15. Apa Kamu Siap?

1.1K 85 4
                                    

Dokter Ji tersenyum mendengar pertanyaan Fiya. "Seperti yang tadi aku katakan, kondisi Ibra sudah cukup baik dan stabil. Meskipun dia mungkin masih merasa cemas dan ingin mengembalikannya ke tempat semula, ia tidak akan bertindak berlebihan dan juga tidak akan merangsang penyakitnya. Paling-paling dia akan sedikit gelisah dan kamu bisa lebih memperhatikannya. Tapi jangan cemas, cukup hibur dan beri dia pengertian."

Fiya mengangguk, melirik lelaki di sampingnya sambil tersenyum. "Aku mengerti!"

"Dan ya. Sebenarnya Ibra memiliki rasa penasaran yang kuat dan sedikit keras kepala."

"Ah?" Fiya tertegun, menatap Dokter Ji selama beberapa detik sebelum mengangguk.

Dokter Ji tersenyum melihat respon Fiya. "Apa kamu sudah menemukannya?"

Fiya mengangguk, sementara Dokter Ji melanjutkan.

"Meskipun seorang spektrum autisme biasanya bertindak acuh dan mengurung dirinya sendiri di dunianya, mereka juga memiliki rasa penasaran dan ingin tahu yang kuat. Karena itu ketika mereka mulai penasaran akan sesuatu, kamu sebaiknya berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskan. Memberi mereka pengertian, atau hal itu mungkin membuatnya terjebak dalam kecemasan."

Fiya lagi-lagi mengangguk mendengar penjelasan Dokter Ji.

"Aku akan," jawabnya singkat membuat Dokter Ji menghela napas panjang.

"Aku mengerti. Hal ini ... Apa ada cara untuk membuatnya menjadi jauh lebih baik lagi?" Ia lagi-lagi bertanya.

Suaranya terdengar sedikit tergesa-gesa dan tidak sabar, membuat Dokter Ji mengerutkan kening.

"Gadis kecil, apa kamu ... keberatan dengan kondisinya yang seperti ini?" tanya Dokter Ji. Suaranya membawa sedikit kekesalan dan kecurigaan, karena bagaimanapun ia sudah menganggap Ibra seperti putranya sendiri, dan secara otomatis hatinya sedikit condong ke arahnya.

Menghadapi pertanyaan Dokter Ji, Fiya menggeleng sambil tersenyum samar. "Tidak sepenuhnya atau aku tidak akan mau menikah dengannya. Hanya saja ...." Ia mengerutkan kening, melirik lelaki di sampingnya dengan tatapan redup.

"Aku mengerti." Dokter Ji memotong, meminum teh di dalam cangkir sebelum melanjutkan.

"Sebenarnya, ada beberapa cara yang bisa membuatnya lebih cepat berintegrasi dengan masyarakat. Seperti mendorongnya melakukan kegiatan-kegiatan sederhana seperti berolahraga raga, maupun hal-hal lain yang bisa mendorongnya berinteraksi dengan masyarakat umum."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Dokter Ji memandang Fiya dengan ekspresi serius. "Nak, apa kamu siap dengan semua hal ini?"

Fiya mengangguk. "Karena aku memutuskan menikahinya, aku juga akan menjaga dan merawatnya sebaik mungkin!" ucapnya penuh dengan tekad dan keyakinan, membuat Dokter Ji menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk.

"Aku percaya padamu," jawab Dokter Ji, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. "Anak muda, Terima ini!" ujarnya melanjutkan, meletakkan kotak kecil di atas meja.

"Ah? Dokter Ji, ini ...."

"Jangan memanggil ku Dokter Ji di luar jam konsultasi, kamu cukup memanggilku Paman Ji."

"A-aku ... D-dok—"

"Paman!" tegas Dokter Ji menyela, sambil melihat Fiya dengan senyum ramah.

Hal ini menyebabkan Fiya merasa tersanjung.

Menundukkan kepalanya, Fiya berteriak. "Paman Ji!"  Yang membuat Dokter Ji tertawa riang.

"Anak pintar!" Paman Ji memuji, lalu mendorong kotak kecil ke atas meja. "Hadiah pernikahan kalian!" ia memberitahu, lalu merogoh amplop dari dalam saku dan mendorongnya ke depan Fiya.

My Idiot HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang