23. Hujan, Petir

392 35 6
                                    

"A-aku ... Aku tidak tau." Ia menjawab, lalu menundukkan kepalanya dengan raut kusut, jari-jarinya saling bertautan sementara ia menggigit bibir bawahnya, terlihat gugup dan kesal.

"...." Fiya terdiam, memandang lelaki di sampingnya dengan ekspresi rumit.

Semenjak ia memutuskan untuk menikahi lelaki ini, ia sering memasuki forum tanya-jawab untuk mencari informasi dari seseorang yang hidup bersama atau mengenal seorang autisme. Dari jawaban-jawaban yang ia dapat, mereka seringkali beranggapan bahwa seorang autisme ialah seseorang yang minim empati, senang hidup di dunia nya sendiri, dan tidak memperdulikan orang lain. Tapi ... Apa benar begitu adanya?

Fiya menyipitkan mata, memandang lelaki di sampingnya dengan tatapan menyelidik.

Kenapa ia tidak merasa demikian?

Meskipun Ibra sangat tidak peka dan menjengkelkan, ia tahu ia perduli dan bergantung padanya.

Sementara Fiya tenggelam dalam pikirannya, Ibra yang tidak mendapatkan jawaban merasa cemas dan takut.

Bagaimana jika Fiya menjauhinya seperti anak-anak di taman kanak-kanak dulu?

Ia berpikir, lalu dengan gugup meraih tangan Fiya.

"I-istri, j-jangan marah, a-aku ... Aku tidak tau. Aku ... Aku merasa tidak nyaman di sini," Ibra meletakkan telapak tangan Fiya di dada kirinya— tepat di mana posisi jantung berada.

Tindakan Ibra membuat Fiya tersentak dari lamunan, lalu mendongak untuk memandang wajah gugup sang suami. Saat ini, ia bisa merasakan jantung lelaki itu berdetak kencang.

"Kak Ibra, k-kamu ...." Fiya terdiam, menatap wajah Ibra yang dipenuhi kegugupan dan ketakutan.

Sial!

Apa yang ia lakukan? Bagaimana dia bisa membuatnya cemas hanya karena rasa penasarannya?

Menarik napas panjang, Fiya berusaha menyesuaikan emosinya sebelum menjawab. "Aku tidak marah."

"Benarkah?"

Fiya mengangguk. "Ya."

"Tapi  ... tapi aku tidak merindukan Nenek, apa istri akan ..." Ibra memandang Fiya dengan ketakutan di matanya. "Apa istri akan menganggapku seperti monster yang tidak punya perasaan?" Lalu ia menunduk, bermain dengan kuku-kuku jari sang istri yang di pangkas rapi. "Nenek sangat baik, nenek merawatku sejak kecil, membelaku dari orang-orang jahat yang mengataiku bodoh dan gila. Karena aku  ... karena aku juga nenek diejek karena punya cucu yang gila dan bodoh sepertiku. Nenek sangat baik, tapi aku  ... tapi aku bahkan tidak menangis saat dia meninggal. Nenek aku  ... aku monster, I-istri, a-aku —"

"Ssstt," Fiya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sang suami guna menghentikan perkataannya yang semakin asal-asalan, karena—

Ini pertama kalinya dia mengucapkan kalimat panjang dan runtut seperti itu, tapi kemapa semua kalinat yang keluar dari mulutnya terdengar sangat menjengkelkan?

Memikirkan hal itu membuat Fiya tanpa sadar mendengus kesal, sementara Ibra mengeratkan genggamannya.

"I-istri, apa k-kamu marah? A-aku..."

"Aku tidak marah." Ia dengan kesal menyela. Sungguh, kenapa lelaki ini selalu beranggapan dia marah padanya? Apa dia terlihat seperti orang yang pemarah?

"Kak Ibra, lainkali jangan sembarang menebak perasaanku, oke?"

"Menebak perasaan?" Ibra mengerutkan kening,"aku tidak sembarangan menebak perasaan istri."

"Tidak menebak? Lalu apa yang tadi kamu lakukan, kak Ibra?" Fiya menggertakkan gigi karena ekpresi dan pernyataan polos yang Ibra ucapkan.

"Aku  ..." Ibra merenung beberapa saat, "istri tidak marah?"

My Idiot HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang