10. APA INI MIMPI?

302 40 35
                                    

Sambil nikmatin Trilernya di atas sebelum masuk ke cerita selamat membaca 🤗

. . . .


Elang pikir semua sudah selesai, semua sudah berakhir dengan Tirta yang mau berdamai. Tapi Elang salah, bukan damai yang dimaksud adalah tenang, melainkan damai untuk tidak mendekat satu sama lain.  Elang sudah kesal pada Tirta bukan karena gitarnya yang rusak, melainkan anak itu terus memaksanya untuk minum, minuman yang Elang tidak suka sama sekali. 

Ini kali kedua Tirta memaksanya untuk minum, sebelumnya  Elang menolak baik-baik dan itu masih ditanggapi baik juga oleh Tirta. Namun, kali ini Tirta sudah menguji kesabarannya yang sudah menipis sejak  tadi.

"Gantiin gitar gue, atau lo pergi dari sini?"

"Dikit aja, Kak. Ini gue beli pake uang jajan terakhir,  nggak ada lagi," balas Tirta.

"Pergi!"

"Nggak mau," Tirta tetap pada pendirannya. Begitu juga dengan Elang yang tidak mau kalah. Dia tidak suka dipaksa, disuruh, atau ditinggalkan sendirian lebih dari satu jam. Dia benci gelap yang menemani dirinya, benci hening dan benci ketika Tirta memintanya untuk selalu bersabar menghadapi kenyataan. Menyebalkan?  Jelas. Itu sangat menyebalkan untuk Elang.

Sudah setengah jam yang lalu Elang menyuruh Tirta pergi, tapi hasilnya anak itu enggan untuk meninggalkan Elang. Katanya, Elang butuh asupan nutrisi seperti jus jeruk lemon yang sudah dibelinya.

Jika Elang boleh jujur, ia juga tidak tega dengan Tirta. Elang pun menyerah, sifat keras kepala Tirta telah mendarah daging, sulit untuk dimusnahkan. Terlebih Gilang juga sudah ikut serta di dalamnya. Mau tidak mau Elang harus meminum jus jeruk lemon yang memang masam dan dirinya tidak terlalu suka.

Sekali tegukan Elang menghambiskannya, ada senyum puas yang Tirta pancarkan, namun tak dapat Elang lihat. Sialnya adalah setelah meminun jus lemon itu Elang akan menahan sakit perutnya. Hal yang Tirta selalu lupakan.

Bahkan detik telah membawa tawa Tirta seketika henti. Mendengar rintih Elang setelah meminum lemon.

"Kak, lo kenapa ?"

Elang bisa mendengar panik yang Tirta ucapkan. Tapi sekali lagi, Elang tidak sanggup untuk bicara karena sakit pada perutnya semakin menjadi-jadi.

Cepat-cepat Tirta menyandarkan Elang pada kepala ranjang tempat tidurnya, panik yang Tirta rasakan bukan hanya sekadar tasa bersalah. Melainkan dirinya melewatkan hal yang penting dari Elang.

"Sorry, Kak. Gue lupa lo nggak suka minuman asam. Bentar gue ambil obat lo dulu." ucap Tirta lirih. Elang tidak menyahut, ia terus meremat perutnya sambil merintih. Sementara Gilang hanya memperhatikan keduanya dari kejauhan.

"Ta...Tir-ta..."

Tirta tak di sana, anak itu pergi mencari obat, baginya sendiri adalah hal menyebalkan. Sejak dulu, Elang hanya takut sendiri,  meski Elang punya saudara. Baginya sepi tetap yang paling menyeramkan.

"Elang...."

Perlahan Elang membuka matanya,  ada bias yang manusk menembus korneanya. Elang pun mengerjap berkali-kali, setelah mendapat bias cahaya yang menusuk di sana.  Ada sosok pria yang berdiri di dekat pohon besar halaman rumahnya.

Pria itu melambai, lalu tersenyum. Elang tak percaya kalau dirinya bisa melihat sosok yang berdiri di depan sana. Namanya berkali-kali terdengar begitu jelas.

"Elang! Sini!"

Elang pikir itu hanya ilusi,  ia pun mulai menjulurkan tangannya ke depan jendela kamarnya. Terkejut, itulah yang Elang rasakan. Tubuhnya tertarik ke dalam  seperti ruang waktu seorang ilmuan.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang