"Siapa Elang dalam hidup lo?"
Kalimat pertama yang bisa Gilang dengar dari mulut Tirta. Bahkan Gilang tidak pernah tahu apa yang sedang Tirta pikirkan. Kejadiannya begitu singkat, tepat di depan mata mereka Elang melangkah tanpa tahu bahaya di depannya. Semua hanya tinggal sesal yang kapan saja bisa saling menyalahkan satu sama lain.
Seperti saat ini, ketika Elang terpeleset dari tangga, Gilang dan Tirta masih sempatnya memaki, menyalahkan satu sama lain, padahal itu semua hanya kecelakaan, bukan salah siapa-siapa.
"Otak lo taruh di mana ? Ini bukan saatnya nanya hal yang nggak penting. Kita sama-sama lihat Elang jatuh, lo masih mau nyalahin gue? Waras dikit dong."
Tidak, bukan itu yang Tirta inginkan. Bukan sekadar melihat siapa yang ada di sana, tapi Tirta hanya bertanya apakah Elang begitu berharga, sampai Gilang sekhawatir itu?
Tetap saja Tirta tak mampu menanyakan hal yang sederhana walau dalam keadaan tenang sekalipun.
Bagi Tirta Gilang sama seperti trisula, yang mampu menusuk kapan pun dia inginkan. Bukan sebagai busur dengan anak panah beracun. Dia kejam dengan penampilan santainya. Siapapun yang mengenalnya akan terlihat kagum. Pada dasarnya Tirta kurang menyukai Gilang, karena Gilang yang terlihat pilih kasih. Bukan sekali, tapi sering. Dia hanya tak mau berdebat. Padahal di dasar hatinya dia juga ingin mendapat sayang dari Gilang, sama seperti Elang yang dapat perhatian lebih.
"Kak Elang aja terus, dia jauh lebih penting dari pada gue. Elang aja terus yang lo utamain. Gue benci lo Kak." ucap Tirta. Anak itu berbicara seolah tidak ada orang di sana. Dia lupa kalau dirinya sedang ada di rumah sakit sejak satu jam yang lalu. Tirta sampai lupa mengabari Arthur kalau dirinya tidak bisa masuk sekolah. Semuanya kacau, itulah yang Tirta rasakan.
"Gue nggak belain siapapun, tapi sekali lagi gue kasih tahu, buang jauh-jauh rasa iri lo dari Elang. Dia nggak akan suka kalau lo iri sama dia karena hal kecil."
Tirta menoleh, menatap Gilang. Mata keduanya beradu, membiarkan embus angin yang datang menyapa membuat mereka terdiam sejenak. Seolah ada hal yang Tirta coba ungkap tapi takut untuk mengatakannya. Detik berikutnya seorang suster yang menghentikan tatapam dingin diantara keduanya.
"Keluarga Elang Rafardhan?" tanya seorang suster itu, Gilang mendekat lebih dulu, sementara Tirta, masih diam di tempatnya.
"Saya Kakaknya, gimana adik saya?" sahut Gilang.
Suster itu meminta Gilang untuk segera ke ruang dokter yang sudah menangani Elang, tanpa pikir panjang, Gilang mengikuti langkah suster, tapi pandangannya tetap pada Tirta yang masih diam membisu."Gue harap lo paham maksud gue, jagain, nanti gue balik lagi." bisik Gilang sebelum langkahnya benar-benar memghilang. Tirta tidak menyahut, dia hanya membuang napasnya begitu keras. Dia hanya kesal, bukan karena Elang, dia hanya kesal dengan sikap Gilang yang suka plin-plan.
Baginya, Gilang dan Elang itu sama. Sama-sama menyebalkan dalam waktu bersamaan. Seolah Tirta hidup ditengah-tengah dua orang dengan latar yang hampir sama. Keduanya sama-sama memiliki tatap tajam, dingin dan menusuk. Setenang apapun ucapannya, Tirta masih bisa merasakan ada kesal dan kecewa yang coba di sembunyikan. Wajahnya terlihat begitu datar, terlebih dengan Elang. Sebelum insiden kecelakaan terjadi, Elang selalu jadi sorotan publik.
Elang satu-satunya siswa yang mematahkan hati wanita dengan ucapannya yang kelewat tenang tapi menusuk itu. Tirta masih ingat ketika dia sedang istirahat, Elang sedang bermain basket bersama teman-teman sekelasnya. Di sana banyak siswi yang memang menyukai Elang. Tapi ada satu siswi yang benar-benar suka pada Elang sampai siswi itu rela mempermalukan dirinya di hadapan umum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dive In (Sudah TERBIT) ✔
Genç KurguElang berpikir kalau dunianya akan selalu gelap. Tak lagi bisa merasakan hangat atau sesuatu yang bisa menjadikannya nyaman di keluarganya. Elang selalu ingin menjadikan rumah sebagai tempat kembali, bukan sekadar tempat untuk berlindung di saat h...