Bab 7

56.3K 3.8K 31
                                    

☘️☘️☘️

Setelah puas menangis, Aisha mencuci muka. Dia menahan semua rasa sakit di bagian tubuhnya. Kalau dia menunjukkan gelagat aneh maka ibu dan bapaknya akan curiga. Semangat, Aisha! Kamu pasti bisa melalui ini semua!

Aisha mengganti pakaiannya. Lalu, ia membawa baju yang koyak karena perbuatan Ashraf menuju belakang rumah. Dia hendak membakar benda tersebut. Setiap kali melihat pakaian itu, Aisha merasa begitu terhina. Lupakan! Lupakan! Anggap ini tidak pernah terjadi.

Tapi, bagaimana caranya lupa? Mami Rista tak akan membebaskan Aisha dengan begitu mudahnya.

"Kamu bakar apa, Aisha?"

"Aisha membakar sampah, Bu."
Beruntung Aisha membakar pakaiannya di tumpukan sampah. Rasyidah melemparkan senyuman hangat. Aisha membalas senyum itu. Kemudian ia melangkah ke arah ibunya.

"Kenapa kamu jalan seperti itu, Aisha?"

Langkah Aisha memang aneh. Siapa yang bisa berjalan normal setelah dipaksa melayani pria selama semalaman. Apalagi seorang perawan. Ah, sudahlah. Semakin diingat hanya semakin bikin hati terluka.

"Anu.... Bu..., Aisha sempat disambar motor semalam."

Setelah menjawab dengan kebohongan itu, Rasyidah merangkul putrinya. Apakah wanita itu akan sebaik itu kalau tahu putrinya tidak suci lagi? Rasyidah tentu akan memaki Aisha seperti yang sering ia lakukan saat marah.

"Bagian kaki mana yang sakit?"

Bagaimana ini? Tidak ada bekas apapun di kakinya. Aisha menghela napas. Pikirkan, Aisha! Jangan sampai ibumu tahu soal kejadian semalam.
"Enggak apa-apa, Bu. Aisha sudah lebih baik. Sudah Aisha obati. Sepertinya memar dari dalam. Ngomong-ngomong ibu mau kemana?"

"Ibu mau ke pasar. Kamu mau temani ibu ke pasar?"

Aisha mengangguk. Ini jarang terjadi. Dia harus memanfaatkan momen yang ada. Setidaknya, ia bisa lupakan kejadian mengerikan semalam. Ponsel Aisha berdering. Pesan dari Mami Rista lagi.

Mami Rista: Jangan coba-coba kabur. Layani pelanggan malam ini, kalau kau tidak mau dalam masalah.

Aisha mematikan ponselnya. Akan lebih baik kalau dia ganti kartu. Aisha seharusnya bebas dari Mami Rista sebab ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, melayani Ashraf.

☘️☘️☘️

"Kenapa harus ke pasar kumuh begini sih, Umi? 'kan bisa belanja ke mal. Selain itu, apa gunanya pembantu kalau Umi masih sempatkan diri belanja?"

Ashraf menggerutu. Dia baru sampai di apartemen ketika ibunya memberikan perintah untuk menemani ke pasar. Alih-alih ke pasar terdekat, Riris malah memilih pasar yang jauh dari rumahnya. Belum lagi pasar tempat mereka berada bukanlah pasar besar, benar-benar pasar untuk kalangan orang miskin. Kecil, kumuh, dan berdesakan. Bukankah semua pasar memang ramai dan berdesakan?

"Gadis itu tinggal dekat sini, Ash."

Tunggu.... Mereka ke pasar hanya untuk mencari gadis yang tak tahu nama dan asalnya itu? Yang benar saja! Ashraf sedang tidak dalam suasana hati baik ditinggal tanpa pamit oleh Aisha subuh ini. Kemudian paginya, mau tak mau ia mengikuti kegilaan ibunya. Bagaimana caranya menemukan gadis yang tidak diketahui identitasnya itu?

"Apa gadis itu sangat cantik? Secantik siapa sih sampai Umi menyempatkan waktu mencari dia? Citra Kirana?"

Apa gadis itu sangat istimewa sampai Ashraf harus meluangkan banyak waktunya mencari dia. Pria itu sangat benci keadaan di mana ia harus mengejar seorang wanita. Pria ini adalah Ashraf. Dia memiliki segalanya, tampan dan kaya.

"Lebih cantik dari itu," jawab Riris. "Sudah. Jangan bawel. Ikuti saja langkah Umi."

Setelah berkeliling selama tiga puluh menit, mata Ashraf menemukan gadis yang tak asing baginya. Perempuan yang telah ia renggut kehormatannya sedang berbelanja di tempat itu.

