•
Di tengah kericuhan ruang kelas, ada seseorang yang tengah menegang ditempatnya. Wajahnya syarat akan rasa keterkejutan. Mulutnya menganga sangat lebar, bahkan rahang salah satu murid sampai keram karenanya.
"Sama, Wil! Asli sama, Anjrit!"
Luca menepuk-nepuk heboh pundak teman sebangkunya. Ia berbicara sambil terus menatap kedepan, yang Luca lihat adalah sosok gadis yang sama percis dengan walpaper hp milik Willis yang ia lihat di mall minggu kemarin.
"Duduk disana ya, Sil. Teman sebangku kamu masih izin sakit. Jadi kamu sendiri dulu."
Silver mengangguk kecil. Mengabaikan suara-suara heboh disekelilingnya. Ia mencoba tidak menarik perhatian, namun sepertinya mustahil.
Perempuan bermata asli blue sapphire itu menaruh tas selempangnya diatas meja. Ia melirik bangku kosong disampingnya. Silver tahu siapa orang yang akan menjadi teman sebangkunya. Memikirkannya, Silver jadi senang. Namun kesenangannya terbuyarkan saat Guru wanita didepan menepuk penghapus white board ke papan tulis. Guru itu berteriak sendiri berharap agar kelasnya kembali tenang. Setelah dirasa berhasil, ia kembali ketempat duduknya, membuka catatan absennya dan mulai memanggil nama siswa satu persatu. Yang dipanggil hanya cukup mengangkat tangan tanpa harus mengeluarkan suara.
"Yang gak hadir cuma Asa, ya?" Tanya Bu Mei entah pada siapa.
Tanpa sadar Silver menekukan bibirnya kebawah. Hari pertama yang tak diharapkannya. Apakah bisa dibilang bahwa gadis itu sekolah hanya untuk bertemu seorang lelaki?
"Permisi, Bu. Maaf telat."
Bu mei menoleh kearah pintu kelas. Berdiri disana seorang siswa yang baru saja muncul. Ia tersenyum lalu mengangguk. Dirubahnya catatan 's' pada absen Asa menjadi titik yang artinya murid tersebut telah hadir.
Asa seperti orang linglung saat melihat seorang murid perempuan duduk disamping tempatnya. Orang itu tampak familiar namun sedikit asing juga. Biasanya ia memilih duduk sendiri dengan dua bangku, karna saat jam istirahat ia suka menopang kakinya dibangku satu lagi guna melepas penat. Namun lelaki itu juga nampak tak masalah dengan keberadaan murid baru itu.
Lain Asa lain lagi dengan Silver. Perempuan manis itu hanya kikuk ketika Asa tak menyapanya sama sekali. Namun Silver tak terlalu berharap untuk itu. Menurut Silver, lelaki itu ada disampingnya pun sudah lebih dari cukup.
Beberapa jam terlewati, hingga waktu yang selalu ditunggu datang. Jam istirahat selalu jadi terfavorit dikalangan murid-murid.
"Lo beneran Silver Wizardry ya? Artis yang lagi booming itu?"
Awalnya Silver celingukan mendengar suara pertama Asa yang dituju jelas untuknya. Ia gugup tiba-tiba ditanya seperti itu. "Iya." Hanyalah satu kata itu yang Silver ucapkan guna menjawab pertanyaan lelaki disampingnya.
"Silver artis tapi gak sombong, kan ya?"
"Gue bukan artis lagi."
"Loh?"
Asa memasang tampang bingungnya, ia menopang pipinya dengan satu tangan. Ia masih ingin banyak bertanya saat Silver malah pura-pura sibuk dengan bekal makan siangnya.
"Kenapa ngeliatin gue? Lo mau?"
Silver sebisa mungkin mengubur habis rasa gugupnya. Daripada gugup mungkin bisa dibilang terlalu bahagia. Namun gadis itu pintar menutupinya. Ia mantan aktris. Akting bukanlah hal yang sulit. Alih-alih menyodorkan bekalnya yang berisi chicken nugget dan sosis goreng beserta nasi kehadapan teman sebangkunya itu, Asa malah terkekeh sambil mengibaskan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Teen FictionAsa Rapuh seperti Balon yang dikelilingi jarum. Harus berhati-hati saat bersamanya, sekali salah melangkah ia bisa hancur. Sedangkan Silver bagaikan jarum ditumpukan jerami. Jika kamu jatuh hati padanya, bersiaplah untuk terluka. Lalu, Apa yang kamu...