☘️☘️☘️
Terlalu khawatir akan keadaan Aisha, Ashraf pulang ke apartemen. Dia berjalan buru-buru memasuki gedung apartemennya. Sebenarnya apa yang membuat Aisha takut sampai mengirimkan pesan singkat kepadanya. Ashraf mulai paranoid sebab sepupunya Rayyan sempat membacakan berita viral mengenai gadis Malaysia yang dibunuh saat sendirian dia apartemen.
"Aisha!"
Pintu apartemen terbuka. Ashraf berteriak, berlari menaiki tangga untuk menemukan di mana Aisha berada. Namun, wanita yang ia cari muncul, keluar dari ruang pakaian. Memang ada tempat khusus melipat, dan menyetrika pakaian. Aisha baik-baik saja.
"Aku di sini," sahut Aisha.
"Di mana pencurinya? Kau mengirim pesan karena ada seseorang yang mengganggumu, bukan? Kau takut pada pencuri."
Ashraf yang tadinya mau ke lantai atas, beringsut turun saat menyaksikan Aisha baik-baik saja di lantai dasar. Dia memang kelihatan gugup. Tapi, sepertinya tak ada masalah besar.
"Kapan aku bilang kalau ada pencuri? Aku hanya mengatakan aku takut."
Ashraf mulai bingung. Seakan-akan dia sedang mengikuti ujian matematika 100 soal. Apa yang membuat Aisha takut kalau tidak ada pencuri atau pun orang yang menerornya.
"Maksudnya?"
Sebelah alis Ashraf terangkat. "Aku hanya takut kau akan marah padaku. Berjanjilah untuk tidak marah." Aisha menunduk. Aisha ini bikin penasaran. Sebenarnya apa yang kau sembunyikan.
"Aku ingin kau pulang supaya kau tahu apa yang sudah kulakukan. Aku melakukan kesalahan fatal."
Kesalahan fatal? Lihat, Aisha. Kalau sampai kamu kerjakan aneh-aneh, Ashraf bisa membanting dirimu.
"Kau menyembunyikan lelaki lain dariku?"
Rahang pria itu mengeras. Tolong, jangan marah. Kalau perkiraannya benar, habislah wanita itu. Kau salah paham, Ashraf. Aisha melirik Ashraf takut-takut. Belum bicara saja, pria itu sudah naik pitam apalagi kalau ia sudah katakan permasalahannya.
"Bukan masalah seperti itu. Tapi, ada masalah lain yang lebih besar yang sudah kulakukan."
Masalah lain yang lebih besar? Memangnya apa? Aisha membuat Ashraf berpikir keras. Apa sih? Semakin lama semakin sulit dipahami olehnya. "Aku tidak suka hal bertele-tele. Jadi, cepat katakan apa yang kau sembunyikan?"
Kalau Ashraf sudah bicara dengan nada murka begitu, Aisha tidak punya cara lain selain berkata jujur. "Bisa ikuti aku? Akan aku tunjukkan."
Aisha berjalan masuk ke dalam ruang pakaian, sementara Ashraf mengekori dari belakang. Aisha menunjuk ke arah kemeja putih yang sudah bolong. Seperti hangus karena tertimpa setrika. Pakaian itu merupakan pakaian Ashraf. Aisha menggigit bibir bawahnya, siap-siap mendengarkan kemurkaan Ashraf.
"Tunggu. Kau bilang padaku kau takut. Maksud dari rasa takutmu adalah ini? Kau takut aku marah hanya karena bajuku bolong karena kau lalai menyetrikanya?"
Aisha mengangguk. Dia memikirkan soal Razifa dan Ashraf sehingga tak sadar kalau dia tengah menyetrika. Dia takut Ashraf akan marah seperti biasanya. Jadi, nalurinya meminta gadis itu mengirim pesan ke Ashraf. Lebih cepat pria itu tahu maka lebih baik.
Ashraf memegangi kepalanya yang terasa pening. Ya ampun, pria itu pulang dengan perasaan cemas luar biasa, takut kalau-kalau nyawa wanita itu melayang karena perbuatan penjahat. Nyatanya bukan penjahat yang ia dapatkan melainkan pakaian yang rusak akibat kelalaian menyetrika pakaian.
Aisha menyuruhnya pulang hanya karena baju itu.
"Aku sedang ada meeting nanti, Aisha. Aku pulang hanya untuk mengecek keadaan dirimu. Lalu apa yang aku dapatkan? Kau mengirim pesan yang sia-sia." Apa Aisha melakukan sebuah kesalahan?
"Aku tidak akan marah hanya karena baju. Apakah mau pikir aku miskin pakaian?" Benar juga, apalagi pakaian yang hangus itu merek lokal, yang masih sanggup dibeli selusin oleh Ashraf.
"Maaf, aku tidak tahu kalau rusaknya bajumu bukanlah masalah besar. Aku hanya terbiasa melihatmu marah karena masalah sepele."
"Ah, sudahlah."
Ashraf mengerang. Dia butuh air sehingga memilih masuk ke dalam dapur. Aisha benar-benar konyol. Bagaimana bisa dia se-polos itu? Satu botol ukuran medium hampir habis seluruhnya diteguk oleh Ashraf.
Ashraf kembali meneguk minumannya ketika Aisha muncul dari balik pintu dapur.
"Maafkan aku, Ash. Aku sungguh menyesal atas perbuatanku. Kau berhak marah untuk itu," ujarnya. Akhirnya bisa memanggil Ashraf dengan panggilan Ash tanpa beban."Aku memang marah!"
Bagaimana meluluhkan hati Ashraf yang merajuk seperti ini. Pria itu merupakan pria dewasa. Aisha tidak tahu membujuk lelaki sebesar itu. "Aku akan buatkan rendang supaya kau tidak marah lagi." Ashraf suka rendang. Mungkin dengan membuat makanan itu, dia bisa luluh hatinya.
"Tidak usah. Aku hanya akan pergi kantor lagi. Lain kali, kalau tidak darurat. Jangan hubungi aku."
"Baik."
Ashraf keluar dari dapur dengan langkah cepat. Lihat, Aisha! Gara-gara perbuatanmu, lelaki itu kini marah. Baiklah, Aisha akan memilah mana yang mendesak mana yang tidak. Perempuan itu berpikir kalau Ashraf sudah lenyap di apartemen itu. Nyatanya, pria itu kembali lima menit kemudian.
"Satu lagi. Jangan buka pintu kalau bel berdering. Kau paham? Tetap berada di kamarmu!" Ashraf bicara seperti seorang ayah kepada anaknya. Aisha jadi ingat orang tua, hmm.
"Baiklah."
Gara-gara kejadian sebelumnya, Ashraf merasa kalau Aisha mungkin sangat polos dan tidak cerdas.
"Apa yang aku perintahkan tadi?"
"Tidak membuka pintu bila ada yang mengetuk?" Apakah Ashraf tadi bilang begitu? Aisha bertanya-tanya. "Bagus. Aku akan pergi dulu."
Ashraf melangkah pergi. "Assalamu Alaikum," seru Aisha. Ashraf berhenti melangkah. Hatinya berdesir, seakan sebilah pisau menikam keegoisannya. "Wa Alaikum salam," jawab Ashraf dalam hati lalu menghilang.
☘️☘️☘️
Aisha benar-benar menuruti perintah Ashraf. Dia mengurung diri di dalam kamar. Rasanya sangat membosankan. Aisha tidur sebentar. Baru satu jam, ia bangun. Dia mengira sudah tidur lima jam. Sayangnya tebakannya salah. Waktu terasa begitu lama.
Wanita itu mengambil wudhu kemudian melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Mungkin, dengan melakukan itu. Dosa yang ia perbuat perlahan-lahan menipis. Dia tidak pernah menginginkan menjadi simpanan seorang pria. Tapi, dia harus apa? Tak ada pilihan lain untuknya. Aisha hanya mampu bersabar menghadapi sikap dingin Ashraf padanya.
Sudah empat juz berhasil ia tamatkan. Aisha masih keasyikan membaca ayat suci Al-Qur'an. Dia larut pada bacaannya sampai tiga jam berlalu rasanya seperti tiga menit. Dia tak pernah lagi datang ke pengajian. Kapan dia bisa mengikuti pengkajian ilmu agama? Mungkin dia bisa bujuk Ashraf. Pria itu mulai menampakkan sisi lembutnya pada Aisha belakangan ini.
"Sejak kapan kau berdiri di sana?"
Aisha menghentikan bacaan waktu menyaksikan Ashraf diam mematung di ambang pintu. Apakah sejak tadi pria itu memperhatikan Aisha? Kapan dia pulang. "Aku baru pulang. Kau teruskan saja bacaanmu. Aku akan mandi di kamarku."
"Baiklah."
Ashraf bertingkah ramah. Apakah ia terpukau akan bacaan Aisha? Memang susah menebak apa yang dipikirkan seekor bunglon. Lanjutkan saja kehidupanmu Aisha. Jodoh atau pun tidak, Tuhan pasti akan menunjukkan jalanNya. DIA tak akan mengecewakan umatNya yang bersabar. Kalau Ashraf bersikap toleran terus-menerus maka Aisha tak akan merasa terpenjara dalam apartemen sendirian.
Instagram: Sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Aisha
General FictionAshraf pernah ditinggalkan oleh tunangannya bernama Razifa. Pengalaman pahit itu membuat Ashraf dendam. Bukan kepada Razifa melainkan gadis muslimah lain di luar sana. Aisha merupakan gadis muslimah yang baik. Ibunya selalu menyepelekan keberadaan...