Bab 1

168K 5.9K 383
                                    

Ada versi YouTube nya juga kak 😊 Mampir cek versi Youtube nya juga kak ✌️

***

Hidup tanpa harta merupakan salah satu cobaan hidup yang dialami beberapa orang. Demi mendapatkan makanan sehari-hari, seseorang rela bekerja siang dan malam. Begitu pula dengan kepala keluarga bernama Mahmud. Pria itu berusaha keras agar keluarganya bisa bertahan hidup. Namun, kali ini nasib buruk menghampirinya.

Panasnya mentari ia hadapi, keringnya tenggorokan ia tahan, senyum kepada orang lain selalu ia lakukan. Lalu, dalam satu menit ia masuk lebih dalam ke lembah kehidupan yang sulit. Angkot yang ia kendarai menabrak mobil Toyota keluaran terbaru.

"Ingat, ya, Mahmud. Kalau sampai kau tidak ganti rugi, habis kau! Dalam tiga hari kau tidak bayar tiga puluh juta, maka rumahmu ini akan jadi taruhannya!"

Kini Pak Muhidin, juragan tempat Mahmud bekerja menuntut tanggung jawab. Uang puluhan juta rupiah, yang entah di mana Mahmud akan mendapatkannya. Mahmud terdiam, meratapi nasib buruknya.

Setelah menumpahkan kemurkaan, Pak Muhidin pun pergi. Mahmud hanya menunduk seiring istrinya, Rasyidah, menangis di sampingnya. Dari mana mereka mendapatkan uang tiga puluh juta? Makan sehari-hari saja tidak cukup. Rasyidah menoleh ke arah rumahnya. Sanggupkah ia relakan rumah itu gara-gara kecelakaan yang tak disengaja dilakukan oleh suaminya?

Pasutri itu tampak pasrah memandangi kepergian juragan tempat Mahmud bekerja. Sudah sepuluh tahun Mahmud bekerja sebagai sopir angkutan umum. Namun, kali ini ia tak sengaja menabrak sebuah mobil. Juragannya harus kehilangan dua puluh juta atas tuntunan korban, sepuluh jutanya untuk memperbaiki angkot.

"Bapak ini bagaimana, sih, nyetirnya? Bisa-bisanya tabrak orang. Kita hanya punya rumah ini, Pak. Kalau disita Pak Muhidin mau tinggal di mana?"

Pak Muhidin, biasanya pria itu ramah, tetapi karena ia sudah kehilangan dua puluh juta dalam sekejap, amarahnya jatuh ke Mahmud, pelaku semua kekacauan yang terjadi itu.

"Kepala bapak agak pening saat menyetir, Bu. Kita serahkan pada Allah, ya, Bu," ujar Mahmud pasrah.

Mahmud bekerja terlalu keras sehingga tak bisa fokus. Ia tidak memedulikan kesehatannya. Mata lelah pun tak ia pedulikan. Semua itu dilakukan demi keluarga. Nyatanya memaksakan diri justru membuatnya masuk ke dalam masalah baru.

"Kita harus bagaimana, Pak?"

Rasyidah mengusap kepalanya yang terasa pusing. Mahmud tak menjawab. Ia dan istrinya masuk ke dalam rumah sederhana mereka. Keduanya duduk di sofa usang yang terdapat banyak bintik-bintik hitam kecil di sana, serta bagian atas sofa yang terdapat beberapa robekan. Sofa yang mereka beli sepuluh tahun lalu dan sudah tak layak pakai.

Kedua orang itu tengah merenung saat putri mereka yang bernama Aisha muncul. Gadis berjilbab itu berjalan mendekati mereka sambil membawakan teh untuk ayahnya. Ada Al-Qur'an dalam tas mungilnya yang sedikit menonjol. 

"Andai Andry ada di sini. Dia bisa diandalkan dari siapa pun," kata Rasyidah tegas.

Kalimat itu sengaja diucapkan Rasyidah untuk menyindir Aisha yang masih pengangguran. Gadis itu sebetulnya ingin bekerja. Namun, usahanya selalu tak berbuah manis. Ia sudah keliling kota mencari pekerjaan, tetap saja ditolak.

Sekali pun ada pekerjaaan yang ia dapatkan, atasannya pasti genit. Mereka kadang kurang ajar kepada Aisha sehingga membuat gadis itu beberapa kali memilih resign. Keputusan itu justru membuat Rasyidah merasa putrinya terlalu pemilih dalam hal pekerjaan.

Aisha mengambil duduk di samping orang tuanya. "Pak, Bu, Aisha ikut pengajian dulu, ya. Aisha akan berdoa agar kesusahan kita ini segera dimudahkan oleh Allah."

Aisha sempat mengintip dari jendela, bagaimana ayahnya dibentak-bentak oleh Pak Muhidin di luar rumah. Sakit hatinya melihat itu, tetapi ia harus apa? Mencari pekerjaan yang nyaman, susahnya minta ampun.

"Nanti aku hubungin abang Andry, ya, Bu. Siapa tahu Andry bisa bantu kita kumpulkan uang."

Rasyidah memutar bola mata sambil berkata, "Jangan ganggu abangmu lagi. Kenapa kamu tidak usahakan uang? Setidaknya kamu balas jasa kami menguliahkan kamu. Kapan kamu berguna untuk kami, Aisha?"

"Ibu, cukup!" tegur Mahmud.

Mendengar teguran suaminya, Rasyidah tak terima. Menurutnya apa yang ia katakan benar adanya. Aisha tidak pernah membuat mereka senang.

"Inilah Bapak. Sebab Bapak memanjakan Aisha. Dia tidak bisa berkembang. Gara-gara banyak mau, Aisha tidak bisa mendapat pekerjaan. Kapan kamu akan berubah, Aisha?”

Cinta untuk AishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang