24. Kenangan Buruk

300 55 9
                                    

Sebelas tahun yang lalu.

Saat itu umurku lima belas tahun. Aku menerima surat pemberitahuan jika aku diterima di sekolah menengah negeri favorit. Aku sangat senang, sampai menciumi surat itu. Menghirup aroma khas kertas. Tidak sia-sia aku belajar giat. Aku ingin membanggakan Ibu.

Malamnya, aku langsung menyerahkan surat itu pada Ibu. Aku berharap Ibu akan ikut gembira melihatnya. Menepuk pundakku lalu berkata, "kau sudah berusaha keras, Nak". Itu saja sudah membuatku melayang hingga ke awang-awang.

Aku berjalan keluar. Mendapati Ibu sedang membaca buku di teras rumah. Duduk takzim di kursi goyang kesayangannya. Peninggalan mendiang Eyang Kakung.

Aku mendekat. "I-ibu..." panggilku lirih. Berdiri mematung di sampingnya.

Ibu mengangkat wajah datar. Kembali tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya.

"Apa maumu?" Tanyanya dingin tanpa melihatku.

Aku tidak menjawab. Mengulurkan kedua tanganku. Menyerahkan sepucuk surat dari sekolah. Ibu melirik surat itu lama, lantas melihatku sebentar. Mendengus pelan. Menarik kasar surat itu dari tanganku. Aku tidak tersinggung. Sudah terbiasa dengan sikap tak acuh ibu. Beliau sering menganggapku tidak ada. Kami juga jarang berbincang. Kalau ada keperluan saja aku berani mengajaknya berbicara.

"Ini." Ibu mengembalikan surat itu. Tidak memberikan sedikitpun tanggapan.

Aku menerimanya, menghela napas panjang. Melihat ibu yang tidak bergerak dari tempatnya semula. Hanya membalik lembaran buku yang beliau baca. Ekspresi wajahnya dingin. Tidak menunjukkan rasa gembira barang sedikit. Aku memutar badan, tanpa sadar meremas surat itu. Kecewa. Berjalan masuk. Berlari ke dalam kamarku. Menutup pintu rapat.

Aku tidur tengkurap. Membenamkan wajahku dalam bantal. Hatiku nyeri. Aku bingung bersikap di hadapan ibu. Sekeras apa pun aku mencoba, bibirku kebas saat melihat sorot matanya yang tajam. Mengintimidasi. Seolah mencabik-cabik nyaliku. Sekeras apa pun aku belajar dan menjadi anak baik untuknya, tak pernah ada pujian yang meluncur bebas dari bibirnya. Saat aku sakit pun, ibu hanya memberikan obat. Tak sekalipun memelukku atau membelai kepalaku lembut. Namun, berbeda keadaanya saat aku melakukan kesalahan. Sekecil apa pun beliau langsung bereaksi. Membentak, mencubit bahkan memukulku tanpa ampun. Kalau sudah begitu, hanya Mas Aksel yang menemani, merawatku, bahkan ikut menangis melihat lebam di tubuhku setelah ibu memukulku dengan sebilah rotan.

Aku tidak pernah menuntut apa pun. Hanya ingin disayangi seperti anak-anak lain. Diberikan perhatian dalam pertumbuhanku. Namun, jika kuutarakan, ibu pasti menganggapnya sebuah tuntutan. Aku mengerti. Aku tidak boleh terlalu tamak. Diberikan tempat berteduh saja, harusnya aku bersyukur. Aku sadar posisiku. Ibu bukanlah ibu kandungku, beliau kakak dari wanita yang melahirkanku. Oleh sebab itu aku tahu diri. Tidak berani membantahnya. Tidak berani mengeluh ataupun meminta sesuatu. Aku harus ingat, aku hanya anak pungut di rumah ini.

Samar, aku mendengar ibu dan Mas Aksel berbicara. Aku bangkit dari ranjang. Penasaran. Berjalan ke pintu. Perlahan membuka sedikit pintu itu. Hanya sebatas bisa melihat apa yang sedang terjadi.

"Kau harusnya bisa masuk di SMA itu, Aksel. Otakmu kau taruh di mana? Kenapa malah Nuca yang bisa diterima di sekolah itu? Memalukan!" Ibu duduk di sofa, melipat kedua tangannya di dada. Sedangkan Mas Aksel berdiri di dekatnya.

"Ibu... itu sudah lama berlalu, Bu. Aksel sudah mahasiswa sekarang. Bahkan sebentar lagi memasuki tahun kedua. Kenapa diungkit lagi?" Mas Aksel beralih duduk di samping ibu.

"Tetap saja ibu kesal. Dulu ibu lulusan sekolah itu. Kenapa kau tidak bisa mengikuti jejak ibu? Otakmu bebal. Sama seperti ayahmu. Tidak tahu diuntung." Ibu masih bersungut-sungut tak terima.

"Ibu, jangan bawa-bawa ayah di sini. Kenapa Ibu selalu membandingkan Aksel dengan Nuca? Kami berbeda, Bu. Sudahlah." Mas Aksel mengusap dahi. Aku paham situasinya. Kalau sudah begini ibu akan mengomel terus sampai hari berganti.

"Sebentar, ibu belum selesai. Jangan bantah ibu. Kau tahu, ibu rugi mengeluarkan uang banyak untuk memberimu les privat terbaik. Nyatanya kau hanya diterima di universitas swasta. Bukan universitas negeri ternama. Hasilnya tidak sepadan dengan semua yang ibu pertaruhkan untukmu. Kau terlalu banyak main-main, Aksel!" Bentak ibu. Aku menelan ludah, badanku ikut gemetar. Padahal bukan aku yang berada di situasi itu.

"Ibu ingin kau lebih baik dari Nuca. Ibu tidak mau kau kalah darinya. Cukup ibu saja yang dulu mengalah, tidak kau, Nak. Mengerti?" Kata-kata ibu melunak. Membelai lembut rambut Mas Aksel yang masih duduk diam di sampingnya.

Aku tercenung, mengalihkan pandanganku pada lantai rumah. Merasa iri pada Mas Aksel. Walaupun ibu keras padanya, tetapi tetap lembut memperlakukannya. Andai itu aku. Andai saja.

Aku mendengar langkah kaki mendekat. Secepat kilat melompat ke atas kasur. Berpura-pura tidur. Pintu kamar dibuka, langkah itu semakin dekat. Aku memicingkan mata, tengkurap. Menstabilkan napasku yang masih memburu. Tersengal. Entah siapa yang memasuki kamarku.

"Dasar! Semua ini karena kau, anak sialan!"

Aku terkejut. Seperti tersengat aliran listrik. Itu suara Mas Aksel. Tetapi, dia mengumpat? Dan 'anak sialan' yang dia maksud apakah mengarah padaku? Aku meremas sprei. Aku berharap itu bukan untukku. Setahuku Mas Aksel orang yang sangat santun. Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Mana mungkin dia mengataiku seperti itu. Tidak mungkin.

Aku bergerak. Berpura-pura. Menggeliat layaknya orang yang baru terjaga dari tidur. Mendapati Mas Aksel yang masih berdiri menatapku. Sekilas aku melihat sorot mata penuh kebencian. Saat aku berkedip dan menatapnya kembali, sorot mata itu hilang. Kembali menjadi Mas Aksel yang ceria dan bersahabat. Aku pasti bermimpi tadi. Ya, itu pasti.

"Ka-kau bangun, Nuca?" Mas Aksel tersenyum.

Aku mengangguk, mengucek mata. Menarik badanku untuk bangkit dan duduk di tepi ranjang.

Lengang.

"Mau apa ke kamarku, Mas? Butuh sesuatu?" Tanyaku kemudian.

"Oh... em, mau pinjam kamus. Ya, kamus bahasa inggris. Kau ada, Nuc?" Mas Aksel mengusap tengkuk. Tersenyum lagi.

"Ada. Itu." Aku menunjuk tumpukan buku di meja.

Mas Aksel mengangguk. Mengambil buku itu. "Makasih, Nuc. Aku pinjam dulu, ya."

"Iya. Memang kamusmu di mana, Mas? Bukannya lebih lengkap?"

"Em... aku lupa naruhnya, Nuc. Atau mungkin... dipinjam teman. Aku beneran lupa. He-he..." Mas Aksel tertawa. Sedikit terbata. Menepuk dahinya pelan.

Aku ikut tertawa, "Ya sudah. Pakai dulu saja, Mas."

"Okelah. Aku keluar, ya. Tidur lagi, Nuc. Sudah malam." Mas Aksel berjalan ke luar. Menyempatkan menepuk kepalaku dengan kamus yang tadi dia pinjam.

Aku mengaduh, menguasap kepalaku. Mas Aksel terkekeh. Menutup pintu kamar. Aku mendengus pelan. Tertawa. Menggelengkan kepala. Mas Aksel tidak mungkin mengeluarkan kata sekasar itu untukku. Sikapnya masih seperti biasa. Mungkin dia kesal dengan orang lain, bukan aku.

Next? Vote, share, comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang