KESEMBILAN

651 100 49
                                    

"Citra!"

Citra langsung menjauhkan ponselnya begitu mendengar suara Rena yang keras. Hari weekendnya terganggu.

"Apa?"

"Lo bisa tidur semalem?"

"Sabtu dan Minggu gue gak bakal pernah bisa tidur. Semalem gue minum obat tidur."

"Eh serius? Lo gak nyilet kan?"

"Sakit gue gak separah itu. Gue masih bisa ngendaliin diri."

"Terus Sabtu sore lo kemana?"

"Nenangin diri. Ada klien yang batalin kerjasama. Mana dari luar negeri lagi. Dia tahu kalau perusahaan bukan bokap yang pegang. Jadi, dia gak yakin."

"Gue gak paham sama apa yang lo bilang tadi. Tapi gue salut sama lo. Masih bisa hidup sampe sekarang. Eh btw pacar lo gak dikasih tahu?"

"Buat apa? Emang dia peduli? Yang ada gue bakal dicap gila."

Kemudian Citra lebih memilih menutup sambungan. Kembali menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Tak peduli jika ini siang hari. Menumpahkan segala sesak yang berkecamuk di dada melalui air mata. Sampai satu pesan dari Rena muncul.

Rena: Lo kuat lah demi orang yang sayang lo. Contohnya gue. Inget, lihat-lihat doang barang di mall itu masih nyenengin.

***

Langit mencoba menegakkan tubuhnya. Berdiam diri di rumah sakit selama dua hari membuatnya lelah.

"Masih sakit, Bang?" Tama bertanya. Mendekati putranya perlahan.

"Dikit, Pa. Udah lebih enakan kok."

Tama mengangguk. Mengusap pelan rambut Langit. "Sampai sekarang Papa masih berat tentang keputusan kamu mendonorkan sebagian organ hati ke pasien itu."

Langit terkekeh pelan. Teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. "Aku kasihan ke anaknya, Pa. Anaknya seumuran aku, kalau seumuran aku kehilangan sosok Ayah pasti sakit. Apalagi dia anak perempuan."

"Alasan itu yang bikin Papa mengizinkan."

"Langit!"

Pekikan dari pintu membuat pandangan keduanya teralih. Vita dengan senyum lebarnya berlari mendekati Langit. Tangannya terulur menyalami tangan Tama.

Tama yang sangat suka pada Vita, langsung berkata. "Papa keluar dulu. Kalian silakan dilanjut pendekatannya. Ditunggu kabar baiknya."

Vita kegirangan di tempat. Menatap Langit dengan raut ceria yang membuat Langit bergidik.

"Lo mau apa?" Tanya Langit galak.

"Mau kamu," Jawab Vita asal. Langit semakin bergidik dibuatnya.

"Gue lagi sakit, Vit. OSIS gak akan kelar kalau gue gak cepet sembuh. Mereka gak bisa kerja kalau gak ada gue," Jelas Langit pelan. Kembali berbaring dan mengabaikan Vita.

Vita berdecak kesal. Ia menarik selimut Langit. "Pacar lo kemana nih? Gak jengukin lo sampai saat ini?"

Langit memejam, lalu duduk kembali. "Gue udah ngabarin dia tadi. Ya, mungkin dia udah gak peduli sama gue. Biarin ajalah. Biar sadar diri."

Tersenyum picik, Vita mengusap pelan lengan Langit. "Udah gak ada yang perlu dipertahankan tuh. Mending tinggalin."

Langit tak menggubris. Menyentak tangan Vita kasar. "Gue mau tidur."

"Orang chat lo tadi udah gue tarik kok. Ya jelas Citra gak bakal bisa baca," Batin Vita kegirangan.

"Langit!"

Langit membuka mata cepat. Di pintu, Citra berdiri dengan kakinya yang berdarah. Keringat membasahi keningnya. Langit menatap malas. "Kemana aja? Pacar sakit malah gak dijenguk."

Citra tak menjawab. Langsung mendekati Langit. "Apa ini efek donor organ hati itu?" Tanya Citra khawatir.

"Lo gak perlu tahu!" Sahut Vita cepat. "Lo gak dibutuhkan lagi jadi pacar Langit!"

"Iya." Langit menyetujui. "Bahkan aku sakit, cuma Vita yang rawat. Lah, kamu kemana? Gak ngertiin banget jadi pacar."

Ada beban yang terasa menghambat pernapasan Citra. Ia menatap Langit sendu. "Gitu ya? Emang kamu selalu ada saat aku terpuruk?"

Langit berdecih. "Terpuruk? Kamu terpuruk? Itu cuma alasan klasik buat boomerang aku kan? Gak mempan? Lo bahagia terus gitu, terpuruk darimana?"

"Bahagia kamu bilang? Setelah kamu lebih mentingin Vita, kamu bilang aku bahagia? Mata kamu dimana Lang?" Balas Citra terus menatap Langit tajam.

Langit membenarkan duduknya. Perlahan menurunkan kakinya dari brankar. Memperpendek jaraknya dengan Citra. Langit menahan tubuh Citra yang hendak mundur.

Kalimat Citra seakan menamparnya. Ingatannya kembali ke rentetan kejadian dulu yang ia anggap biasa. Langit menatap Citra tajam. "Jadi, kamu menderita selama ini?"

"Menurut kamu?" Alis Citra naik satu. "Bahkan aku hampir keserempet saat jalan ke sini."

Langit membeku. Tidak ada pergerakan dari pria itu. Langit menatap Citra dengan pandangan kosong. Sebelum akhirnya membawa tubuh Citra ke dalam pelukannya.

"Eh kalian apaan? Kenapa sih harus peluk-pelukan?" Vita dengan cepat menyelinap diantara keduanya. Mendorong tubuh Citra kasar menghantam lantai.

***

Vita si pengganggu.

Wah donor hati. Apaan tuh?

Seberapa benci kamu dengan Vita?

Maaf kemarin dikit, ini juga gak terlalu banyak. Terima kasih semua yang udah dukung aku sampai saat ini.

Jaga kesehatan semuaa.

Memeluk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang