KEENAM

677 95 39
                                    

Berdiri dengan satu kaki. Kedua tangannya bersilangan menjewer telinga sendiri. Langit merutuki kebodohannya yang berani membolos saat menjabat sebagai ketua OSIS. Begitulah yang dialami Langit pagi tadi.

"Haha parah baru kali ini lihat ketos dihukum." Dino menyeletuk. Tertawa ngakak melihat Langit yang tepar selesai dihukum.

"Karma tu pak ketu," Sahut Rio.

"Agaknya karma apa ni Pak Rio?" Reno ikutan nimbrung.

"Karma udah nyia-nyian ceweknya demi wanita ular ciaaa!" Seru Rio girang membuat semua cowok di ruang OSIS ini heboh bukan main.

Langit yang sedari tadi terlentang di lantai, berseru tak terima. "Jangan gitu bro, gitu-gitu gue juga sayang dia. Mereka berdua punya posisi yang beda buat gue."

"Goblok!" Seru semua cowok bersamaan.

Anggota cewek diam saja. Ikut pusing pada kisah cinta mereka.

"Gue lemes banget," Lirih Langit dengan suara lemah. Dijemur di lapangan selama tiga jam bukanlah hal mudah.

"Lemah ah," Cibir Dio. "Gitu aja masa dah capek?"

"Nah iya. Abis ini kita keliling kan cari anak buat pentas drama," Tambah Lintang sembari membuka proposal.

Langit bangkit. "Lo semua lupa kalau gue pernah donorin---"

"Hok a hok e. Yok cepetan berangkat!" Denta memotong cepat. Masih menjadi rahasia tentang pendonoran itu.

"Gue gak ikut!" Sela Langit cepat. Ia justru berbaring di jejeran kursi.

Denta, Dio, Rio, dan Dino tersenyum jahil. Alisnya saling terangkat. "Got depan tadi air comberannya penuh kan?"

***

Citra mendengus pelan. Lagi-lagi menemui kotak makan tanpa pemilik di mejanya. Intinya ditujukan padanya, tapi entah dari siapa.

"Dari siapa sih, Ren?" Tanya Citra kesal pada Rena, teman sebangkunya.

Rena memandang malas. "Ya itu ada kertasnya, coba baca deh."

Citra menuruti. Meraih sticky note yang tertempel di sana. Lagi-lagi kata-kata aneh.

Jahanam: Jantung berdetak, empat ruangan. Sakit bila ada penyakit.

"Apaan sih?!" Kesal Citra membuang kertas itu sembarang arah.

Rena mendekat. "Baru-baru ini lo deket sama siapa, Cit?"

"Kak Kenzi doang. Mana mungkin dia."

"Bisa jadi."

Gubrakan di meja menarik perhatian. Anggota OSIS sedang mencari orang yang cocok untuk pentas drama kali ini. Kelas Citra, XI IPA 2 kebagian didatangi Langit dan Vita.

Langit berdiri di tengah, Vita dengan santainya mengamit lengan Langit bangga.

Langit berdeham. "Oke guys, langsung aja. Lo semua udah tahu kan pengumumannya di grup angkatan kemarin. Nah, berhubung pemeran cowok udah dapet, kita langsung cari ceweknya."

"Nah, untuk yang perempuan langsung berdiri ya," Tambah Vita lembut.

Langit berkeliling. Langkahnya langsung berhenti di Citra. "Ah, Citra cocok kali ini."

Citra melotot tak terima. Rena cekikian di tempat. Vita yang mendengar langsung mendekat.

"Kok dia sih Lang?" Protes Vita tak terima.

"Ya kenapa? Tubuhnya tinggi. Jadi enak dipakein apa aja," Balas Langit tenang.

"Dia nanti tambah nempel ke lo. Bisa-bisa dia ganjen loh." Vita terus menolak.

"Heh!" Rena berteriak. "Bukannya lo yang ganjen ke Langit?

Tiba-tiba ekspresi Vita berubah seperti hendak menangis. Cewek itu meraih tangan Langit.

"Lang, gue dibentak. Cuma gara-gara cewek itu gue dibentak, Lang. Gue gak terima diginiin, Lang." Vita hampir menangis.

Seisi kelas mulai berhamburan keluar. Muak dengan drama yang ada.

Langit langsung meraih pipi Vita khawatir. "Jangan nangis ya. Oke gue akan pastiin lo gak dibentak lagi. Gue janji."

Langit balik menatap Rena tajam. "Lo kalau jadi cewek---"

Ucapan Langit terhenti bersamaan ponselnya yang berdering. Menampilkan nama papanya yang membuat Langit langsung mengangkatnya.

"Iya, Pa?"

"Jaga Vita terus ya. Kasihan dia. Apapun yang terjadi kamu harus tetap prioritaskan dia. Papa cuma setuju kamu sama dia."

"Iya, Pa."

Langit berbalik. Menatap Citra sejenak. "Tetep kamu ya." Kemudian tangannya mengusap rambut Citra.

Langit kembali menatap Vita. "Jangan nangis ya. Gue gak suka cewek selucu lo nangis."

Citra sudah mental baja melihatnya. Teringat sesuatu, ia mengambil sebuah kardus makanan di tasnya.

"Lang, titip buat mama kamu ya?" Citra menyerahkan dengan senyum manis.

Langit langsung menerimanya. "Wahh, kue buatan kamu ya pasti. Mama suka banget ini."

Vita mendengus marah. "Gak usah sok ngasih deh. Paling juga makanan gak sehat!"

Vita beralih meraih tangan Langit. "Masih ingat kan lo, Lang? Mama lo masuk rumah sakit setelah makan sup dari Citra."

Detik selanjutnya Rena menerjang Vita. Menjambak rambut Vita kuat tanpa peduli tatapan sengit dari Langit.

***

Vita makin menjadi aja.

Kalau jadi Citra, enaknya mau ngapain Vita?

Semangat daringnya!

Memeluk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang