19. Kabar Tidak Terduga

303 69 24
                                    

Aku duduk di kursi. Mataku menyapu setiap inci ruang ini. Kursi-kursi lain sudah ramai diisi pengunjung. Live music pun sudah mengalun merdu. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung menambah suasana hangat dan nyaman. Canda tawa samar-samar terdengar. Hampir semua pengunjung tampak berseri. Ada yang berdua dengan orang terkasih. Ada yang bertemu keluarga. Ada yang nongkrong bersama para sahabat atau kolega. Saling bergerombol dan tentu saja aura bahagia tumpah ruah. Memenuhi langit-langit kafe. Namun, ada pula yang sendirian. Hanya memandang keluar dari balik jendela kaca lebar. Tenggelam dalam lamunannya sendiri. Orang itu aku. Sendiri menyisir pemandangan kota. Gedung-gedung pencakar langit. Asap mengepul dari warung kaki lima di pinggir jalan. Lampu jalanan yang sudah menyala. Langit kelabu, awan bergulung menutupi kerlip bintang. Bulan purnama yang menggantung di angkasa hanya terlihat sebagian. Tertutup awan yang tak kunjung hilang.

Percakapanku dengan Pak Teguh melintas di kepala. Aku tertegun. Apa benar aku bimbang karena perasaan yang kuciptakan sendiri? Dari awal cinta ini bukan aku yang meminta. Bukan aku mengada-ada. Hadir begitu saja. Lantas menetap meski pemilik hati telah lama menepi. Memilih menyingkir dan pergi. Aku embuskan napas pelan. Menundukkan wajah. Menatap sepatu hitamku nan mengilap.

"Nuca?" Suara seorang dara mengagetkanku. Aku langsung mendongakkan kepala. Siapa?

"Kau Nuca, kan?" Aku mengangguk. Berpikir cepat, mencari wajah gadis itu dalam potongan memoriku.

"Astaga! Kau berubah sekali. Tambah tampan sekarang. Kau pulang kerja?" Suara itu riang. Aku mengangguk lagi. Seperti boneka mainan yang menempel di dashboard mobil, mengangguk-angguk tanpa henti. Masih berpikir keras siapa gadis ini?

Tanpa meminta izin, gadis itu langsung melemparkan tubuhnya di kursi, berhadapan denganku. Aku menatapnya. Rambutnya hitam panjang. Anak-anak rambut tertata rapi di dahi. Kulitnya putih bersih. Hidung dan bibirnya mungil, sepadan dengan wajahnya yang juga mungil. Mata hitam berkilauan, sedikit sipit. Memakai gaun midi selutut. Bermotif bunga-bunga kecil tanpa lengan. Meletakkan clutch berwarna baby pink di meja, senada dengan gaunnya.

Gadis itu mengulurkan tangan, aku terdiam sesaat. Menyambut tangannya ragu-ragu.

"Aku jenni. Kau lupa? Ya Tuhan, Nuca ...." Gadis itu terkekeh pelan. Menutup bibirnya malu-malu.

Ah ... Jenni. Iya aku ingat. Aku tak dekat dengannya. Sering melihatnya karena dia pelanggan kafe tempatku bekerja saat masih kuliah.

"Kau kerja di situ?" Jenni menunjuk dada kananku. Aku menunduk, mengikuti arah telunjuknya. Tertera bordiran nama perusahaan tempatku bekerja. Aku mengangkat kepala. Tersenyum simpul. Mengangguk pelan.

"Keren!" mata Jenni berbinar. Untuk sesaat aku terkesima. Binar di matanya laksana milik Ayu. Aku memutar bola mata. Mendengus pelan. Apanya yang keren? Hanya jadi kacung korporasi. Aku tak ingin terbuai pada sanjungan Jenni.

Jenni mengangkat tangan, memanggil pelayan kafe. Memesan segelas minuman. Duduk takzim menemaniku. Aku tak mungkin mengusirnya. Toh ini tempat umum. Aku malah sedikit terhibur, mendengarnya berceloteh tentang berbagai hal tidak penting. Tetapi maaf, aku malas menimpali. Terserah dia merasa diabaikan atau tidak. Bukan aku yang memintanya duduk dan bertahan di dekatku.

"Kau enggak berubah Nuca. Masih saja pendiam seperti dulu. Cuek dan membosankan." Jenni mendengus kesal. Cemberut. Mengerucutkan bibirnya. Tangannya terulur, perlahan menyentuh ujung jariku. Aku melonjak kaget.

"Waw ... Nuca!"

Suara yang sangat kukenal. Aku menoleh cepat. Menarik tanganku. Tersenyum pada kakakku ini.

"Siapa ini?" Tanya Mas Aksel sesaat setelah duduk. Tersenyum miring menggodaku. Diikuti Ayu yang duduk bersisihan dengan Mas Aksel. Aku melirik Ayu. Wajahnya muram. Tampak pucat. Senyum terbit di bibirnya. Dan itu terpaksa. Sangat jelas terbaca.

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang