"Asa? Motor Lo kemana?"
"Dijual."
Alih-alih menghiraukan wajah kaget teman lelakinya, ia malah mendapatkan tepukan keras dibahunya. Asa meringis untuk itu.
"Sakit bego!"
"Kenapa dijual?" Tanya Willis, menghiraukan makian Asa barusan.
"Kepo Lo, bule gagal."
"Tai! Serius!"
Asa mendelik kesal, teman sebangkunya itu tak sadar ia dalam keadaan badmood, down, atau mungkin depresi? Ah, itu terlalu berlebihan.
"Gak dibolehin bawa motor lagi sama Bunda."
Sekarang Willis tak lagi menanyainya. Asa melanjutkan jalannya menuju kelasnya yang tak cukup jauh dari gerbang. Karna kebetulan kelas Asa berada dilantai dasar.
"Ketahuan kena tilang ya sama Bunda Lo? Kayak gue minggu kemarin." Lelaki dengan paras sedikit ala barat itu mengangguk-angguk sok mengerti.
Asa mendengus, "Sotoy Lo, Wil." Lelaki berkulit putih dan berpostur tidak terlalu tinggi itu memang bukan siswa teladan. Namun ia juga tidak pernah berurusan seperti itu dengan polisi, ia selalu menuruti peraturan lalu lintas. Tidak seperti Willis yang memang sudah badung dari sananya. Dimanapun, dan kapanpun.
"Gue juga gak ngerti. Bunda terlalu khawatir sama gue. Gara-gara sering naik motor kena angin setiap hari, katanya takut paru-paru gue makin rusak."
"Rusak?"
Asa mengangkat bahunya tanda tak peduli. Ia berjalan mendahului Willis dan melenggang masuk ke kelasnya. Dibelakang ia sempat mendengar Willis berujar cukup jelas.
"Lebay bunda Lo, Sa."
***
Karena nyatanya, Lo yang lupa sama gue, Sa.
Silver tidak lagi sama. Sekarang, ia menjadi pembenci.
Tidak. Bukan membenci seseorang. Lebih membenci dirinya sendiri, dirinya yang dulu.
Silver mencintai dirinya yang sekarang. Jauh dari kata terkenal. Jauh dari sorot kamera. Jauh dari gaya hidup glamour-nya. Dan jauh dari gaya stylish. Karena, Silver sadar, semua itu juga akan menjauhkannya dari lelaki brengsek yang hanya bisa melihat menampilannya, paras cantiknya, popularitasnya. Lalu merusak hidupnya.
Tangan putih itu bertumpu pada meja kantin. Pelan-pelan ia menyeruput ice lemon tea yang ia pesan barusan. Dibalik kacamata ber-frame bulatnya ia menyidik figure seseorang yang ada diujung sana, jauh dari tempatnya berada. Silver ikut tersenyum saat orang itu juga tersenyum meski Silver sadar itu bukan untuknya. Namun yang membuat Silver seperti itu adalah... Senyum itu─
Gak berubah. Lo masih jadi Asa yang gue kenal.
Gue kangen Lo, Sa.
Namun, terlepas dari senyum itu. Silver mendesah ketika menyadari apa yang Asa kenakan. Seketika Silver memalingkan pandangannya.
Kenapa Lo pake jaket disekolah, Sa? sakit kah?
Tapi yang lebih membuat Silver malas adalah─
Kenapa harus warna biru sih, Sa..
Tanpa sadar, Silver menggenggam erat gelas beling ice lemon tea-nya geram. Entahlah, Silver hanya...
─membenci biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Teen FictionAsa Rapuh seperti Balon yang dikelilingi jarum. Harus berhati-hati saat bersamanya, sekali salah melangkah ia bisa hancur. Sedangkan Silver bagaikan jarum ditumpukan jerami. Jika kamu jatuh hati padanya, bersiaplah untuk terluka. Lalu, Apa yang kamu...