Hamparan rumput hijau terasa menenangkan. Citra menoleh, menatap lekat pacarnya yang telah mengajaknya ke sini sepulang sekolah.
"Suka?" Langit bertanya.
Citra mengangguk antusias. "Suka banget. Makasih ya."
Langit menyodorkan bunga pada Citra. Langsung diterima dengan girang.
"Kok bunganya dua? Aku butuh satu aja," Heran Citra mendapati dua bunga.
Langit tersenyum tipis. "Yang satunya lagi buat Vita. Dia juga pengin tadi katanya."
Ekspresi Citra berubah. Namun, segera menormalkan lagi. "Oh gitu. Ya udah."
Hatinya padahal berdenyut sakit saat ini. Terasa sesak.
"Hai, Langit. Bunga buat gue mana?"
Seorang cewek bertubuh tinggi mendekat. Tersenyum lebar.
Langit menyodorkan bunga satunya untuk Vita. Tak lupa tersenyum cerah.
"Makasih!" Seru Vita tersenyum girang.
Detik selanjutnya muka Vita berubah seperti kesakitan. Vita meremas lengan Langit meminta bantuan.
"Kenapa, Vit?" Langit berujar khawatir.
"Sa-sakit." Vita semakin meremas perutnya.
"Yaudah kita pulang ya?" Langit meraih bahu Vita.
Namun, Vita terlebih dahulu kabur. Tak kuat lagi menahan gejolak yang terasa. Meninggalkan Langit dan Citra.
"Citra. Gue temenin Vita ya? Kasihan dia," ujar Langit khawatir.
"Pacar kamu tuh aku apa Vita, Lang? Selalu aja kamu prioritaskan dia," Protes Citra lelah.
"Tapi aku bertanggungjawab sama dia. Kalau dia kenapa-napa gimana?"
Citra memejam sejenak. "Terus aku kamu anggap apa?"
"Cit. Please ngertiin Vita. Dia lagi butuh aku. Seharusnya kamu paham itu!"
"Paham apa?!" Citra mulai emosi.
"Coba kalau kamu ada di posisi Vita. Sebagai cowok, pasti aku harus menolongnya Cit."
Citra tak paham lagi. Memilih pergi saja dari tempat ini.
"Gue pikir lo bakal ngejar gue, Lang," Lirih Citra sendu melihat Langit yang kini menggendong Vita.
***
Citra berdecak kesal. Kini ia jadi pulang sendiri. Berjalan di taman ini tak tentu arah.
Citra memekik saat tak sengaja menyenggol salah satu sepeda. Sampai barang yang dibawanya jatuh.
"Aduh gimana nih?" Citra berdiri panik di tempat.
"Heh lo!"
Citra terjingkat saat suara cowok terdengar. Tampak seumurannya.
"Hm mau marah. Tapi yang jatuhin bidadari. Gimana dong? Dahla pending dulu." Cowok itu memberesi sendiri sepedanya.
"Woi Kenji!"
Citra semakin bingung saat segerombolan cowok urakan berlari ke arahnya. Cowok tadi dengan cepat menarik tangan Citra agar naik ke belakang sepedanya.
"Lo--"
"Diam ya bidadari." Cowok ini memotong dengan lembut.
Citra memegang kuat pundak cowok asing ini. Sepedanya semakin cepat. Saat ini Citra berdiri di sisi ban belakang. Hal yang pertama kali ia coba.
"Dah sampai!" Cowok ini menghentikan sepeda di depan sebuah supermarket.
Citra menatap lekat cowok ini. Baru ia sadari seragam cowok ini sama dengannya.
"Duh tatapannya bidadari jadi pengen ngehalaiin," Celetuk cowok itu menaikturunkan alisnya.
"Lo siapa?" Citra bertanya garang.
"Kenalin gue Kenzi Kearlan. Calon imam lo nanti." Cowok ini berkenalan tanpa canggung.
"Pede banget lo!" Sarkas Citra tak habis pikir.
"Loh pede tuh awal kesuksesan. Gak percaya? Gue bisa loh buktiin." Kenzi berekspresi tengil.
Citra mendelik kesal. "Gak jelas lo!"
"Iya. Yang jelas kan cuma hubungan kita ke depannya."
Citra memilih tak menanggapi. Menengok sekitar dan bingung ini di mana.
"Citra." Kenzi menggumam nama Citra.
"Yok gue anterin pulang!" Kenzi yang peka tahu apa yang dipikirkan Citra.
Tak ada penolakan. Citra menurut saja. Anehnya cowok ini bisa mengantar ke rumahnya tanpa diberitahu.
"Makasihnya mana?" Tagih Kenzi tak tahu malu.
"Iya makasih."
"Sama-sama cantik."
"Pergi lo!" Usir Citra cepat. Ia takut tiba-tiba Langit datang lalu salah paham.
"Bentar ah!" Cowok itu turun dari sepedanya. Melihat sekitar.
"Jambu lo banyak buahnya. Gue colong ya?"
"Heh!"
Citra melotot saat dengan tenangnya Kenzi memanjat pohon jambu di depan rumahnya. Mengambilnya seolah milik sendiri.
Dasar Kenzi. Tidak tahu malu!
Mengabaikan ulah absurd Kenzi, Citra meraih ponselnya yang berdering. Nama Langit tersemat.
"Kamu tadi pulang sama siapa? Aku tahu kamu tadi kamu dibonceng cowok. Jangan bikin aku cemburu!"
"Kamu lupa kalau tadi juga bikin aku cemburu?" Balas Citra tajam.
Langit terdengar mendesah lemah. "Aku gak suka lihat Vita kesakitan. Konsepnya beda, Citra."
"Apapun itu, aku harap kamu gak akan nyesel nantinya. Ingat, pacar kamu aku, bukan Vita!" Jelas Citra tajam.
Citra memilih mematikan sambungan. Terkejut saat mendapati Kenzi nyengir lebar di sampingnya.
"Lo bener-bener ya!" Geram Citra tak habis pikir.
Badan Kenzi merah semua sekarang. Agaknya ia digigit semut saat manjat tadi. Citra tertawa di tempat.
"Gue pulang ya. Assalamu'alaikum." Kenzi menyodorkan tangannya ke Citra.
"Wa'alaikumussalam," Dengan tenangnya Citra balas menyalami. Pipinya memerah ketika sadar.
"Gini-gini gue alumni pesantren loh." Kenzi menaiki sepedanya.
"Kok gak dilanjutin?" Citra heran.
"Karena dulu gue pernah ngelempar tikus mati ke tempat cewek."
***
Haloo, ini revisinya ya.
Kalau mau komen di paragraf tapi gak bisa, coba tekan lama terus klik ikon yang kayak percakapan itu. Di pojok paragraf intinya.
Bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Langit
Teen Fiction"Langit, kita putus aja ya?" Menggeleng, Langit menatap Citra sendu. "Aku gak bisa, Cit." "Janji ya tahu prioritas? Kalau aku butuh kamu usahakan datang." Citra menyodorkan kelingkingnya. Dibalas yang sama oleh Langit sambil mengangguk. 'Bohongnya k...