11. Jadi... Sebenarnya dia....?

305 40 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

. . .


"Semalam lo tiba-tiba pingsan, lo mikirin apa ?" suara Gilang menjadi pembuka awal ketika Elang mulai mengerjapkan matanya.

Tubuhnya begitu pegal dan terasa sakit, tapi rasa sakit perutnya sudah tak lagi ia terima. Setidaknya, Elang tahu kalau Kakaknya tidak pergi meningalkan dirinya. Elang merasa mimpinya adalah nyata, untuk sesaat ia bertanya di mana Tirta, tapi Gilang hanya menjawab dengan kedua bahu yang diangkatnya bersamaan.

"Tumben nanya Tirta, kenapa?" tanya Gilang, Elang mendesah, ia tahu saat ini pasti Gilang sedang menatapnya heran. Tapi Elang memilih diam.

"Mau ke mana? Duduk dulu, lo baru bangun, Lang." seru Gilang. Elang tidak peduli. Kakinya ia lijak di atas lantai dingin tanpa alas kaki, tangannya mulai berayun ke kiri dan kanan, agar arah jalannya tidak menabrak apapun di dekatnya.

"Lang! Mau ke mana?" tanya Gilang lagi. Elang tetap tidak menyahut. Cowok itu memilih terus berjalan tabpa tongkatnya. Elang yakin Gilang sudah membuntutinya di belakang. Namun, belum sampai pada daun pintu, langkah Elang tertahan ketika ia menyadari ada seseorang di depannya.

Perlahan tangannya ia turunkan, napas yang semula berpacu lambat kini berubah menjadi lebih cepat ketika tahu di depannya adalah Tirta. Anak itu datang tanpa permisi dengan setelan seragam sekolah lengkap dan segelas jus jeruk ditangannya.

"Mau ke mana, Kak?" tanya Tirta. Elang masih diam. Elang tidak tahu harus memulainya dari mana. Karena sejak kemarin, Elang sendiri yang mendiami Tirta.

"Minggir!" katanya. Tirta hanya menaikan sebelah alisnya karena bingung, kemudian beralih menatap Gilang yanh berdiri di belakang Elang. Tirta yakin Gilang pasti bingung dengan sikap Elang pagi ini.

"Iya, tapi lo mau ke mana? Ini masih pagi Lang, lo juga baru bangun." ucap Gilang. Ia tahu adiknya masih kesal, tapi tidak seperti bkasanya. Elang yang ada di hadapannya sekarang, jauh lebih menyebalkan dari pada semalam.

"Gue bilang minggir! Budeg? Minggir, setan!"

Tirta terkejut tentunya, bukan hanya dibentak, Tirta juga di dorong oleh Elang, sampai anak itu terhuyung ke belakang. Untung saja Gilang melangkah lebih cepat untuk menahan tubuh adiknya agar tidak terjatuh. Tirta hanya menatapnya sebentar, lalu kembali melihat Elang yang masih dalam posisinya. Cowok itu tampak ketakutan, matanya seolah berbicara hal yang lain.

"Kak?" panggil Tirta. Tangan Tirta langsung ditepis oleh Elang, ketika memegang bahunya.

"Gue minta maaf, karena gue udah rusakin benda berharga lo, maaf kalau sikap gue kadang buat lo nggak nyaman. Dan-," belum usai Tirta melanjutkan kalimatnya, suara Gilang jauh lebih dulu membuat Tirta tersentak. Tirta tidak sadar sama sekali dengan keadaan yang sedang terjadi.

"Pake otak! Lo jalan kayak yang bisa lihat aja, main pergi, nggak ngomong. Mau lo apa sih, hah?!"

Tirta menggeleng, ia melirik ke sisi dekat tangga. Di sana ada Gilang dan Elang yang sedang berdebat. Sejenak Tirta mencoba mengingat kejadian beberapa menit lalu sebelum ia melamun.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang