KELIMA

695 104 55
                                    

"Gak sia-sia juga gue lukain tangan." Cewek itu tersenyum puas.

"Pada akhirnya Langit bakal jadi milik gue selamanya, Citra." Lagi, ia tersenyum bangga pada dirinya sendiri.

Seorang cowok mendekat. "Gue juga mau hancurin dia."

Cewek itu menoleh. "Cara lo rapi ya. Gue suka."

Keduanya tersenyum bersama. Merasa bangga dengan hasil kerja keras selama ini.

***

Citra percaya akan ada saatnya diatas dan ada saatnya dibawah. Seperti adanya pelangi setelah hujan.

"Benar, akan ada pelangi setelah hujan. Tapi mereka lupa jika pelangi hanya datang sesaat. Seperti kebahagiaan sesaat dan kesedihan yang abadi." Citra bergumam di kursi rumah sakit.

Tuhan masih sayang pada Citra. Mamanya berhasil selamat lagi kali ini. Hatinya masih tak tentu, Citra izin tidak masuk sekolah hari ini.

"Citra maaf."

Citra menatap datar cowok di depannya. "Buat apa dimaafkan jika akan melakukan kesalahan yang sama lagi?"

"Cit, situasi kemarin beda. Vita benar-benar tertekan. Dia mau bunuh diri, Cit." Langit menggenggam tangan Citra.

Langit bolos sekolah hari ini. Terus mengejar Citra untuk memaafkannya. Saat ini mereka berada di kantin rumah sakit yang sepi.

"Tapi aku juga butuh kamu, Lang. Posisi aku gak kalah sulit sama Vita." Citra memperjelas lagi meski sebenarnya sudah muak.

Langit mengerling jahil. "Jadi pacar aku marah nih?"

"Menurutmu?" Balas Citra dingin.

"Jangan marah dong. Cantiknya ilang loh nanti. Gimana cara ngembaliinya?" Tutur Langit dengan raut menggoda.

"Gak mempan!" Citra menjawab tajam.

"Ululu pacarnya Langit." Cowok itu memainkan kedua pipi Citra bergantian.

Citra langsung menepis. "Apaan sih, Langit? Jijik tau gak?"

Tak kehabisan akal, Langit mendekatkan wajahnya ke Citra. "Kamu bau."

"Ya." Lagi-lagi Citra membalas tanpa perasaan.

Langit kehabisan akal. Terus menatap intens wanitanya yang merajuk. Langit baru saja hendak beraksi lagi jika ponselnya tak berbunyi kencang saat ini.

Citra menghela napas lelah. Vita lagi.

"Cit---"

"Mau pergi kan? Pergi aja!" Citra memotong cepat.

"Cit. Tangan Vita pendarahan lagi. Aku harus lihat dia. Nanti kalau dia kenapa-napa gimana?" Langit meraih tangan Citra, membujuknya lagi.

"Apa aku harus peduli?"

Citra membuang muka. Menahan air mata di pelupuknya agar tidak jatuh.

"Citra aku mohon. Kali ini aja ya?" Langit tak berhenti membujuk. Tak peduli ucapan Citra.

"Lang. Saat aku butuh support ketika keadaan Mama memburuk, kamu gak ada di sisi aku. Dan sekarang, saat aku coba buat bangkit kamu mau pergi gitu aja?" Citra menatap Langit tajam. Sampai cowok itu diam tak berkutik.

Langit memperkuat genggaman tangannya. Tak ada perasaan bersalah di wajahnya. "Maaf, tapi keadaan kamu kemarin gak seburuk Vita. Dia lebih butuh aku, Cit."

Jika saja Citra tidak lelah, dia sudah meneriaki cowok di depannya ini bahwa dirinya juga butuh Langit saat ini. Sangat butuh.

Citra menunduk. "Kalau kamu pergi, artinya kamu siap ngelepas aku, Lang."

"Aku---." Suara Langit terinterupsi oleh dering ponselnya. Nama Vita muncul di sana.

"Langit, gue mohon cepet ke sini. Gue gak kuat berdiri, Lang."

"Iya-iya lo tenang ya. Gue ke sana cepat."

"Lagian lo ngapain sih sama Citra? Dia cuma caper ke lo, Lang."

Tanpa Langit tahu, pipi Citra sudah basah. Apalagi saat cowok itu pergi begitu saja tanpa pamit ke Citra.

"Tanda love di belakang nama Vita udah jadi bukti. Gue emang gak sepenting itu buat lo, Lang."

***

Ini Langit diapain enaknya?

  Vita sangat....

Duh besok udah sekolah aja, udah pada tatap muka atau masih daring nih?

Memeluk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang