3. Kekasihku

650 87 30
                                    

"Nuc, menurutmu berakhir bahagia atau menderita kisah itu?" Ayu menutup buku yang dia baca, matanya menatapku penasaran.

"Hmm?? Siapa?" Ujarku tak mengerti.

Ayu berdecak pelan, "Ya Puspita dan Damar-lah."

Aku mengedikkan bahu. Memang tak tahu menahu akhir kisah mereka. Pada akhirnya aku menyimpan surat usang itu. Surat yang bertahan di perpustakaan ini berpuluh tahun lamanya. Entah mengapa tak ada yang menemukannya sebelum kami berdua.

Sejak perkenalan itu aku dan Ayu semakin dekat. Cukup dekat untuk seorang kawan. Kami sering menghabiskan waktu berdua di perpustakaan ini. Meski hening sering menjadi pihak ketiga di antara aku dan dia. Sama-sama tenggelam dalam buku yang kami baca masing-masing.

Sedikit banyak aku tahu latar belakang Ayu. Aku tak pernah bertanya, sebenarnya ingin tapi urung kubuka bibir ini. Ayu dengan suka rela bercerita tentang hidupnya. Dia bungsu dari tiga bersaudara. Kebetulan anak perempuan satu-satunya di keluarga itu. Dia indekos di kota ini. Sama sepertiku. Meski jarak rumahku dan kampus bisa kutempuh satu jam perjalanan, namun enggan untukku pulang ke rumah. Tak ada Mas Aksel di sana. Hanya berdua dengan Ibu, membuatku tak betah.

"Hari ini kerja, Nuc?"

"Iya," jawabku anggukkan kepala.

"Enggak capek? Setiap hari kerja terus di kafe. Enggak ada liburnya," Ayu meletakkan kepalanya di meja, beralaskan tangan di atas buku yang tadi dibacanya. Tangan yang satu bergerak memainkan ujung buku yang sedang kubaca. Sepertinya dia bosan. Aku bergeming. Memilih tak menanggapinya.

"Segitu butuh uangkah?"

Aku hentikan kegiatanku. Sedikit terganggu dengan pertanyaannya. "Bukan itu alasannya. Biar hari cepat berganti. Biar jam lekas berlari. Biar aku segera mandiri. Bisa berdiri dengan kakiku sendiri." Aku menatapnya tajam.

Senyap untuk beberapa saat.

"Kau marah?" Ayu kembali duduk tegak, sorot matanya lurus menembus relung hatiku.

Aku menggeleng cepat, "Aku enggak marah. Aku baik-baik saja."

"Bohong!" tukasnya cepat.

Aku melebarkan kelopak mataku. Gadis itu begitu lantang. Dan ya, aku sedikit terusik dengan pertanyaannya. Terasa tak sopan. Namun, aku suka sikapnya yang apa adanya.

Aku mendesis pelan, "Kalau tahu kenapa bertanya?"

"Kau tak pernah cerita tentang keluargamu. Sama sekali. Kau selalu bekerja bagai kuda. Enggak ada kata lelah di kamusmu. Lantas untuk apa? Salahkah pertanyaanku?" mata Ayu berubah iba menatapku.

Aku terdiam. Kami saling pandang untuk beberapa waktu. Tetap pada posisi itu.

Aku mengembuskan napasku pelan, kembali menunduk. Bergelut dengan buku di hadapanku. Namun, konsentrasiku tak di situ, melayang jauh entah ke mana.

Aku mengerti Ayu berniat baik. Dia mahir menangkap sedikit pun ekspresi di wajah datarku. Bisa mengartikannya dengan tepat dalam sekali tatap. Tak mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, aku belum siap menceritakan latar belakangku. Biarlah waktu yang membuatnya tahu. Entah esok atau kapan aku tak peduli.

"Ya sudah. Enggak usah dibahas lagi," Ayu merapikan buku di meja. Bersiap mengembalikannya. "Kita ke pantai setelah ini," titahnya tersenyum padaku.

Aku sedikit menaikkan ujung bibirku. Pantai. Aku suka pantai. Pada birunya samudra. Ayu tahu itu. Dia selalu membuat keputusan tanpa bertanya dulu padaku, namun aku tak kuasa menolaknya. Karena aku pun inginkan hal itu. Ayu seolah tahu ke mana arah pikiranku.

Kami berjalan keluar ruang perpustakaan. Menuju motorku yang terparkir di samping gedung itu. Dengan segera menyalakan mesinnya, setelah Ayu duduk takzim di jok belakang. Ayu suka sekali kubonceng. Merasakan embusan angin menerpa raganya. Tak ada kegundahan kulit bersihnya terbakar matahari. Selalu riang ke mana pun motorku membawanya. Bahkan berlama-lama berada di tengah udara kotor ibukota apabila kami terjebak dalam kemacetan. Tak jadi masalah untuknya. Gadis yang menarik.

*****
Satu jam berselang. Di sinilah kami sekarang. Duduk di hamparan pasir. Tak terlalu ramai. Bukan akhir pekan, pun libur nasional. Hanya segelintir orang termasuk kami berdua.

Senyap.

Hanya memandang lautan lepas. Menikmati nyanyian ombak berdebur pelan menghantam cadas. Sesekali melihat perahu nelayan di tengah lautan juga ada yang bersandar. Mungkin menunggu nanti malam untuk berlayar mencari ikan. Tenang di sini. Aku melirik Ayu. Gadis itu diam menatap lurus ke depan. Angin memporak-porandakan rambut hitamnya. Menutupi wajahnya. Cantik. Tak bisa kupungkiri. Dia gadis yang cantik. Seperti namanya. Bunga yang cantik. Kalau dipikir, entah mengapa dia mau berkawan denganku. Pria canggung sedikit kata. Tak pernah bisa ungkapakan isi hati. Terlalu takut ditinggalkan, terlalu takut mengambil keputusan. Aku pria yang rendah diri. Aku akui itu. Tempatku tumbuh membentukku seperti itu. Tak berhak melawan. Tak berhak berpendapat.

"Nuca...," panggilnya lirih.

Aku memutar bola mataku. Pura-pura tak melihatnya. "Heem?" Aku mengusap wajahku.

"Kita ini apa?" Dia bertanya. Masih menatap lurus hamparan air.

Aku tertegun sebentar, "Manusia."

"Manusia yang saling memendam cinta? Atau hanya aku saja?" Ayu memutar kepalanya. Kini menatapku tegas.

Aku menoleh. Mulutku kebas. Tak bisa ucapkan kata. Peluh menetes di dahiku, semakin deras kurasa. Apa maksudnya? Sejelas itukah perasaanku terbaca olehnya? Iya. Aku cinta dia. Aku sayang dia. Sejak pertemuan-pertemuan tak sengaja dulu, sebelum aku tahu siapa namanya. Mata kami sering beradu. Sangat sering. Bukan kebetulan. Kalau dipikir lagi, akulah yang selalu mencari sosoknya. Bola mataku selalu mengikuti gerak geriknya. Hingga dia menyadari kalau aku ada. Kalau aku selalu memperhatikannya. Sampai pada hari di mana surat itu menjembatani kami saling mengenal. Saling berbagi rasa penasaran, seakan memiliki ikatan pada surat itu.

Aku palingkan wajahku, mengusap dahiku. "Aku...," aku tak bisa lanjutkan kalimatku. Tenggorokanku tercekat, tak mampu bersuara.

Entah mengapa, aku sulit sekali ungkapkan apa yang kurasa, apa yang kumau, apa yang kusuka. Pun sebaliknya. Susah untuk menolak dan berpendapat. Aku benci aku yang seperti ini. Aku tak suka. Namun, aku tak bisa mengubahnya. Terdengar konyol, tetapi memang inilah adanya. Aku seorang pecundang. Apa Ayu tak salah menambatkan rasa? Apa aku pantas?

"Jangan anggap kau tak pantas, Nuc," ucapnya menatapku.

"Aku__"

"Aku cinta kau. Tak salah, kan?" Ayu tersenyum lembut.

"Kau tau, aku capek menunggumu akui perasaanmu padaku," dia tersenyum lagi. Merapikan helaian rambut yang menutupi wajahnya. "Kita pacaran saja. Gimana?" ujar Ayu masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

Aku ternganga. Gadis ini begitu percaya diri. Bagaimana bisa dia seperti itu? Aku ingin seperti dia, begitu bebas mengekspresikan hatinya. Aku iri. Aku kalah. Aku cinta dia. Tak salah kan jika kami bersama?

Entah apa yang menggerakkan tubuhku. Sejurus kemudian aku mengulurkan tangan, menarik raganya dalam pelukanku.

"Ini apa artinya? Kita jadian?" Ayu ingin memastikan.

"Tak perlu kuucapkan, kau pun tahu, kan?" jawabku masih mendekapnya erat. Membenamkan hidungku di bahunya.

Ayu terkekeh pelan, menganggukan kepalanya cepat. Aku bisa mendengar jantunganya semakin cepat berdetak, pun denganku. Tangannya melingkar di punggungku. Tetap dengan posisi itu untuk beberapa waktu. Ditemani langit merah. Matahari sebentar lagi hilang di kaki cakrawala.

Next? Vote, share, comment




RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang