Malam yang begitu panjang untuk seorang remaja SMA yang terduduk gusar di hadapkan dengan kemungkinan hidup dan mati seseorang yang baginya lebih dari berarti.
Ketakutan, putus asa, ingin menjerit melawan Tuhan. Mungkin ini yang sering dirasakan Bunda-nya setiap kali melihat Ia sekarat. Asa berusaha sekuatnya untuk tidak menangis, membuat dadanya sesak minta ampun. Tapi, ada yang lebih sakit dari itu, hatinya. Tanpa terkontrol, di otaknya, Asa melihat sekelebat bayangan hidup tanpa sang Bunda, membuatnya meringis pilu.
"Minum dulu, Sa."
Suara pelan itu berada diluar pendengaran Asa yang pikirannya sedang kacau balau. Tapi entah perintah darimana, tangannya yang gemetar hebat reflek meraih botol air mineral yang disodorkan oleh Willis yang memang dari awal terlihat paling sibuk diantara yang lainnya. Meskipun ada tiga sosok yang menghuni kursi besi ruang tunggu Rumah Sakit tersebut, terasa hanya seperti Willis saja yang terlihat hidup. Luca ikut terserang panik yang sama seperti yang Asa rasakan sejak ninja-nya parkir didepan rumah Asa. Sampai sekarang, yang Luca bisa lakukan hanya merangkul pundak Asa yang meluruh kebawah, seolah tidak membiarkan pundak itu menyimpan kesedihannya sendiri. Melihat keadaan sekarang, Willis hanya mendesah bingung.
"Maaf, gak sempet nenangin Lo, Sa. Jujur, kita ikutan panik dapet telpon dari Lo."
Luca menoleh ke arah Willis, matanya sendu, "Maafin Gue." Lirihnya, entah ditujukan pada siapa. Matanya menatap Willis tapi ucapan maafnya terdengar untuk sahabat yang ia rangkul sepenuhnya. Namun tetap dibalas senyum tipis oleh Willis. Ia tahu, Luca tak pernah betul-betul membenci sahabatnya sendiri hanya karena masalah perempuan.
Asa tak menghiraukan apapun. Butuh waktu lama untuk Ia merespon segala sesuatu yang sedang terjadi. Bahkan Asa terlihat kebingungan sendiri membuka tutup botol air mineralnya. Menyadari itu, Luca dengan sigap mengambil alih botol itu dan membukakan tutupnya untuk Asa.
"Makasih."
Luca mengangguk kaku. Ia ragu, entah benar ucapan terima kasih atau bukan, karena Asa hanya membuka bibirnya sedikit dan suaranya pelan dan samar.
Asa meneguknya sedikit, bahkan hanya terlihat menempelkan bibirnya saja pada leher botol. Tangannya putihnya semakin bergetar setelah melakukan aktifitas sedikit saja. Seolah diberi setitik kesadaran, Asa mulai mencerna kembali apa yang sedang terjadi, matanya kembali panas, hatinya sakit, tubuhnya lelah sekali. Namun lelaki itu masih ingin menahan diri agar tidak ambruk, setidaknya sampai keputusan Tuhan pada Bunda-nya sudah jelas.
"Kalo mau nangis, nangis aja, Sa. Kita ada disini buat Lo. Gue juga yakin, Bunda Lo gak bakal marahin Lo kalo Lo nangis."
Asa melenguh panjang saat mendengar tutur kata Willis barusan. Kali ini tak bisa ia tahan lagi. Air matanya mengalis deras. Tameng yang sudah retak akhirnya harus hancur juga saat Luca memeluknya, membiarkan air matanya terserap oleh kaos biru yang Luca pakai saat itu. Pose yang tabu untuk lingkar pertemanan lelaki, namun Luca tak peduli lagi. Jika bisa, Ia ingin bertukar keadaan dengan sahabat terbaiknya tersebut. Setidaknya, ia memilik fisik yang sehat, mungkin ia lebih mampu untuk menanggung beban depresi yang Asa rasakan saat ini. Memikirkan hal mustahil semacam itu membuat Luca ikut merasakan kesedihan yang begitu tajam, matanya ikut basah, namun rengkuhannya semakin kokoh.
Hanya Willis yang terlihat tenang disini, walau kepalanya tiba-tiba pening ketika melihat dua sahabatnya menangis dalam posisi itu. Lelaki itu agak kaget mengetahui Asa benar-benar akan menangis sesegukan. Dan beberapa detik kemudian yang ada dikepalanya adalah rasa panik.
"Sa!"
Suara tangisan paling pilu dari bibir Asa kini beradu dengan nafasnya yang tersengal. Suaranya terdengar menyakitkan, antara raungan, nafas tercekat dan merintih.
"ASA! ATUR NAFAS!" Willis yang panik reflek berdiri, kini tubuh Asa yang menegang, Willis ambil alih. Membuat Luca ikut tersentak.
Asa tidak sanggup. Tangannya meremas dada kirinya seolah ingin menarik jantungnya dari dalam, keringat bercucuran di dahi dan seluruh bagian tubuhnya, kakinya gemetar tak karuan, dahinya mengkerut mengisyaratkan sakit yang teramat sangat. Yang paling buruk, tangisannya tak mau berhenti, membuat jalur pernafasannya tertutup rapat. Asa ingin berteriak, namun yang keluar hanyalah bunyi nafas yang berdecit.
Untuk pertama kalinya, Asa tidak ingin diselamatkan Tuhan. Biarkan begini saja, menikmati kesadaran yang terus menipis, detak yang kian melambat, suhu yang mulai mendingin. Asa inginkan jika Bunda mati, Ia pun demikian. Hingga tak lagi ada, korban yang kesepian.
Setidaknya, jika nafasnya adalah yang terakhir, ia sudah berada dipelukan yang tepat. Sahabat-sahabat yang selalu ia hormati.. dengan sepenuh hati.
• • •
"Halo?"
"Eum.."
"Halo?? Ini bukan Asa?"
"Bu-bukan.."
"Ini siapa ya?"
"Cikal.."
Terdengar bunyi gaduh disebrang sana. Silver tak sengaja menyenggol gelas susu nya hingga laptopnya sedikit terjamah susu stroberi yang sudah ia tumpahkan.
"Cikal? Kamu sepupu Asa?"
"Bu-bukan. Aku dirumah Aa, tapi semuanya pergi, aku sendiri."
Kening Silver mengerut, kenapa tiba-tiba ia berurusan dengan bocah yang ia tidak kenali ini? Padahal Silver yakin dirinya tidak salah nomer.
"Kamu sendiri? Dirumah Asa?"
"I..iya. Takut.."
Gadis itu merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Tunggu ya, Dek. Kakak mau kesana!"
"Eum.."
Silver tak berpikir panjang lagi. Gadis itu langsung menyambar kardigan merah nya. Dan bergegas keluar rumah untuk mengecek rumah Asa dan keberadaan sosok bocah yang barusan berbicara dengannya ditelpon.
• • •
*Kependekan? Sengaja. Pemanasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Teen FictionAsa Rapuh seperti Balon yang dikelilingi jarum. Harus berhati-hati saat bersamanya, sekali salah melangkah ia bisa hancur. Sedangkan Silver bagaikan jarum ditumpukan jerami. Jika kamu jatuh hati padanya, bersiaplah untuk terluka. Lalu, Apa yang kamu...