Jeruji Besi

327 32 2
                                    

"Harus kuat iman sih emang kalo punya temen otaknya cuma segede biji beras begini."

"Lha, bener kan ini nomer dia? Mbak tukang es jeruk sendiri kok yang bilang, Silver buang nomernya di meja kantin. Karna mbaknya fans Silver jadilah dia simpen nomernya yang dibuang. Nah ini nomernya. Mbak es jeruk kasih gue dengan suka rela pas gue cerita ada temen gue yang naksir sama yang punya nomer ini. "

Penjelasan panjang lebar itu hanya dibalas toyoran kepala dari kedua temannya. Asa berpikir, ternyata banyak membaca tidak menjamin orang jadi pintar.

"Terus Lo pikir itu simcard rusak masih bisa dihubungi? Bego dipelihara. Kambing tuh Luc Lo pelihara biar gemuk!"   Sahut Asa gemas.

"Baru gak baca buku sehari aja tololnya udah kelihatan nih anak,"   Susul Willis.

Luca tak menggubris. Hanya masa bodo dengan kedua temannya, kembali memfokuskan diri pada cappucino-nya.

"Lo berdua baru tau ya kalo nih anak emang tolol? Gue mah udah tau dari jaman jebot. Cara ngetik juga kayaknya dia gak tau tuh, sampe chat gue dianggurin. Kayaknya sih ponselnya dia telan saking bego-nya."

Tiba-tiba suara asing muncul. Itu Lucy dari kelas sebelah. Kemunculannya membuat seseorang terlonjak dari posisinya. Luca tak menyangka gadis itu akan mendatanginya ke kelas. Melihat itu, yang bisa Luca lakukan hanya menaruh tatapannya kebawah. Tak berani menatap sorot tajam kekasihnya itu.

"Santai kali, Luc. Keluar yuk, ada yang mau gue omongin."

Santai apanya? Bagi Luca ini adalah pertanda buruk. Ia mengikuti jejak Lucy. Sebelum itu Luca menyempatkan diri untuk melirik ke arah dua temannya dibelakang.

"Wassalam, Luca."

"Cappucino-nya gue yang jagain, hehehe."

Bangke!

Luca hanya pasrah mendengar dua suara meledek itu. Teman-temannya memang tak bisa diandalkan jika sudah menyangkut dengan Lucy dan masalah asmaranya.

Jika saja Layla bukan siswi tingkat akhir tahun ini mungkin ia tak akan sesibuk sekarang, dengan tumpukan sekitar  12 buku tebal yang harus ia bawa dengan tangannya yang hanya dua. Namun seolah memberikan kemudahan, Tuhan mendatangkan seseorang yang tanpa kata hanya mengambil alih sebagian buku dengan bobot lumayan itu.

"Lagi nyari simpati kakak kelas nih ceritanya?"

Diam-diam gadis tinggi berkacamata itu bersyukur ada yang membantunya, jika tidak mungkin dirinya bisa tersungkur bersama dengan buku-buku itu saking beratnya dan sialnya masih ada satu lantai lagi yang harus ia naiki.

"Batal deh nolonginnya. Kakak kelas gue songong."

"Ngambek deh, pms ya?"

Silver yang memang sedang dalam mood buruk tak menggubris candaan Layla yang notabene adalah kakak kelasnya sekaligus sahabatnya sendiri. Layla memang setahun lebih tua dibanding Silver namun usia tak membatasi ke akrab-an antara mereka. Layla bahkan tak mempersalahkan saat Silver tak memanggilnya dengan embel-embel mbak atau kakak. Lagipula Layla bukanlah seseorang yang mengandalkan senioritas.

"Sil, jangan ngambek dong. Mending cerita."

"Cerita apaan?"

"Apa aja. Kabar mantan gue gitu, si Asa misalnya."

Buku-buku itu memang berat. Namun hati Silver lebih berat lagi jika harus mendengar nama Asa dari mulut Layla.

"Kenapa Lo setiap sama gue selalu banggain gelar Lo sebagai mantan Asa, sih? Norak tau, Lay."

Layla tertawa ringan mendengar pertanyaan itu. Bukan sebagai mantan Asa yang gadis itu banggakan. Lagipula Layla tak pernah sedikitpun menyimpan rasa pada lelaki itu. Alasannya adalah wajah merah Silver yang selalu menjadi pandangan empuk bagi Layla setiap dirinya membahas pria itu.

"Apa kabar misi Lo? Udah mulai jalan?"

"On my way, tapi kayaknya gak bakal semulus yang gue kira."

Mereka mulai memasuki gudang yang dituju. Buku-buku tebal lainnya masih menunggu di lantai bawah. Tapi sepertinya Layla memilih untuk istirahat sejenak dan melupakan tugas piket dari Bu Mei yang menyuruhnya untuk memindahkan sebagian buku-buku dari perpustakaan yang sedang melakukan renovasi ke gudang lantai paling atas. Awalnya Layla menolak dengan malas. Tapi tentu saja ia tak mungkin membantah perintah Ibunya sendiri. Lagipula ia menolak karna ingin mendatangi kelas Silver saat tau Silver akan masuk sekolah untuk hari pertamanya. Ternyata orang yang ingin ia temui sudah mendatanginya duluan. Beban Layla terasa sidikit diringankan.

"Dariawal gue juga gak yakin tuh misi bodoh Lo itu bakal berjalan mulus."

"Jangan bikin gue pesimis, kenapa sih?"

Silver membersihkan tangannya, ia berjalan keluar gudang tanpa menunggu Layla yang memilih sedikit menata buku-buku itu terlebih dahulu.

Dari atas sana Silver dapat melihat hampir keseluruhan gedung dan kesibukan para siswa siswi yang sedang berlalu lalang mengingat ini adalah jam istirahat. Silver menyukai keramaian. Tapi ia tidak suka berada ditengah-tengah sana. Ia lebih suka mengamati, seperti yang dilakukannya sekarang ini.

"Thanks, Blue. Kalo aja Lo gak rampas dunia gue yang sebelumnya. Mungkin gue gak bakal dapatin kembali dunia gue yang sekarang."

Besi itu dingin. Tapi mata itu lebih dingin. Jeruji itu keras. Tapi tak sekeras hati orang itu. Disana, dua lelaki duduk berhadapan. Yang satu tampak terganggu dengan besi yang menghalangi keduanya. Yang satu hanya diam menatap kosong kesembarang arah.

"Aku gak pernah ngerti apa yang Abang pikirin setiap hari. Aku emang yang terbodoh dikelas, tapi aku gak pernah berpikir kalo Abangku sendiri lebih bodoh dari aku."

"Selesai bacotnya?"

Lelaki yang lebih muda hanya menggeleng. Tatapan sayunya dibalas dengan tatapan super dingin dari saudaranya sendiri.

"Ibu kayak orang sinting yang setiap hari nanyain keberadaan abang. "

"Saya gak peduli."

Jawaban itu membuat lekaki yang lebih muda merasa geram. Tangannya menggenggam erat besi itu seolah dengan begitu jeruji dingin tersebut akan hancur dan ia bisa menghajar habis-habisan orang didepannya yang dengan ringan berkata tidak peduli. Ia marah namun kondisi tak mengizinkannya untuk menyalurkan emosi yang ada. Jadi lelaki itu hanya diam, sampai seorang petugas dibelakangnya mengatakan bahwa waktunya telah habis.

"Bang, aku pulang."

Selangkah lagi ia akan keluar dari ruangan yang tak seorang-pun berharap tinggal disana. Suara lelaki yang lebih tua justru mengintrupsi sejenak langkah kakinya.

"Do, abang mau kamu belajar beladiri."

Lelaki yang lebih muda tersenyum sinis menanggapinya.

"Biar aku bisa mukulin orang sampe mati terus ikut mendekam dipenjara sama abang? Gak, makasih. Aku lebih nyaman tinggal dirumah sama Ibu,"    Jawabnya. Sekarang ia sudah benar-benar menghilang dari pandangan lekaki yang lebih tua.

Blue mendengus kasar. Bukan itu maksudnya. Tapi jika dipikir ulang, mana ada satupun orang yang akan menganggap jujur perkataan yang keluar dari seorang mulut narapidana.

Jika saja Tuhan mengirimkan satu orang tanpa topeng yang mau mendengarkan kejujurannya, mungkin Blue tak lagi mendekam di dalam jeruji besi.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang