KEEMPAT BELAS

566 91 31
                                    

Sayang, kali ini Joshua lengah. Tubuhnya limbung setelah satu tembakan dari polisi mengenainya. Histeris para penonton tak terbendung. Termasuk para guru yang sampai berdiri sebagian.

Anggota lain berhamburan kabur, tak lagi memedulikan motornya. Ricuh penonton semakin menambah ketegangan drama ini.

Tubuh Joshua yang lemas sudah dibawa polisi. Menaiki panggung, dimana ada Citra yang duduk di kursi dengan tenang.

"Tunggu!" Joshua menghentikan langkah.

"Kenapa?" Tanya polisi itu, rautnya berubah ketika melihat wajah Joshua yang kesakitan.

"Perut gue sakit, gue gak bisa lanjut meranin badboy! Please, cari orang."

Polisi yang tak lain adalah anggota OSIS itu terkejut bukan main. Segera meraih HT-nya. "Langit, Langit. Burhan di sini masuk."

"Langit di sini, Burhan silakan masuk."

"Langit gawat! Drama terhenti. Joshua gak bisa lanjut. Bisa cari orang lain? Cepat!"

Langit langsung gelagapan mendengarnya. Turun dari motor dengan cepat. Cowok itu lari menuju ruang seni, dimana bagian dari drama ada di sana.

"Please, ada yang bisa gantiin Joshua?" Tanya Langit tanpa basa-basi.

Seorang cewek berkucir kuda bertanya, "kenapa dia? Dialognya lumayan loh."

"Sakit dia tiba-tiba. Dan gue rasa dia gak bisa," Sahut Langit masih dengan raut khawatirnya.

Della, cewek itu tiba-tiba berdiri. Menelpon seseorang dengan raut bingung juga.

"Duh, anggota gue gak ada yang bisa juga nih," Keluhnya tak tahu harus bagaimana.

Bahu Langit melemas. Tidak mungkin drama itu dihentikan begitu saja.

"Gimana, Del?"

Keduanya menoleh. Pak Miko, guru seni datang tergopoh. Menatap keduanya bingung. Langit langsung menjelaskan.

"Kamu aja!" Pak Miko tiba-tiba menunjuk Langit.

Langit menunjuk dirinya bingung. "Saya, Pak? Saya belum hafal dialognya, Pak."

Pak Miko mengangguk mantap. "Iya. Kamu pacarnya Citra kan? Chemistry kalian mudah nanti pasti."

Langit menatap Pak Miko datar. Terkejut akan hubungannya yang diketahui guru juga, meski ada rasa senang dapat beradu akting dengan pacarnya. Meski, harus menghafal dialog dadakan.

***

"Terus kamu keren bisa balas dendam dengan hajar orang gitu? Iya?!"

Drama kembali berlanjut. Citra berperan sebagai Bu Mirna dan Langit sebagai Badrol. Cowok itu berlutut tertunduk di depan Bu Mirna yang murka.

"Dia yang mulai, Bu! Saya gak terima harga diri saya dilecehkan seperti itu!" Teriak Badrol masih tertunduk.

Bu Mirna terkekeh miris. "Memalukan! Tidak ada yang melarang kalian membuat geng motor seperti itu. Hanya saja, kalian tidak tahu mana tindakan salah dan mana yang benar. Kalian cenderung membenarkan semua tindakan."

"Kenapa ibu ngatur saya? Saya lebih tahu tentang geng, Bu."

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Badrol. Sangat keras untuk ukuran drama. Sepertinya Citra benar-benar niat menampar Langit.

Backsound berubah. Instrumen Terima Kasihku mengalun merdu. Langit berdiri. Kini sejajar dengan Citra.

Citra tersenyum pada Langit. Bersiap membacakan puisi yang dihafal seadanya.

Guru...
Tugasmu nanti kurindu
Terikan marahmu kenangan indah bagi kami
Jam kosongmu takkan pernah kami lupa

Marahmu demi kami
Hukumanmu untuk kesuksesan kami
Maafkan kami yang selalu membangkangmu
Selalu menyepelekan setiap tindakmu

Nyatanya...
Itulah yang kami rindu kelak
Almamater kampus tidak akan melekat di tubuh tanpa jasamu

Guru...
Terima kasih atas campur tanganmu dalam setiap langkah kami

Suara tepukan riuh menggema di setiap penjuru. Semua siswa geng tadi berkumpul di depan panggung. Semuanya membentuk lingkaran dan berangkulan bahu.

Langit menarik tangan Citra agar turun. Keduanya bergabung di lingkaran besar itu. Berdiri di tengahnya. Lingkaran perlahan terbelah. Masih berangkulan, mereka mereka menghadap ke semua guru yang duduk di kursi.

Langit berdeham singkat sebelum angkat suara. "Kulo dados perwakilan konco-konco ngaturaken pangapunten saageng-agengipun inggil sedoyoning kelepatan ingkang kito tindakaken dangu meniko. Ngiras matursuwun dateng sedoyo bapak ibu guru ingkang sampun ngiringi kita lebet sedaya bab tanpo raos pamrih."

(Saya sebagai perwakilan teman-teman mengucapkan maaf sebesar-besarnya atas semua kesalahan yang kami lakukan selama ini. Sekaligus terima kasih kepada semua bapak ibu guru yang telah mendampingi kami dalam segala hal tanpa rasa pamrih)

Pak Yono, kepala sekolah Nusgar berdiri. Meraih mic. "Iyo le¹, nduk². Podo-podo. Ancene manungso ki anggone salah. Kami, bapak-ibu guru yen durung iso didik kowe kabeh ning dalam sing apik, yo dimaafne yo? Kito bareng-bareng sinau dadi wong sing apik. Alon-alon wae, asal kelakon."

(Iya. Sama-sama. Memang manusia itu tempatnya salah. Kami, bapak-ibu guru jika belum bisa didik kalian semua di jalan yang benar, ya dimaafkan ya? Kita bersama-sama belajar jadi manusia yang benar. Pelan-pelan saja, asal terlaksana)

Suara riuh tepukan terdengar indah. Nusgar terkenal sebagai sekolah yang masih menerapkan adanya Bahasa Jawa di tengah ibu kota ini. Langit saja masih tersendat-sendat saat mengucapkan tadi.

Jika semua bahagia, berbeda dengan Vita yang tampak kesal di sana. Tak terima Langit sebegitu dekatnya dengan Citra pagi ini. Begitu semua bubar, Vita langsung menghampiri Langit.

"Langit!" Vita merengek.

"Apa?"

"Lihat nih!" Vita menunjukkan lengan jas OSIS-nya yang terkena noda. "Tadi tuh Citra numpahin minuman ke sini."

Alis Langit terangkat bingung. "Masa iya? Lo tadi emang deketan sama dia?"

"Iya!" Vita hampir berteriak. "Katanya dia gak terima plus ngatain kalau gue cewek murahan."

"Citra bilang gitu?" Tanya Langit tak percaya.

Vita mengangguk cepat. "Iya. Mana dia nyuruh gue tobat. Kan gue gak ngapa-ngapain."

Langit mendekati Vita. Merangkulnya sejenak. "Iya udah. Nanti gue nasihatin dia supaya gak ngatain lo sembarangan."

***
*

Terjemahan:
¹Le: panggilan orang tua kepada anak laki-laki
²Nduk: panggilan orang tua kepada anak perempuan

Akhirnya. Masih nyantai dulu ya ini.

Satu kalimat untuk Langit?

Satu kalimat untuk Citra?

Satu kalimat untuk Vita?

Satu kalimat untuk Joshua?

Ada yang rindu Kenzi?

Memeluk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang