KETUJUH

629 100 80
                                    

"Kenapa gak lo hajar aja sih si Vitek itu?" Rena menggerutu kesal. Memasukkan buku asal-asalan setelah bel pulang berbunyi.

Citra mengambil buku Rena yang jatuh. "Ada alasan kenapa gue begini. Lo gak akan paham."

Rena berdecak. "Apaan sih? Lo mau bilang di ada di posisi sulit? Iya? Lo kok malah belain Vitek sih?"

"Iya. Ada alasan tersendiri kenapa Vita jadi caper gitu. Dia punya suatu hal yang gak bisa gue ceritain."

"Halah bodo!" Rena berlalu cepat. Tak peduli tasnya yang masih membuka. Bukunya jatuh lagi sebagian.

"Ssstt pacar!"

Citra menoleh. Tersenyum mendapati Langit yang berdiri di depannya. Kali ini, cowok itu tidak ingkar.

"Mama pengen ketemu katanya," Ujar Langit. Membantu Citra memasukkan buku ke tas. Sebelum beranjak pergi.

"Akhirnya kue buatanku kemakan. Udah bangun subuh demi buat kue," Jelas Citra lega.

Langit terkeheh. Mengacak rambut Citra pelan. Cewek itu tersenyum saja. Tapi, senyumnya langsung luntur saat melihat Vita yang sudah duduk di bangku depan.

Langit menoleh ke Citra. "Kasihan dia lagi gak punya uang. Tangannya juga masih sakit."

Citra tak peduli. Langsung saja masuk mobil.

"Sore Langit ganteng," Sapa Vita riang. Dibalas cubitan di pipi oleh Langit.

Langit melajukan mobilmya. Tangan Vita terus bergelayut di tangan Langit. "Hm gak mau lepas."

"Iya. Apa sih yang gak buat lo?" Balas Langit sambil tersenyum.

"Inget, Langit dah punya pacar," Cibir Citra tajam.

Lagi-lagi Vita seperti hendak menangis. Semakin bergelayut di lengan Langit. "Sakit banget Lang rasanya dibentak. Gimana lo bisa punya pacar kayak dia? Putusin Lang, gue gak setuju lo pacaran sama dia."

Langit menatap Citra penuh peringatan melalui kaca depan. "Jangan asal bentak orang!"

Citra tertegun. "Lang!"

"Aku gak suka lihat kamu bentak Vita. Siapa yang ajarin?!" Tekan Langit dalam.

Citra tak berkutik. Diam di tempatnya. Menahan air matanya yang hendak jatuh.

"Iya aku salah," Aku Citra terpaksa.

"Minta maaf!" Perintah Langit mutlak.

"Maaf, Vita," Ujarnya lembut. Dalam hati begitu dongkol. Menahan isak tangis sekaligus kekesalan yang tiada habisnya.

Langit menghela napas lelah. "Aku udah pusing sama progja OSIS. Jangan tambah pusing dengan kelakuanmu itu!"

***

Ketiganya langsung disambut Tama, papa Langit begitu sampai di kediamannya. Pria berumur kepala empat itu sedang duduk di ruang tamu dengan koran di tangannya.

"Selamat, sore, Pa," Sapa Langit disusul mengalami tangan.

"Langit Gevian Arkatama, bagaimana progjamu Bang?" Tama memeluk putranya singkat.

"Pusing, Pa. Istirahat bentar buat UAS, setelah itu ada KAS," Jelas Langit duduk di salah satu sofa.

Tama mengangguk. Tersenyum manis saat Vita mendekat. "Vita, uang jajanmu sudah Om kirim ya."

"Terima kasih, Om." Vita tersenyum bangga. Melirik ke Citra dengan senyum remeh.

"Ah, Papa kira kamu cuma sama Vita, Lang."

Citra tak lagi tersenyum. Apalagi saat Tama yang ogah-ogahan menerima sambutan tangan darinya.

"Papa tolong jangan mulai," Peringat Langit pelan.

"Ini saya bawakan kue, Om," Ujar Citra ramah menaruh kotak kue di meja.

"Ya," Balas Tama singkat.

"Padahal Papa udah suka banget sama Vita. Cocok, Ketua OSIS sama sekretaris. Kalian udah punya gambaran saat takhta perusahaan jatuh ke Bang Langit nanti," Lanjut Tama tersenyum bangga.

Tangan Langit terkepal kuat. Salah satu alasan papanya menyetujui menjadi ketua OSIS, karena perusahaan. Langit muak.

Vita sendiri tersenyum girang. Jelas ia bangga telah mendapat restu dari papa Langit.

Dering ponsel Citra menyela. Cewek itu menjauh untuk mengangkatnya setelah berpamitan.

"Iya Om Riko?"

"Nona, saya ingin menyampaikan perkembangan perusahaan selama satu bulan ini. Sekaligus mengantar nona ke psikiater. Hari ini jadwal Nona konsultasi."

Citra memejam. Sedikit menarik poninya. Baru ingat ada jadwal penting hari ini. Riko sendiri adalah tangan kanan papanya selama merintis perusahaan.

"Jemput saya sekarang, Om. Akan saya share alamatnya."

Citra terpaksa pergi. Membiarkan Vita semakin dekat dengan Langit. Dapat Citra dengar cibiran dari Vita tentangnya.

"Iya tuh Om. Gak sopan banget. Citra tuh sombong dan gak tau diri!"

***

Selesai konsultasi dengan psikiater, Citra dibuat kaget dengan kehadiran Langit di rumahnya. Rautnya tak mengenakkan.

Buru-buru Citra menyembunyikan kantong obatnya. Langit tidak boleh tahu.

"Kemana aja kamu?!" Bentak Langit tiba-tiba. Menatap Citra dengan kilatan amarah.

"Aku--"

"Kamu tahu gak sore ini anak drama kumpul?! Kamu malu-maluin aku Cit!" Langit benar-benar emosi. Tangannya terkepal kuat.

"Langit, aku bisa jelaskan."

"Apa?" Suara Langit meninggi. "Kamu jalan sama kakak kelas itu, kan? Enak banget ninggalin aku seenaknya terus jalan sama cowok lain. Ninggalin tugas pula!"

Citra menggeleng lemah. Ponsel Citra mati saat ke rumah sakit tadi. Jadi, ia jelas tidak tahu apapun.

"Stop!" Cegah Langit saat Citra mendekat. "Gak usah temuin aku lagi sampai kamu tahu apa kesalahanmu."

Citra terduduk lemas. Tatapannya kosong tanpa ada amarah lagi. Wajah muram itu menunjukkan betapa ia tersiksanya saat ini.

***

Bahaya! Vita udah dapat lampu ijo!

Parah si Langit, pacar sampai ke psikiater aja dia gak tau.

Ada pesan yang ingin disampaikan untuk Vita?

Ada pesan untuk Langit?

Memeluk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang