"Ibu ini bilang, kenapa kamu bisa bawa anaknya kesini? Dia juga nanyain kenapa wajah kamu babak belur,"
Grey berdehem, ia sedikit merasa terintrogasi. Apalagi ketika anak itu harus menelan malu saat ia tak mengerti apa maksud dari gerakan tangan milik Natalia yang ternyata adalah sebuah isyarat. Tapi dirinya sadar, bagaimanapun ia harus menjelaskan kejadian tadi sore kepada dua orang tua didepannya sekarang.
"Aku dipukulin, Om, Tante. Bang Asa yang tolongin aku," jawabnya dengan suara rendah.
"Dipukulin siapa?"
"Uhm─ preman..., yang lagi mabuk di depan gang."
Grey menelan ludahnya kasar. Dariawal lelaki itu memang tak berniat memberitahu kejadian yang sebenarnya. Ada rasa trauma dalam dadanya.
Orang dewasa bisa melakukan apapun atas segala kuasanya. Pikir Grey. Dan itu menakutkan. Kakak kandungnya sudah menjadi korban.
Ia bisa saja membuat orang dewasa dihadapannya itu menuntut bintang dan gerombolannya yang telah memukulinya selama ini. Bahkan disekolah, Grey tak pernah bisa bernafas lebih luas selain di wc lelaki dan gudang sekolah. Meskipun begitu bintang cukup pintar untuk memukulinya diluar area sekolah, atau diluar kawasan yang bisa terlihat oleh orang lain, sehingga tak ada satupun pihak sekolahan yang melihat dirinya dipukuli dengan brutal oleh anak seusianya yang seharusnya masih dalam masa bersenang-senang dengan bola dan lapangan.
"Seberapa sering kamu dipukulin sama preman? Disini ada bekas memar yang saya liat sih ini luka lama, sekitar seminggu yang lalu?"
"Uhm..., aku..., aku sering dipukulin karena... nyuri, hehe..."
"Nyuri?"
'Sam, udahan nanya-nanya ke anaknya. Suruh dia pulang aja. Bilang makasih karna sudah antar Asa ke rumah sakit.'
Sam, si dokter lelaki itu hanya mengangguk selepas membaca tulisan tangan super rapih milik Natalia. Ia membenarkan letak kacamata minusnya, keningnya mengernyit seraya menatap fokus anak muda yang ada didepan matanya.
"Perlu saya panggikan taksi? Siswa SMP seperti kamu gak mungkin bawa kendaraan pribadi kan?"
"Gak perlu, dokter. Makasih. Aku pamit.."
Grey mengangkat tubuh letihnya dari sofa empuk milik seorang ibu yang tengah menatapnya sedikit risih. Ia terhenyak saat menangkap tatapan tidak mengenakan itu. Bahkan tatapan itu tidak lebih buruk dari tatapan mata ibu kandungnya sendiri.
"Aku janji..., Bang Asa gak bakal terlibat lagi. Aku yang salah. Semoga Bang Asa cepet pulih,"
"Tante, makasih atas teh hangat dan kue bolunya..,
Ah—"
Grey melirik kearah kue bolu yang sengaja diletakan dimeja, tampaknya kue itu baru saja dikeluarkan dari kulkas. Tidak lupa lilin berangka 3 dan 6 yang masih bertengger manis diatasnya.
"Selamat ulang tahun, tante."
Natalia tertegun. Tak lama kemudian Grey sudah lenyap dari pandangannya. Sam kembali duduk disampingnya setelah mengantar anak muda itu sampai ke pintu utama.
"Jangan begitu, Nat. Kalo anak itu gak pulangin Asa kesini, kita gak tahu gimana nasib anak kamu sekarang."
Mendengar omelan itu Natalia hanya meringis tanpa berniat membuka suara, lagipula ia memang tak bisa melakukannya meskipun ia ingin.
"Saya yakin anak itu diancam yang macam-macam sama Asa supaya gak digeret ke rumah sakit...," gumam Sam sambil menyeruput teh hangatnya.
Natalia hanya tersenyum maklum menanggapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Teen FictionAsa Rapuh seperti Balon yang dikelilingi jarum. Harus berhati-hati saat bersamanya, sekali salah melangkah ia bisa hancur. Sedangkan Silver bagaikan jarum ditumpukan jerami. Jika kamu jatuh hati padanya, bersiaplah untuk terluka. Lalu, Apa yang kamu...