14. Fatka Baru

264 39 2
                                    

Tirta pikir malamnya akan terasa panjang seperti kemarin. Ternyata Tirta salah. Usai mengobrol sedikit bersama Elang, Tirta kembali melanjutkan tugasnya  yang tertunda, untung saja Arthur pengertian. Dia mau menunggu sampai Tirta bisa menemani Elang terlelap sempurna.

Sebelum obrolan itu berakhir, Elang sempat memberikan sebuah gelang miliknya pada Tirta. Awalnya Tirta tak ingin menerimanya, karena Tirta tahu, Elang sangat menyayangi gelang pemberian Gilang.  Padahal Tirta juga memiliki gelang yang sama.

Gilang memberikannya ketika cowok itu  baru kembali dari Bandung.  Alasannya oleh-oleh untuk kedua adiknya karena tidak bisa membeli apa-apa dari Bandung.

"Kak Elang udah beneran tidur?"  tanya Endru tiba-tiba.  Tirta mengangguk.  Walau tidak melihat Endru dengan wajah polosnya.

"Tumben, biasanya kalian drama dulu," sahut Oscar.

Tirta menoleh kemudian tersenyum,"Nggak semua hal cari perhatian orang pakai drama,  gue cuma menunaikan kewajiban sebagai adik  buat jagain Kakak gue yang sakit."

"Maksud gue,  tumben Kak Elang nggak marahin lo." timpal Endru lagi.

"Walau gue sama Kak Elang suka ribut nggak jelas, ngomel nggak berguna, tapi gue tahu Kakak gue itu baik dan karena dia hari ini gue ngerti satu hal. Hidup itu nggak selamanya indah, terkadang banyak hal yang orang selalu lupakan, misal hidup rukun tanpa perselisihan. Nggak saling menyudutkan, apalagi saling menghakimi satu sama lain. Nggak kayak gitu. Kak Elang ngajarin gue buat nggak egois, walau dia tahu gue selalu ingin jadi nomor satu di rumah dan di mana pun. Dia Kakak gue, benar. Tapi bagi gue, dia orang yang paling care sebelum Kak Gilang."

Cukup mengesankan untuk di dengar. Bahkan Oscar yang semula menikmati minumannya pun terhenti ketika mendengar Tirta berbicara.

Tak ada yang salah dari ucapan Tirta, hanya sedikit koreksi yang mungkin bisa Arthur tangkap di sana. Sebenarnya Tirta sedang menangis ketika tadi, tak sengaja Arthur melintas melewati kamar Elang. Arthur melihat Elang yang berusaha membereskan serpihan beling dari gelas yang pecah.

Tirta ingin membantunya, namun Elang menolak dan akhirnya  dua jari Elang tergores  cukup dalam. Arthur melihatnya, Arthur menyasikannya. Tapi Arthur tak mau mengatakannya pada siapa pun.

"Tugas gue udah kelar, nih. Besok tinggal kumpulin." Suara Arthur mengalihkan semuanya. Oscar dan Endru saling menatap satu sama lain. Membuat keduanya  kebingungan karena dari sepuluh soal baru 3 yang terjawab.

"Kayaknya gue harus pulang duluan, Bunda gue udah nanyain terus nih." sahut Endru.

"Terus tugas lo? Kan belum selesai, jangan bilang mau nyontek, nggak ada sejarahnya nyontek punya Arthur."

"Tur, Tur, Arthur. Gue kasih tahu sedikit siapa Endru. Lo tahu mie instan, kan? Nah, Endru itu ibarat mie instan yang siap santap dikala miskin. Nggak mau ribet, udahlah, lo sumbangin aja dikit jawaban lo ke kita, iya, nggak, Ndru?"

Bukan lagi ceramah yang Oscar atau Endru dapat dari Arthur. Tapi sebuah bantal sofa yang sudah ia genggam erat kemudian ia lemparkan pada kedua temannya.

Walau mekekik kesal Endru dan Oscar tak kunjung jera. Mereka justru tertawa karena melihat wajah Arthur yang memberengut tak suka pada keduanya.

Sementara Tirta hanya menonton tingkah ketiga temannya dengan pikiran sedikit tidak tenang.  Berkali-kali ia memijat lehernya. Sampai Arthur yang menyadari hal itu, cepat-cepat mendekat.

Tirta hanya menggeleng ketika Arthur bertanya apa yang terjadi,  begitu juga dengan Endru dan Oscar. Tirta pikir Elang hanya mendorongnya tidak begitu keras, jadi Tirta hanya menganggapnya biasa saja. Sampai detik kembali menyadarkan Tirta dan yang lainnya atas kedatangan Gilang.

Dive In (Sudah TERBIT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang