Keesokan harinya karena jarak yang cukup jauh antara Kota Semarang dan desa Fiya di Kabupaten Grobogan, keluarga Ibra memutuskan berangkat lebih awal untuk menghindari kemacetan.
Setelah sholat subuh, Meili sibuk mengatur barang-barang yang akan mereka bawa sebagai mas kawin. Hal itu termasuk seperangkat alat sholat, perhiasan, serta kebaya dan alat make-up.
Sementara mereka telah membawa maskawin yang lebih dari cukup, Meili masih merasa menyesal untuk calon menantunya yang mendapatkan 'terlalu sedikit'.
"Suami, apa menurutmu ini terlalu sedikit? Apa orang tua Fiya akan menganggap kita meremehkan putri mereka?" Meili menyandarkan kepalanya di lengan Huda yang kuat dan kokoh.
Meskipun mereka anak-anak mereka sudah dewasa dan mandiri, sepasang suami-istri itu masih mempertahankan keromantisan di awal pernikahan mereka.
Huda menggeleng, menepuk puncak kepala Istrinya sambil mengucapkan kata-kata menenangkan. "Tidak, tapi jika kamu merasa kurang, kamu bisa melipat gandakan kompensasi untuk menantu kita."
Meili mengangguk. "Itu kewajiban kita untuk memperlakukannya sebaik mungkin, Sayang." Lalu menjalin jari-jari mereka, mendongak dan menatap wajah tampan suaminya.
"Suami, kamu tahu? Awalnya aku benar-benar khawatir Fiya menolak lamaran putra kita."
"Aku juga berpikir begitu, tapi ... sepertinya Fiya benar-benar seseorang yang menghargai persahabatan."
Mengenai pertemanan Fiya dan Ibra semasa kecil, orang tua dari kedua belah pihak sudah mengetahui hal tersebut. Bahkan, Almarhum Ibu Fiya dan Meili ikut bersahabat karenanya.
Meili menghela napas lega. "Ya, dan aku bisa dianggap mengawasi anak ini tumbuh besar, sehingga kita tidak perlu khawatir mengenai karakternya. Dia wanita yang baik dan lembut."
Huda mengangguk, menarik Meili ke dalam pelukannya. "Ya, aku percaya penilaianmu yang terbaik."
Uhuk,
Uhuk,
Suara batuk terdengar dari belakang mereka, membuat keduanya sontak menoleh. Melihat putri mereka berjalan mendekat dengan ekspresi menggoda.
"Ekhm, ekhm. Ma, Pa. Apa kalian tidak bisa ttidakmemamerkan kemesraan kalian setiap hari?" Ana berdecak, menahan parsel berisi seperangkat alat sholat sambil mendesah panjang dengan ekspresi menyedihkan. "Setidaknya hargai kami para jomblo. Oke?"
Kalimat Ana membuat Meili mendengus, mengembalikan ejekan putrinya dengan omelan panjang.
"Siapa yang menyuruh kalian menjomblo?" Lalu membebaskan dirinya dari pelukan Huda, menatap Riel dan Ana yang berjalan mendekat dengan ekspresi sinis. "Kalian sudah cukup tua untuk menikah dan memiliki anak. Jadi, kapan kalian berencana memberiku cucu? Ck, ck, ck, bahkan Ibra yang terkecil diantara kalian sudah mau menikah!" sindirnya lalu mengaitkan lengan Huda, menunjuk putra-putrinya secara bergantian.
"Kamu Riel! Kapan kamu mau menikah? Hah? Inget umur kamu udah 30 tahun!"
"...." Riel terdiam. Dia tidak melakukan apapun, jadi tolong jangan menyeretnya ke air kotor. Oke?
"Riel!"
"Iya, Ma."
"Iya-iya, jangan cuma iya ita aja! Cepet carikan Mama menantu!"
"Ma .... "
"Atau kamu mau Mama yang carikan kamu Istri?" Lalu mengangguk penuh semangat merasa idenya tidak buruk.
Sementara itu Ana yang berdiri di samping Riel tertawa puas melihat saudaranya berada dalam kesulitan, membuat Meili memelototinya galak.
"Kamu juga An! Cepet cari pasangan atau Mama yang carikan!" Meili memperingatkan, membuat Ana sontak bungkam di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Husband
Teen FictionFiya Aulia, seorang remaja brokenhome dengan gejala selfharm yang terpaksa menikahi Muhammad Gibran, seorang spektrum autisme sekaligus teman masa kecilnya. Pernikahan itu membuat keduanya terjebak di dalam toxic relationship, di mana keduanya salin...