C-19. Buih perasaan

3 0 0
                                    

"Reynata!" panggil Karel ketika melihat sahabat kekasihnya itu berjalan di koridor fakultas kedokteran. Karna kebetulan mereka juga sama-sama mencari jurusan kedokteran, hanya berbeda spesialis saja. Reynata yang mendengar namanya dipanggil pun langsung menoleh ke belakang.

"Hai, rel kereta api. Kenapa? Tumben banget lo manggil gue, biasanya juga kalo ketemu ngga saling sapa," asal Reynata sembari tertawa kecil.

"Sialan lo, mana pernah gue ngga nyapa. Udah selesai kelas lo?" tanya Karel sembari mereka berdua berjalan keluar dari fakultas.

"Iya, cuma 2 jam doang hari ini. Lo sendiri? Pasti lo mau ke fakultas seni design, ya?" tebak Reynata karna itu sudah seperti rutinitas Karel untuk menghampiri kekasihnya jika Rea masih ada kelas atau masih ada di lingkungan kampus.

"Iya lah, masa gue nyari si Bara. Tadi dia bilang kalo dia masih di kampus. Jadi gue mau nyusul ke kelasnya," balas Karel enteng.

Reynata pun manggut-manggut mengerti. "Oh ya gue udah lama ngga liat si Bara, mentang-mentang hubungannya sama Dinda ngga ada masalah, biasanya kalo Dinda ngambek aja, pasti dia langsung ke rumah sambil bawa cemilan tuh! Udah pasti mau bujuk gue untuk ngomong sama Dinda. Gue jadi heran, yang ngambek Dinda yang dibujuk gue,"

Karel tertawa dibuatnya, sudah tidak diragukan lagi jika Bara sering meminta bantuan kepada Reynata jika pria tersebut memiliki masalah dengan Dinda. "Lo kaya ngga tau Bara aja, Na. Dia lagi sibuk-sibuknya tuh, apalagi sekarang ada guru baru. Masih muda dan cantik lagi, makin rajin deh dia ngerjain tugas,"

"Kampret, mentang-mentang guru cantik baru gercep buat tugasnya. Yaudah kalo gitu gue duluan ke basement ya, gue tadi udah ketemu sama Rea jadi gue ngga anterin lo kesana dulu," Reynata harus memilih jalan kiri untuk menuju basement fakultasnya. Sedangkan Karel jalan kanan.

"Ngga masalah, santai aja. Lagi pula gue udah biasa sendiri ke kelasnya. Hati-hati lo, Na! Kalo ketanjung lalat bilang sama gue," lelucon Karel membuat Reynata sedikit terhibur berbicara dengan pria tersebut setelah dilanda stress akibat skripsi dan tugas-tugas lainnya.

"Okay, thankyou brader! Lalat terbang ngga mungkin gue ketanjung," kekeh gadis itu kemudian berbelok arah. Sedangkan Karel melanjutkan perjalanannya menuju fakultas seni design.

Di sepanjang perjalanan ia banyak mendapatkan sapaan dan juga senyuman.

"Karel ganteng banget yaampun. Ah enak banget jadi Clearesta. Tapi, mereka cocok sih, sama-sama idola kampus."

"Ya jelas lah Karel cari cewe yang cocok sama dia, ya kali cari cewe kaya lo. Itu artinya si Karel lagi ketempelan setan kalo nyarinya kaya lo,"

"Dipelet lebih tepatnya,"

"Sialan nyakitin semua kata-kata lo berdua,"

Karel hanya tersenyum tipis mendengar pembicaraan kaum hawa disepanjang koridor, menurutnya itu terdengar lucu. "Karel, mau cari Rea dikelasnya ya?" tanya seorang perempuan. Karel pun mengangguk sembari tersenyum.

Sebentar lagi, Karel akan sampai di kelas kekasihnya. Namun langkahnya harus terhalang karna di hadapannya kini ada seorang perempuan yang katanya menyukai dirinya sejak semester 1. Naura. Ya, gadis yang katanya adalah rival Rea.

"Sore, Karel. Kamu mau kemana? Ngapain ada di koridor design? Mending kamu pulang, pasti kamu capek kan abis belajar soal kedokteran yang ribet itu," Naura mendekat kearah Karel dengan gaya centilnya itu.

Naura sudah tau jika Karel ada di koridor design untuk menjemput sang pacar. Namun, ia pura-pura tidak tau saja. "Maaf, Nau. Gue mau nyari Rea dulu. Permisi," ucap Karel sopan namun tetap saja Naura mencegahnya.

"Kenapa kamu masih aja sih sama Rea? Mending kamu putusin dia. Kamu ngga cocok sama dia!" tegas Naura dengan tampangnya yang sudah mulai kesal.

"Trus kalo Karel ngga cocok sama gue, dia cocoknya sama lo gitu? Aduuh, masih kalah jauh, mba! Muka tebelnya udah kaya tembok aja bangga. Karel soalnya suka cewe yang natural, yang ngga ribet kalo harus pake make-up!" sindir Rea sembari merangkul lengan Karel mesra.

Hal itu tentunya membuat Naura mengepalkan tangannya kuat. "Maksud lo apa hina muka gue?" gertak gadis itu.

"Gue ngga hina kok, emang fakta aja. Faktanya muka gue cakep kalo ngga pake make-up, trus kalo gue touch-up kaya lo, oh sudah pasti makin cakep. Udah, ya males gue berdebat sama lo, bikin mood gue hancur aja!" jelas Rea kemudian mengajak Karel pergi dari koridor tersebut sebelum Naura berulah lagi.

"Barbar juga ya pacar aku!" kekeh Karel sembari mencubit pipi gadis itu.

Rea pun menekuk wajahnya kesal, "Ya kamu juga kalo ketemu sama dia itu harus bisa tegas! Ngga usah peduliin dia cewe atau bukan. Jelas-jelas dia jelekkin pacar kamu di depan kamu, tapi kamu malah diem!" cerocos Rea.

Karel pun tersenyum geli mendengarnya, "Aku tadi mau bantah ucapan Naura, tapi udah duluan kamu dateng. Dan apa yang kamu bilang itu bener semua, jadi aku ngga perlu ngomong lagi."

"Bener semua? Yang mana?"

"Kalo aku suka cewe yang natural dan ngga belibet. Dan itu jatuh kepada Clearesta Putri," balas Karel dengan lantang membuat Rea tersenyum malu. Namun sedetik kemudian ia menyadari tingkahnya ini.

Wait, kenapa gue jadi kaya gini? Gue kesel banget sama Naura karna udah jelek-jelekin gue di depan Karel. Mood gue langsung down pas debat sama Naura. Bukannya gue seharusnya ngga peduli? Justru ngga masalah kalo Karel terpancing omongan Naura, kita kan jadi putus.

Tapi, kenapa malah sebaliknya? Kenapa gue jadi ngga rela gini? ASTAGA GUE KENAPA? NGGA NGGA! GUE CUMA SUKA KAIRRO ADITYA DAN SELAMANYA AKAN BEGITU.

Gue juga kenapa gampang malu, nge-fly atau baper gini? Sebelum perasaan ini berkembang gue harus bisa kontrol semuanya. Ya, gue pasti bisa. Semangat, Clearesta. Lo ngga boleh baper sama pacar lo sendiri. Ya ngga boleh.

Gila memang, baper sama pacar sendiri ngga boleh. Ya dan hidup gue memamg sudah gila.

"CLEARESTA"

Untuk informasi lebih lanjut tentang 'Clearesta' kalian bisa hubungi penulis melalui via sosial media. Mari kita sharing seputar penulis dan novel!

Instagram : @dtaarianii
WhatsApp : 081236865211

ClearestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang