****
Sinar matahari perhalan masuk lalu terurai luas ke seluruh sisi penjuru ruangan, bahkan dapat menembus sedikit demi sedikit ke sela-sela pelupuk mata Gibran.
Gibran membuka mata nya, mengusap pelan dengan setupuk ujung jari, masih mencoba mengumpulkan separuh nyawa nya yang masih di ambang bawah sadar.
Samar-samar, Gibran mengamati segala sesuatu yang ada di sekitar nya, rasa kantuk yang masih begitu besar membuat mata nya terasa berat untuk terbuka lebar.
Setelah benar-benar melawan rasa kantuk yang mendominasi, Gibran membuka retina matanya dengan seksama, pandangan nya pun langsung tertuju pada seseorang yang berada samping nya, sosok perempuan yang tengah tertidur memunggungi dirinya.
Gibran menyerngitkan alisnya, hingga sesuatu menyambar kepala nya dan secara bersamaan mata nya pun kini melebar.
Gibran tersentak, dan baru menyadari bahwa ternyata dirinya masih terjebak di sini, menghabiskan malam yang begitu panjang berdua, hanya berdua dengan perempuan itu.
Gibran mengejap berkali-kali nya dan menggeleng kan kepala nya dengan kasar seperti orang bodoh, jujur kesadaran nya belum lah kembali sepenuhnya, ia kemudian mengintip di balik dalam selimut yang menutupi seluruh tubuh nya itu dan justru mendapati bahwa tak ada sehelai benang pun pakaian yang ada.
Kepala nya begitu pening, napasnya tersengal sementara tubuhnya bergetar hebat, Gibran panik bukan main, dirinya seperti baru terbangun dari mimpi yang begitu panjang.
Aish.
Gibran menepis selimut tebal itu lalu meraih kembali pakaian nya yang malang telah berserakan di karpet, ia amat sempoyongan.
Gibran mengenakan pakaian itu dengan alakadarnya, dengan napas yang masih memburu matanya menggeliat nya ke arah meja yang berada tepat disamping ranjang mencari ponsel, dompet, kunci mobil dan lain lain.
Sampai akhirnya sorot matanya pun kembali tertuju pada Citra.
Perempuan itu masih setia membelakangi nya menatap kosong ke arah jendela dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ternyata perempuan itu sudah bangun dari tadi.
Gibran menelan saliva dengan berat, lalu menyambar barang milik nya yang ada di atas nakas itu.
"Aku pamit ya."
Merasa tidak ada ada balasan apapun yang ia terima, Citra seperti sengaja menghiraukan ucapan pamit dari darinya, sementara lelaki itu pun juga tidak ingin berlama lama berpijak di sana, Gibran berbalik badan menyusuri pintu keluar meninggalkan Citra dengan tergesa gesa, meninggalkan perempuan itu yang masih mematung seorang diri, lalu menghilang di balik pintu.
****
Gibran menghempaskan tubuhnya di ranjang berukuran besar, dengan debaran jantung yang menyebar keseluruh tubuh dengan rasa cemas yang masih setia menetap di dada nya.
Gibran begitu tidak menyangka kejadian semalam rasanya begitu panjang dan justru berakhir pada pagi ini. Gibran memukul kasar kepala nya berkali-kali, yang mengisyaratkan ada sebuah kecerobohan pada dirinya sendiri.
Jujur, Gibran tidak ingat betul apa yang sudah terjadi pada malam itu, Gibran seakan sudah lupa apa saja yang sudah ia dan Citra lakukan pada malam itu. Semuanya berjalan seperti air, Gibran seperti lupa ingatan akan kejadian yang ia dan Citra lewati bersama, tadi malam.
Meski perlahan ingatan itu mulai bermunculan kembali pada kepalanya kini, tentang bagaimana dirinya dan Citra memulai dan mengakihiri peristiwa itu dengan begitu indah, tanpa paksaan dan berlalu begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG SUDAH PERGI
Literatura FemininaYang sudah pergi jangan di paksa untuk kembali. Karena kita sudah selesai, dan album itu akan tetap ku simpan. Pergilah dan jangan berani kembali~