Suara yang dirindukan

186 11 15
                                    

Pupil bening itu bergerak kesana kemari, matanya yang besar menyapu ruangan megah bernuansa kuning emas. Tangan kecilnya tanpa sadar menempel pada sofa kulit yang lembut sekali. Cikal, bocah kecil yang memakai baju kebesaran itu mulai membuka mulut mungilnya, hanya untup menguap lebar. Seumur hidup, tidak pernah sekalipun Cikal terjaga di jam sebelas malam, Bunda-nya pernah berkata, diatas jam sepuluh malam adalah jam-nya orang dewasa.

"Ngantuk?"

"Enggak, Aku nungguin Aa pulang, dia janji mau anterin aku ke Bunda."

Silver tersenyum simpul melihat anak didepannya kembali menguap, kali ini disertai dengan mengucek mata-nya yang mulai berair.

"Emangnya kamu tau dia pergi kemana?" Tanya Silver selembut mungkin. Ia tidak ingin terlihat galak sedikitpun dihadapan anak lelaki itu, apalagi ia tahu anak itu ada hubungannya dengan lelaki yang tiba-tiba menghilang tanpa membalas pesan Line-nya sore ini.

"Rumah Sakit." Jawab Cikal dengan suara lemahnya. Cikal terlalu mengantuk untuk ditanyai ini itu.

"Asa sakit?"

Gidikan dibahu Cikal sudah cukup membuat Silver mengerti bahwa bocah itu pun sama seperti dirinya. Tak tahu apa yang terjadi pada Asa malam ini. Semoga saja tidak buruk, hanya itu yang ia sematkan didalam hatinya.  Pada akhirnya, Silver beranjak dari sofa menuju dapur, membuatkan segelas susu hangat untuk seorang anak yang bahkan ia sendiri pun tak tahu identitasnya. Biarlah, Hanya dengan segelas susu, tidak akan membuatnya menyesal, bukan?

•••

Sudah 8 jam berlalu, operasi Natalia tidak berjalan begitu lancar, bahkan bisa dibilang sia-sia. Terlalu banyak luka yang harus dijahit, organ yang mulai membusuk, kulit yang sudah membiru. Jika bukan karena Sam, dokter egois yang ingin menyelamatkan nyawa wanita yang dicintainya, mungkin Natalia sudah dibawa ke rumah duka sejak sebelum memasuki ruangan operasi.

"Dokter, kita harus berhenti disini. Ini tidak benar, semakin lama operasi ini berjalan, kita hanya merusak tubuhnya saja." Kata salah satu asisten yang sudah mulai kelelahan.

Salah satu asisten lain mengangkat tangannya dari pisau pisau operasi. Perawat perempuan yang sudah cukup berpengalaman itu menghembuskan napas keras-keras, "Dia benar! Apa kau tahu kita sedang meng-operasi seorang mayat sejak 8 jam yang lalu? Pikirkan keluarganya! Katakan kau bukan seorang malaikat yang bisa menghidupkan orang mati dengan ajaib! Berhenti bersikap egois dan jangan melakukan prosedur melenceng hanya karna masalah pribadimu!" Sentak perawat itu.

"Jika tidak berniat membantuku, kau bisa keluar dari sini. Saya tidak butuh asisten yang pesimis." Jawab si dokter yang jengah dengan kelakuan asisten-asistennya yang tak berhenti berkeluh kesah.

"Kau yang pesimis! Dokter yang meragukan tentang mati dan hidup seorang pasien adalah seorang dokter terburuk, kau sendiri yang menanamkan kata-kata itu pada kami selama ini!"

Brakkk!

Seluruh perawat tersentak saat Sam menendang salah satu nakas dengan sangat keras hingga membuat nakas malang itu berpindah beberapa meter dari tempat asalnya.

"Maaf... Maaf Natalia, maaf Asa. Aku ayah yang buruk! Aku dokter yang bodoh! Aku bodoh! Maafkan aku!"

Perawat lain menunduk mendengar racauan lirih dari mulut Sam. Dokter yang sangat mereka hormati selama ini, sekarang begitu rapuh, tubuhnya meluruh. Tidak mereka sangka, Seorang dokter hebat yang sudah ratusan kali melihat kematian, tetap saja bisa menjadi selemah ini ketika dihadapkan dengan seseorang yang berarti.

"Dokter... Saya akan mengumumkan jam kematian pasien ini." Ujar salah satu perawat perempuan yang cukup berpengaruh itu membuat Sam terhenyak. Hatinya sakit. Tapi memang sewajarnya begini, bahkan sejak 8 jam yang lalu, sebelum operasi dimulai, jantung Natalia sudah berhenti berdetak. Sam masih cukup waras untuk menyadari hal itu.

"20 September 2018, Pukul 03:32, Natalia─"

"Tidak, umumkan jam kematiannya yang asli."

"Baik, Dok."

               "19 September 2018, Pukul 19:47, Natalia Kusuma, usia 36 Tahun 4 hari, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung."

•••

Asa menyipitkan matanya, cahaya lampu begitu menyilaukan. Sudah beberapa menit matanya terbuka, namun tak ada yang menyadarinya. Asa merintih, dadanya linu. Ia terbatuk pelan. Berbaring hanya membuat nafasnya tercekat. Asa mencoba bangun, namun tidak bisa. Tubuhnya terlalu lemas, kepalanya pusing. Asa ingin memejamkan matanya kembali jika saja tidak ada tangan halus yang menyeka keringat didahinya dengan gerakan lembut.

"Jangan bangun dulu, temani Bunda sebentar saja."

Deg!

Asa terperanjat. Suara itu sangat ia rindukan. Sosok Bunda benar-benar ada dihadapan-nya. Berdiri disamping kanan tempat tidurnya, Tangan wanita itu masih bertengger di pucuk kepalanya. Asa merasakan sisiran tangan yang begitu nyaman hinggap dirambutnya.

"Bunda gak kenapa-kenapa? Kenapa Bunda disini?"

"Asa gak suka Bunda disini?"

Si anak terdiam sejenak, dahinya nampak mengkerut─

"Bu─Bunda, Maksud aku gak gitu!" Jawab Asa terbata-bata.

Lelaki itu menghela napas saat melihat senyum Ibunda yang selama ini sudah menjadi obat penenang alami-nya. Perlahan tubuh rapuh itu direngkuh oleh sang Bunda, meski hangat tak mendominasi, tapi Asa cukup nyaman. Hatinya berubah teduh, sakitnya perlahan menghilang. Yang tersisa hanya rasa tenang, aman, dan nyaman.

Senyum tipis mulai terbit di wajah Asa, tangan Natalia semakin erat merengkuh anak semata wayangnya, tidak ingin ia lepas lagi, jika bisa. Asa membalas pelukan hangat itu, matanya berbinar sekaligus sendu,   "Aku rindu suara Bunda, bicaralah lebih banyak lagi." Bisiknya lirih.

"Bunda disini, akan tetap disini. Bunda akan selalu ada dimasa-masa tersulit kamu. Kalau kamu merasa ingin menyerah, ingat Bunda yang gak pernah mengizinkan itu. Kalau kamu lelah, tidurlah! Bunda akan datang dengan cara seperti ini. Janji untuk jangan pernah merasa kehilangan Bunda ya? Bunda gak suka anak lelaki yang cengeng, jadi jangan sering-sering nangis! Kalau kamu mimpi buruk, bacalah do'a sebelum kembali tidur, Bunda akan mengubahnya menjadi mimpi terindah untuk kamu. Mengerti?" Ucap Natalia panjang lebar dengan suara yang paling lembut. Ada cinta disetiap intonasi-nya.

Orang lain mungkin akan bosan mendengarkannya, tapi tidak dengan Asa. Suara sang Bunda bagaikan Lullaby ditelinganya. Lelaki itu memejamkan mata guna meresapi seluruh kalimat yang Bunda-nya katakan.

Asa hanya berharap, jika ini mimpi, maka biarkan ia terlelap lebih lama lagi.

Sayangnya, Asa terbangun saat itu juga. Hal pertama yang lelaki itu rasakan adalah hawa dingin, gelap, dan sesak. Tidak ada Natalia disampingnya. Seluruh sakit ditubuhnya kembali lagi. Masker oksigen masih bertengger di hidung dan mulutnya, tapi sesak itu masih tak tertahankan. Tubuh yang sudah remuk itu hanya bisa meringkuk di ranjang putih kamar rawatnya. Dadanya sakit tak tertahankan. Perutnya perih, seluruh tulang dan sendinya linu. Sebagian sprei sudah dibasahi oleh keringat yang diproduksi tubuhnya. Bantal empuk itu kini berubah menjadi samsak untuk Asa, kepalan tangan kurus itu berkali-kali memukul dan meremas bantal putih yang tidak bersalah, berharap dengan itu sakitnya tersalurkan.

"Aa─arghh! Ya Allah... sakit!"   Rintihan itu sungguh pilu, mungkin siapapun yang mendengar dapat merasakan 50% apa yang dirasakan Asa saat ini. Bahkan masker oksigen sudah lepas dari tempat asalnya, sebab lelaki diranjang itu terus berguling kekanan kekiri karena nyeri tak tertahankan. Lagipula, tabung oksigen tak terlalu membantu meringankan sesaknya.

Terakhir kali keadaannya seperti ini, ada Bunda yang sigap menerobos kamarnya di pagi buta, menolong dan merawatnya dengan cekatan, memeluknya dengan erat seolah membagi dua rasa sakitnya. Sekarang, entah pada siapa dirinya harus berharap selain pada Tuhan yang berkuasa atas nyawa-nya.

Ya Tuhan, entah sudah berapa juta kali aku tanpa malu meminta pada-Mu supaya Izrail tidak membawaku bersamanya. Dan aku melakukannya lagi hari ini, aku hanya ingin mencium pipi Bunda sekali lagi saja...

──────

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang