"Apa kamu sering ke sini?" Fiya mengajukan pertanyaan, menatap anak-anak yang bermain di halaman panti asuhan.
Ibra menggeleng. "Tidak." Biasanya dia hanya datang untuk berkonsultasi.
Fiya mengangguk. "Oh," sambil menatap ke kejauhan di mana anak-anak berkebutuhan khusus seperti Ibra bermain dengan dunianya sendiri.
Di halaman panti asuhan, beberapa anak bisa bermain bersama sedangkan beberapa lainnya sibuk dengan dunianya sendiri. Entah itu bermain rubrik, atau sekedar berjongkok di halaman.
Mata Fiya tanpa sadar memanas melihat pemandangan di depannya. Hal ini mengingatkannya pada masa kecil Ibra.
Saat itu ketika Ibra pertama kali tiba di rumah Nenek Su, Ibra kecil sudah mengembangkan kebiasaan menutup diri dan tidak berbicara pada orang lain selain Nenek Su. Setiap hari lelaki itu hanya bermain dengan dunianya sendiri di halaman rumah. Entah itu bermain rubrik, duduk di ayunan sambil membaca buku, atau melukis.
Hal ini membuatnya merasa tertarik untuk mendekat, berteman dengan seorang kakak tampan yang memiliki hobi yang sama dengannya. Diam dan membaca buku.
Karena itu ia yang awalnya senang berdiam diri di dalam rumah sambil membaca buku, mulai mencari alasan mengunjungi rumah nenek Su dan bertemu Ibra setiap hari.
Awalnya, kakak tampan itu selalu mengabaikannya dan menolak berbicara. Sampai suatu hari, ia menolong Ibra ketika lelaki itu di ganggu anak-anak nakal di Desanya.
"Hei, kamu Ibra anak kota yang diusir dari rumah? Haha, kenapa Ibumu mengusirmu? Apa karena kamu bodoh?" Lelaki kecil berbadan gemuk tertawa keras, lalu kembali mamasukkan permen di tangannya ke dalam mulut sebelum menyilangkan kedua tangan di depan dada. Menatap Ibra kecil yang duduk di ayunan dengan angkuh.
Sementara itu di samping lelaki gemuk yang mengejek Ibra, seorang gadis ber kuncir kuda dan dua orang anak lelaki lain ikut tertawa.
"Haha, itu pasti benar. Tidak ada yang menginginkan idiot. Haha."
"Haha, idiot. Kenapa kamu tidak menjawab? Apa kamu tuli?" Anak lelaki lain tertawa mengejek, sementara gadis ber kuncir kuda di sampingnya menggeleng.
"Tidak. Dia bisu. Ibu bilang orang bisu tidak bisa berbicara!" sahut gadis ber kuncir kuda membuat ketiga teman lelakinya tertawa keras, membuat Ibra kecil mengerutkan kening. Merasa terganggu.
Ibra menggenggam rubrik di tangannya erat-erat. Berusaha mengisolasi dirinya dari suara di sekitarnya.
"Hei, apa kamu juga tuli? Hahaha ...." Anak berbadan gemuk itu lagi-lagi mengejek, di sambut tawa keras ketiga teman kecilnya. Membuat kerutan di kening Ibra semakin jelas saat tangannya yang memegang rubrik basah oleh keringat.
Merasa tidak bisa lagi bertahan, Ibra kecil berdiri, berniat meninggalkan tempat itu ketika si gendut mendorongnya kembali ke atas ayunan.
"Hei, idiot! Apa kamu mau pergi?"
"K-kamu!" Ibra terengah, wajah kecilnya memerah saat ia melotot tajam ke arah empat anak di depannya.
Tangan kecil Ibra menggepal erat, menggigit bibir bawahnya dengan keringat memenuhi dahinya.
Tidak ....
Aku tidak boleh sakit lagi dan melukai orang lain. Aku tidak bisa membuat Nenek merasa sedih dan dimarahi orang lain lagi.
"Gentong nakal!!! Jangan mengganggu Kakakku!" Saat inilah suara cerah dan lembut berisi kemarahan terdengar, membuat kelima orang di tempat itu kompak menoleh, menatap sumber suara. Itu adalah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Husband
Teen FictionFiya Aulia, seorang remaja brokenhome dengan gejala selfharm yang terpaksa menikahi Muhammad Gibran, seorang spektrum autisme sekaligus teman masa kecilnya. Pernikahan itu membuat keduanya terjebak di dalam toxic relationship, di mana keduanya salin...