"Aku mau ke kamar kecil dulu, Umi," pamit Ashraf.

Dia sudah dapatkan seseorang ia cari. Ashraf ingin menekan jiwa wanita itu. Beraninya dia meninggalkan Ashraf dalam keadaan tertidur.

☘️☘️☘️

Kesedihan Aisha perlahan berkurang seiring menyaksikan ibunya mengomel kepada pembeli. Kemarahan itu akan dirindukan oleh Aisha. Entahlah, dia sudah terbiasa dengan kemarahan Rasyidah padanya.

Aisha belum siap jauh dari ibunya. Dia sangat menyayangi ibunya meskipun cinta ibunya belum sepenuhnya dipahami oleh Aisha. Dia masih perlu belajar meluluhkan dinginnya hati sang ibu.

"Aisha belanja di bagian ikan ya, Bu."

Rasyidah terlalu sibuk menawar barang di pedagang lain sehingga ia memberikan anggukan kepala atas keinginan putrinya.

Aisha berjalan sambil melihat-lihat jualan di pasar. Matanya tertarik menghampiri gamis yang tergantung di satu toko. Ya allah, cantiknya. Ingin sekali Aisha dapatkan pakaian itu.

"Akhirnya kau ketemu!"

Suara khas seorang pria terdengar. Aisha menoleh dan mendapati lelaki yang ia hindari muncul di hadapannya, Ashraf. Mengapa pria itu selalu ada di mana-mana? Aisha menaruh gamis yang sempat ia lihat.

"Maaf, Tuan. Aku harus pergi. Assalamu alaikum."

Ashraf meringis. Pergi begitu saja? Mereka bahkan belum bicara. Wanita itu meninggalkan Ashraf seakan pria itu tidak penting. Tunggu dulu, selama ini, wanita selalu memohon pada Ashraf. Lancang sekali, Aisha menolak dirinya. Apakah Ashraf sangat jelek sampai-sampai melihat Ashraf saja wanita itu enggan?

"Siapa yang menyuruhmu pergi. Kau masih punya hutang kepadaku!"

Hutang? Aisha menghentikan langkah, membeku. Bukankah mahkotanya telah direnggut oleh pria ini? Lalu mengapa lelaki ini mengklaim kalau Aisha masih memiliki hutang?

"Maaf, hutang apakah itu, Tuan? Bukankah aku sudah layani tuan?" Jangan menangisi kehormatan yang sudah tak bisa kembali, Aisha. Jangan tunjukkan kelemahanmu pada pria ini, Aisha. Jika kau lakukan itu maka dia akan semakin meremehkanmu.

"Aku masih mau menikmati dirimu. Tapi, kau langsung pergi."

"Maafkan aku, Tuan. Aku bukan pekerja semacam itu lagi. Jangan hubungi diriku. Aku sudah maafkan semua perbuatan buruk tuan padaku. Anggap saja kita tidak pernah bertemu."

Perbuatan buruk?

Lancang mulut kau, Aisha. Ashraf ingin sekali menampar wanita ini. Lagi-lagi ia menolah Ashraf, seakan-akan Aisha adalah Jenniper Lawrence yang bisa memilih pria mana saja yang bisa ia cintai.

Aisha ingin melangkah menjauhi pria itu. Lalu cengkraman tangan Ashraf membikin wanita itu memekik. Rasanya seperti tulang lengan Aisha akan diremukkan. Aisha memandang serius mata coklat yang kini memunculkan sebuah kemarahan luar biasa.

"Kau hanyalah wanita penghibur. Aku akan tunjukkan betapa rendah dirimu itu. Jangan berani jual mahal di depanku!"

Kata-kata Ashraf menyenak, langsung ke ulu hati milik Aisha. Mengapa pria itu sangat membenci Aisha? Apakah dia punya kesalahan besar terhadap Ashraf.

"Lepaskan, Tuan! Aw, sakit!"

Ashraf melepaskan pegangannya pada  Aisha. Matanya merah menyala. Kemarahan jenis apakah itu? Mengapa Aisha berbeda di matanya? Aisha mengelus tangannya yang terasa ngilu.

"Aku tidak akan layani tuan lagi. Ngomong-ngomong, uang 20 juta yang tuan berikan, akan kuanggap sebagai pinjaman. Akan kuganti kalau sudah punya uang. Aku tidak bisa tenang setelah membayar utang orang tuaku dengan uang haram."

Aisha berlalu. Ini mungkin awal dari perjuangan Aisha. Dia bukan kupu-kupu malam. Meskipun tak suci lagi, ia tetap berusaha menjaga diri. Kehormatannya memang telah direnggut. Tapi, bukan berarti ia berniat merusak dirinya lebih jauh.

Instagram: Sastrabisu

Cinta untuk AishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang