"Ibu izinin kamu sekolah, tapi ibu gak izinin kamu berpenampilan kayak gini."
"Tapi aku lebih nyaman kayak gini, Bu!"
"Enggak! Anak ibu cantik, gak jelek kayak gini."
Keributan itu sudah terdengar, padahal hari masih pagi. Tidak lain adalah Silver yang sedang pasrah saat ibu-nya melepas dua kuncir dirambutnya dan membiarkan rambut tebalnya menggerai di punggungnya.
"Kalo di iket tuh biar kelihatan lebih rapih, Bu!"
"Sudah berani ngebantah ibu ya, Sil?"
"Aku tuh mau sekolah bukan mau syuting. Disekolah itu panas, bu. Kalo rambut aku digerai gini nanti gerah!"
"Kalo gitu gak usah sekolah aja. Homeschooling mau?"
Vena tersenyum penuh kemenangan saat Silver akhirnya tak menjawab. Bagaimanapun homeschooling adalah hal yang paling dihindari Silver. Gadis itu pasrah saja saat ibu-nya melepas kacamata bulatnya dan menyuruhnya memakai soflens saja. Namun saat Vena hendak memoleskan sedikit make-up diwajah anaknya, Silver menolak tegas.
"Jangan make-up, Bu! Sekali lagi aku ini sekolah bukan syuting!" Ujar Silver kesal. Ia jengah dengan sikap ibu-nya yang tidak pernah mementingkan pendapatnya. Dulu Silver menurut saja ketika dirinya di 'otak-atik' oleh Vena saat ia masih umur 12 tahun. Silver menyesal telah dewasa sebelum umurnya. Ia ingin menyalahkan Ibu-nya, namun Vena selalu berkata padanya bahwa itu demi kebaikan Silver sendiri.
"Oke oke, gak ada make-up." Tanggap Vena kini ia yang menyerah.
"Dan berhenti taro masker diwajah aku pas aku lagi tidur. Silver bukan aset berharga ibu lagi."
"Kok ngomongnya gitu? Ibu cuma gak mau kamu jerawatan."
"Jerawat itu hal yang lazim buat remaja, bu! Kenapa ibu gak urusin Nadine aja sih?! Aku udah cukup dewasa untuk urus diri aku sendiri!"
Vena menghela nafasnya. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya. Ia sedikit tersentak saat Silver membanting pintu. Meninggalkan dirinya sendiri dikamar bernuansa serba pink itu. Hening itu membuat Vena berpikir akan banyak hal.
***
"Ayo berangkat."
"Loh? Kakak gak diantar sama Ibu?"
"Enggak. Aku ikut kamu aja."
Nadine bingung saat kakak perempuannya yang hanya beda setahun darinya itu tiba-tiba meraih tangannya. Mereka berjalan keluar rumah beriringan dengan hening. Bersama kakaknya, Nadine merasa canggung sendiri. Pasalnya, ia tidak pernah sedekat ini dengan Silver. Kakak perempuan satu-satunya itu selalu sibuk dengan job yang bergelimpangan. Yang membuatnya terkadang merasa kasihan karna kerap kali ia melihat Silver menangis entah karna apa. Kadang ia hanya berasumsi Silver menangis karna lelah berkerja. Namun dilain sisi, Nadine kerap merasa iri. Karna sang ibu selalu lebih memilih Silver. Ia hanya seorang anak yang terbelakangi. Ia hanya seperti seseorang yang numpang menetap di rumah besar milik ibunya sendiri.
Dan kini, seperti mimpi ketika ia menyadari duduk tepat disamping Silver. Bus itu melaju. Nadine sedikit risih dengan tatapan orang-orang yang tentu saja sedang berbicara tentang Silver. Ia mencoba mengabaikan suara-suara itu. Ketika menoleh kesampingnya ia melihat kakaknya tenang-tenang saja. Seolah hal ini sudah biasa terjadi dikehidupannya.
"Kak, apa gak bakal bahaya?" Bisik Nadine.
Silver menoleh, ia menangkap ekspresi was-was adiknya. Ia baru sadar bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian satu bus.
"Masih lama gak nyampenya?"
"Sekitar 10 menitan lagi."
Silver hanya mengangguk dan dibalas tatapan bingung sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Teen FictionAsa Rapuh seperti Balon yang dikelilingi jarum. Harus berhati-hati saat bersamanya, sekali salah melangkah ia bisa hancur. Sedangkan Silver bagaikan jarum ditumpukan jerami. Jika kamu jatuh hati padanya, bersiaplah untuk terluka. Lalu, Apa yang kamu...