belum gajian!"

Seperti petir yang menyambar. Jawaban Gilang akan menjadi salah satu hal yang paling Tirta suka. Anak itu selalu memanfaatkan kemalasan kakaknya untuk kepentingan dirinya dan kesenangannya.

"Kak, masa lo tega sama adik lo yang ganteng ini. Lo mau adik lo kelaperan terus kurus kayak orang busung lapar? Nanti nggak ganteng lagi bisa repot, Kak."

Tirta tidak akan pernah berhenti merengek jika Gilang belum memenuhi kebutuhannya. Anak itu selalu punya cara tersendiri apalagi dia tahu Gilang tak mungkin memarahinya hanya karrna hal kecil.

Gilang sudah jengah, dia pun menyerah dan memilih untuk bangun.  Duduk dengan mata terpejam dan rambut berantakan. Gilang benar-benar tak suka jika waktu tidurnya  diganggu.  Maka Gilang mrmaksakan matanya untuk terbuka, mencoba mencari bias cahaya dari jendela dengan tirai yang sudah terbuka lebar.

Gilang melihat ke sisi kanan ranjangnya, ada Tirta di sana berdiri dengan cengiran khasnya. Bukan hanya Tirta, tapi di belakangnya Elang sudah berdiri sambil bersandar pada daun pintu kamar dengan kedua tangannya yang sudah di masukkan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Gue telat woi!" gerutu Elang, Tirta menoleh sebentar memberi isyarat kalau Elang harus menunggunya sebentar. Elang tak suka menunggu, dia mrmutar bola matanya jengah.

Gilang melihat raut wajah itu, raut wajah yang menyebalkan dari Elang jika dia sudah mulai kesal dengan Tirta.

Gilang tidak tahu apa yang ada dipikiran Elang saat ini. Yang Gilang tangkap dari tatapnya hanya ada kekhawatiran karena Elang terus menerus menatap jam tangan yang melingkar dipergelangannya.

"Buset Kak! Astaga gue berdiri kayak patung lo malah lihat-lihatan sama Kak Elang, jadi kasih uang tambahan nggak? Serius gue ada praktikum soalnya. Gue nggak bohong," ucap Tirta. Tangannya sudah melambai di depan wajah Gilang sejak lima menit lalu,  Gilang tersentak,  cowok itu segera menyambar dompet yang  diletakannya di laci dekat tempat tidurnya, membukanya dan mengambil  dua lembar uang ratusan ribu lalu diberikan kepada Tirta. 

"Gue kasih nggak cuma-cuma, sebagai gantinya uang jajan lo yang gue kurangin,  di tambah setiap sabtu minggu lo nggak boleh keluar rumah kecuali bener-bener ada tugas dari sekolah atau kegiatan sekolah dan itu Elang atau gue yang anterin. Paham?"

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang