Halo semua!
Maafkan daku karena sekian lama hilang dari peredaran.
Semoga kalian suka, dan jangan lupa komen^^"Ahh, apa kalian sudah lama menunggu?" Seorang lelaki paruh baya berjalan masuk, lalu mengulas senyum ramah melihat Dia dan Ibra duduk di ruang tamu.
Fiya menggeleng, membalas senyum ramah Dokter Ji. "Tidak, kami juga baru sampai."
"Ah, ada beberapa hal yang harus aku lakukan. Jadi maaf membuat kalian menunggu." Dokter Ji berbasa-basi, lalu berjalan menuju keran air di sisi lain ruangan dan mencuci tangannya sebelum duduk di sisi lain sofa.
"Dokter Ji sungkan, kami yang mengganggu waktu Dokter di hari libur."
Dokter Ji menggelengkan kepala mendengar peryataan Fiya.
Meraih secangkir teh yang baru disajikan, Dokter Ji meminum secangkir teh di tangannya sebelum melanjutkan. "Kalian tidak menganggu sama sekali. Aku sudah mengenal Ibra sejak kecil dan sudah menganggapnya putraku sendiri."
Fiya mengangguk dengan senyum tipis. Tidak tahu bagaimana menjawab atau melanjutkan percakapan ini.
Sementara itu, setelah meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, Dokter Ji menatap keduanya dengan senyum lebar.
"Sepertinya kondisinya benar-benar membaik."
Fiya tertegun, menatap Dokter Ji dengan "ah?" di mulutnya.
Menyadari Fiya tidak mengerti apa yang ia maksud, Dokter Ji menjelaskan. "Kalian datang lebih lambat dari yang aku perkirakan. Jadi, ku rasa kondisinya jauh lebih baik."
Fiya mengangguk.
Selain stimulasi semalam, Ibra memang bersikap sangat baik sampai terkadang ia lupa bahwa Ibra seseorang dengan kebutuhan khusus.
"Kamu tau? Aku sudah lama mengenalmu. Karena itu ketika aku mendengar Ibra akan menikahimu, aku merasa lega sekaligus khawatir." Dokter Ji tiba-tiba menjelaskan, membuat Fiya menatap Dokter Ji dengan tatapan bertanya.
"Apa Ibra sering berbicara tentangku?"
Dokter Ji mengangguk. "Bisa di bilang begitu."
"Ah?"
"Seperti yang kamu tahu Ibra tidak sering berbicara. Bahkan, ketika pertama kali orang tuanya membawa Ibra ke sini, ia sama sekali tidak menjawab apapun yang aku tanyakan."
Fiya mengangguk.
Dulu Ibra juga memperlakukannya seperti ini.
"Ketika ia datang berkonsultasi maupun aku yang datang menemuinya, Ibra selalu diam dan sibuk melakukan kegiatannya sendiri. Sama sekali tidak memperhatikan kedaan sekitar. Seolah, ia berada di dunianya sendiri yang terpisah dari dunia ini."
Fiya mengangguk, terkadang ia merasa Ibra benar-benar orang yang seperti ini.
Diam. Tak tersentuh.
"Terkadang ia asyik bermain rubrik, melukis, ataupun sekedar duduk diam dalam keadaan melamun. Apapun yang dia lakukan, dia selalu sendiri. Diam, jauh, dan tertutup. Kadang hal ini juga membuatku merasa tertekan. " Setelah itu Dokter Ji menatap Ibra sambil tersenyum tanpa daya.
"Sampai suatu hari aku melihat anak ini menambahkan hal baru dalam lukisannya. Sebuah siluet kecil yang di lukis dengan warna-warna cerah, seolah-olah ia menuangkan semua kegembiraan dan kesukaannya di sana," ucap Dokter Ji melanjutkan, lalu menghela napas panjang saat wajahnya dipenuhi senyum lega.
"Ah, kamu tau? hal ini membuat ku merasa sangat terkejut dan lega di saat bersamaan."
"Kenapa?" Fiya tidak bisa tidak bertanya, yang membuat wajah Dokter Ji dipenuhi senyum lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Husband
Teen FictionFiya Aulia, seorang remaja brokenhome dengan gejala selfharm yang terpaksa menikahi Muhammad Gibran, seorang spektrum autisme sekaligus teman masa kecilnya. Pernikahan itu membuat keduanya terjebak di dalam toxic relationship, di mana keduanya salin...