7. Melihat wajahnya

422 82 17
                                    

Mobilku maju perlahan. Lebih banyak diam tak bergerak. Kemacetan ini sungguh melelahkan. Setiap hari selalu saja begini. Aku melirik jam di pergelangan tangan, sudah setengah jam aku terjebak. Harus sedikit bersabar hingga perempatan depan. Mungkin saja akan sedikit lengang setelah melewatinya.

Ponselku berdering. Aku mengambil hands-free, memasangnya di telinga kiriku. Menekan tombol, menerima panggilan masuk itu.

"Ya, Mas?"

"Kau sampai mana? Aku dan Sekar sudah keluar kantor. Paling seperempat jam lagi sampai di kafe," tanya Mas Aksel.

"Aku terjebak macet, Mas. Semoga bisa bareng sampainya." Aku menjawab sekenanya, konsentrasiku masih pada jalanan ini.

"Oke. Hati-hati. Aku berangkat sekarang," nasihatnya padaku, lantas memutus sambungan teleponnya.

Aku melepaskan hands-free dari telinga, melemparkannya asal ke dashboard. Mengembuskan napas lelah, mengusap rambutku yang sedikit basah karena keringat. Menoleh ke kanan kiri. Mobil dan motor saling meringsek, memenuhi badan jalan. Wajah-wajah letih tampak jelas terlihat.

Letih, aku pun sering merasakan itu. Ingatan tentangnya masih mengisi seluruh otakku saat ini. Seperti malam itu sepulang dari kafe.

*****
Aku memacu motor pergi dari kafe. Bukan kediamanku yang kutuju melainkan kos Ayu. Sudah pukul sebelas malam lebih. Semoga saja gadis itu belum tidur. Aku hanya ingin melihat wajahnya sekejap saja. Sejak tadi hatiku diliputi rasa tak nyaman. Perkataan Devian membuatku murka. Benar pepatah lidah tak bertulang, segampang itu dia menghakimi hubunganku dengan Ayu. Lelaki itu tak punya hak menilai Ayu, apalagi asal memberinya cap. Padahal akulah yang menjalani, akulah yang merasa, bukan Devian. Aku bahagia dengan Ayu, jadi mengapa sebagai teman dia memintaku mencari gadis lain? Apa Devian ingin aku menjadi lelaki brengsek? Memulai hubungan dengan jenni-jenni itu saat hatiku masih utuh untuk Ayu? Bangsat kau, Devian!

Aku menekan rem keras. Hingga roda motorku berdecit. Aku menatap kamar Ayu, lampunya padam. Mungkin dia sudah terlelap. Namun sungguh, aku ingin melihat parasnya sebentar saja. Boleh, kan?
Aku merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk menelepon Ayu segera.

"Halo, Nuc. Ada apa?" Suara Ayu terdengar berat. Sepertinya dia benar-benar sudah tidur tadi.

"Sudah tidur?" tanyaku basa-basi.

"Tadi iya, sekarang enggak. Ada apa telepon selarut ini?" tanya Ayu. Suaranya terdengar lebih segar dibandingkan sesaat yang lalu.

"Aku di depan kosmu. Bisa turun sebentar?" pintaku.

"Ohh... apa?! Ngapain malam-malam ke sini?" pekiknya tertahan.

Aku menahan tawaku. Nyawanya sudah terkumpul seluruhnya. "Pokoknya turun dulu!" seruku mamaksa.

"Tunggu! Tunggu sebentar, oke?!" Ayu langsung memutus obrolan kami.

Lima menit berlalu, aku melihatnya berlari ke arahku. Sedikit tergopoh. Kedua tangannya berada di dada, mengeratkan cardigan putih gading yang membungkus tubuhnya. Malam itu dingin, meski tak sedingin udara pegunungan. Mungkin efek sehabis hujan seharian tadi. Ayu membuka pintu gerbang, wajahnya terlihat lelah dan mengantuk.

Aku tersenyum, "Selamat malam," ujarku kemudian.

Ayu memukul lenganku, melipat kedua tangannya di depan dada. "Ada apa? Kenapa malam-malam ke sini? Enggak bisa besok saja? Aku harus bangun pagi, besok ada jadwal bertemu dosen pembimbingku," cerocos Ayu, melotot padaku.

Aku tertawa lebar. Gadis dengan bibir tipis cerewet ini yang kurindu. Sungguh. Aku tak bergurau.

Aku menggelengkan kepala, "Enggak ada apa-apa," jawabku santai.

Ayu semakin melotot, "Terus?!" Dia bertanya, menaikkan satu oktaf suaranya.

Aku tertawa lagi. Kali ini semakin keras. Kubekap mulutku sendiri agar tak mengganggu sekitar.

"Kok ketawa mulu, sih? Ada apa?" Ayu mendekat, kali ini mencubit lenganku keras.

Aku meringis kesakitan. Mengusap lenganku. Giliran dia menyeringai menang.

Aku berdiri. Membuka jok motor. Mengambil sebuah paperbag dari bagasi. Lantas menyodorkannya pada Ayu.

"Ini apa?" Ayu mengernyitkan dahi, lantas mengintip isi paperbag itu.

"Itu cake stroberi." Aku menunjuk paperbag itu.

"Oh... makasih, Nuc!" seru Ayu senang. Tersenyum. Bola matanya memercikkan binar menawan. Mata itu, aku suka.

"Masuklah. Sudah malam. Aku cuma mau kasih itu." Aku menutup jok motor. Bersiap untuk pulang.

Dia masih berdiri diam. Memeluk cake yang kubawakan di dadanya. Aku menggigit bibir bawahku. Tanganku terulur, menarik bahunya mendekat. Mendekapnya sebentar. Menghirup aroma vanila dari rambut hitam legamnya. Lantas melepasnya segera.

Aku membalik tubuhku, memakai helm. Dia masih membeku di tempatnya. Tak mengomel seperti biasanya.

Aku berdehem pelan, "Aku pulang, ya. Masuklah, di luar dingin," pamitku.

Gadis itu mengangguk kikuk, lantas berlari masuk ke dalam rumah. Aku menatapnya hingga menghilang dari pandanganku. Aku tergelak pelan. Hatiku lega setelah bertemu dengannya. Dan saatnya aku pulang. Malam yang dingin, seperti yang aku katakan tadi.

*****
Aku sandarkan kepalaku pada jendela. Melihat langit memerah, matahari mulai merangkak naik. Fajar menyingsing dengan gagahnya. Aku melipat kedua tangan di dada. Dingin. Jaket yang kukenakan tak berefek sama sekali. Mataku menyipit saat cahaya mentari menyerempet pupil mataku. Aku masih mengantuk. Jumat malam aku pergi. Memesan taksi online. Lantas menghampiri Ayu di kosnya. Menuju terminal, menunggu bus dengan jurusan yang kami tuju. Aku menoleh, di sampingku ada Ayu yang masih terlelap. Menggunakan bahuku sebagai bantal. Pegal? Pasti. Tetapi aku enggan bergerak. Khawatir membangunkannya.

Dia begitu bersemangat saat aku mengajaknya pergi ke luar kota. Refreshing sebentar sebelum kembali bergelut dengan skripsi yang tak kunjung usai. Mata itu berbinar terang, seperti kelip bintang di angkasa. Bibirnya tak berhenti tersenyum hingga lesung pipinya terpahat sempurna. Manis sekali.

Ayu mengerang pelan. Aku pejamkan mata. Pura-pura tidur. Dia mengangkat kepalanya. Aku tahu karena bahuku terasa ringan. Entah apa yang diperbuat, berisik sekali dia di sebelahku. Sesaat kemudian hening. Hanya terdengar suara mesin bus. Aku penasaran, membuka mata sedikit. Niat hati melirik apa yang sedang dilakukannya.

"Jangan pura-pura tidur, Nuca!" serunya tertahan. Tak enak jika membangunkan penumpang lain. Matanya lurus menatapku. Tersenyum.

Aku berdehem pelan. Tak kujawab. Membuka mataku seutuhnya. Aku tertangkap basah. Malu sebenarnya. Namun, sudahlah. Aku melirik pergelangan tanganku, pukul setengah enam pagi. Dingin sekali.

Ayu mencolek lenganku, refleks aku menoleh padanya.

"Nih!" dia menyodorkan cokelat panas dari termos kecil yang tadi dia bawa. Tersenyum lagi. Aku balas tersenyum. Menerima cokelat panas itu. Meminumnya. Rasa hangat mengalir di kerongkonganku, meluncur hingga ke perut. Lantas menjalar ke seluruh ragaku.

"Masih lama, Nuc?" tanyanya di sela-sela meniup segelas cokelat panas di tangannya.

"Enggak, sebentar lagi sampai di terminal. Lanjut naik angkutan umum dua kali," jawabku.

"Aduh... badanku pegel banget." keluhnya. Bibirnya manyun.

"Ya sudah, senderan saja kepalanya. Siapkan tenaga. Perjalanan masih panjang," tawarku.

"Enggak mau. Mau lihat jalan saja. Biar ada kenangan yang nempel di kepala. He-he..." Ayu tertawa riang.

"Dasar!" Aku menepuk kepalanya pelan. Mengacak rambutnya. Dia tertawa. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

Next? Vote, Share, Comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang