****
Ibarat nasi yang sudah menjadi bubur, kesalahan yang membentuk dosa terlanjur ia lakukan dengan Citra kini sudah menjadi hasil, yang mungkin tak diinginkan?
Apa yang harus aku lakukan?
Gibran menghela napas nya dengan berat kemudian menghembuskan nya, di udara.
Kini, semua gambaran tentang memulai hidup baru bersama Raisa sudah sirnah, sudah tidak ada lagi yang tersisa.
Apa yang akan terjadi padanya bila ia tau? Apa yang akan ia lakukan?
Disisi lain, Gibran malah mencemaskan Raisa, ketakutan itu muncul ketika ia menyadarkan kembali bahwa semua sudah terjadi.
Sementara Citra?
Pernyataan kejam dari Gibran masih membekas lekat di benak nya, Sungguh ini begitu menyakitkan. Apalah yang lebih pedih, dibandingkan menjadi orang yang tak di inginkan, apalagi bukan hanya dirinya sendiri yang menanggung penderitaan ini, dada nya begitu sesak.
Seorang perempuan yang masih bertumpu sabar yang masih setia menunggu kapan akan di akui, setidaknya sebagai sesuatu yang dihargai, membuatnya rela menunggu bahkan ia sendiri pun tak tau kapan, hari itu akan datang.
Citra ingat sejak hari dimana terkahir kali ia menampar wajah Gibran karena ucapan menyakitkan dari lelaki itu, Gibran semakin menarik diri. Menjauh dan seolah menghilang dari muka bumi.
Egois yang sedang menyelimuti dua insan ini sedang memporak porakgandakan hati mereka satu sama lain.
Gibran yang masih begitu berpijak pada ego, berhasil membuat pria ini sama sekali tak mau tau malapetaka apa yang sudah ia perbuat.
Entah sudah beberapa purnama berganti, Gibran akan terus pada ego nya. Saat ini ada jarak yang besar dan kokoh sedang berpijak pada antara nya dan Citra.
Jarak itu tercipta karena mereka satu sama lain saling berpihak pada alasan masing masing.
****
Malam yang panjang dan gelap, Raisa tertatih bertelanjang kaki di tengah badai salju yang begitu tebal, tanpa jaket atau mantel ia berjalan di atas bendungan es yang menusuk tajam kulit kakinya. menggegam secuil penerangan kecil pada tangan nya.
"Gibran?"
Raisa berbinar binar melihat siluet pria yang begitu ia rindui berdiri di depan sana, didepan hamparan danau beku yang begitu luas, menggenggam mantel, namun hanya satu mantel.
Lalu menghilang...
Matanya terbuka, pipi nya basah seakan baru saja menangisi sesuatu, entah itu apa namun mimpi malam tadi berhasil membuat keringat sekaligus bulir air mata nya keluar tanpa sebab.
"Sudah bangun? Sarapan yuk."
Ajak Dita melepas telepon genggam, setelah sadar Raisa telah bangun dari tidurnya, dirinya sejak tadi malam memang menginap di kamar appartment Raisa.
Raisa mengusap wajah nya dengan seluruh tekapak tangan nya, "Duluan saja dit, nanti gue nyusul."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG SUDAH PERGI
ChickLitYang sudah pergi jangan di paksa untuk kembali. Karena kita sudah selesai, dan album itu akan tetap ku simpan. Pergilah dan jangan berani kembali~