26. Pelangi

296 58 15
                                    

Aku memejamkan mata. Semua kenangan terlintas di kepala. Mengingat kembali perkataan Mas Aksel waktu dulu. Semuanya benar adanya. Semua itu bukan bualan, semua itu bukan ilusi. Sejak dulu dia membenciku, harusnya aku menyadari hal itu. Harusnya aku tahu, harusnya ....

"Kau ... kau pantas mendapatkan piala Oscar, Mas. Kau berhasil menipuku selama ini." Aku tersenyum menatapnya, mataku isyaratkan kepedihan teramat dalam.

Lelaki itu tertawa, tertunduk. Tubuhnya sampai bergoncang kuat. Aku menatapnya miris.

"Piala Oscar katamu? Lucu sekali, Nuca!" Dia mengangkat kepalanya, menatap mataku tajam.

"Oh ... kau pasti mengira aku tak tahu hubunganmu dengan Sekar bukan? Salah, salah ... haruskah aku menyebutnya 'Ayu'?" Mas Aksel menyeringai, menepuk-nepuk pipiku.

Aku terperangah, dari mana dia tahu tentangku dan Ayu? Dan banyak pikiran lain yang berlari di benakku.

"Kau kira aku dungu? Aksel yang naif dan selalu tersenyum? Persetan dengan itu. Aku tahu semuanya, Bodoh. Bahkan sejak awal, setelah aku memperkenalkanmu dengannya. Aku tahu, aku mendengar percakapan kalian."

Mas Aksel menarik napas panjang. "Aku bungkam. Tapi aku tidak tahan melihatnya. Caramu menatapnya, kalian yang selalu membuang muka saat bertemu pandang. Kau pikir aku tak mengerti semua petunjuk itu? Kaulah yang naif, Nuca!"

Wajah Mas Aksel mendekat. "Aku ingin kau menjauhi Sekar. Jangan kau ganggu dia. Jangan coba-coba mengubah keputusannya!"

Aku terkesiap. Baru tersadar, aku-lah manusia paling menyedihkan. Untuk apa aku menjaga hatinya selama ini? Dia orang yang kuhormati, ternyata penuh kepalsuan. Pandai bermain peran.

"Tapi aku cinta dia, Mas. Aku masih cinta ...," ucapku. Tak lagi bisa kutahan gejolak dalam dada. Mataku terasa panas dan berair.

"Tutup mulutmu. Kata itu haram kau ucapkan. Jangan sampai kejadian di puncak terulang lagi. Jangan kau sentuh dia lagi walau seujung kuku pun!"

Aku menelan ludah. Berpikir cepat. Itu artinya Mas Aksel melihatku dan Ayu malam itu.

"Kenapa? Kau kira aku buta? Aku mengajakmu ke tempat itu agar kau tahu posisimu, bukan bermesraan dengan calon istriku. CAMKAM ITU, BEDEBAH!"

Kami saling pandang sesaat. Mata dan wajah Mas Aksel merah padam. Tangannya bergetar, semakin kuat mencengkram bajuku. Sesaat kemudian, Mas Aksel melepaskannya. Tertunduk.

"Saat ini, aku ingin sekali memukul wajahmu. Tetapi aku tak sudi mengotori tanganku. Ingat kata-kataku tadi. Jauhi Sekar. Sekali kau langgar, aku tak segan untuk menghabisimu. Aku tidak bercanda!" ancamnya. Dia mengangkat kepala di akhir kalimat. Lantas berjalan menjauh, membanting pintu saat keluar dari apartemenku.

Aku terpaku menatapnya. Napasku memburu, dadaku bergemuruh. Tubuhku meluruh, akhirnya terduduk di sofa. Tanganku terulur, mengacak rambutku frustasi. Mengusap tengkukku yang terasa berat.

BRAK!

Aku menendang meja di hadapanku. Cangkir teh terguling, airnya membasahi karpet bulu abu-abu yang menjadi alas meja. Buku dan vas bunga berserakan di lantai. Aku tidak peduli. Aku merentangkan kedua tangan, menyandarkan punggung. Kepalaku menengadah, menatap langit-langit yang dihiasi lampu putih.

"Kenapa jadi seperti ini?" desahku pelan.

*****
Hari Jumat, selepas magrib. Aku mengendarai mobil, menjemput Deni dan Tika. Kami bertiga akan pergi ke puncak. Menginap dua malam di sana. Perjalanan malam itu cukup menguras tenaga. Macet, apalagi akhir pekan. Bisa dipastikan banyak yang melakukan perjalanan ke puncak untuk menghabiskan liburan minggu ini.

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang