9. Sunrise dan Edelweiss

370 77 16
                                    

Pukul empat pagi kami mulai pendakian ke puncak gunung. Mencari spot terbaik berburu sunrise. Jalur pendakian sedikit terjal. Tak selandai sebelumnya. Ayu sangat bersemangat. Tak tampak lelah. Hawa dingin tak menyurutkan antusiasmenya. Udara napas berkabut keluar dari hidung dan mulut kami. Mungkin saat itu suhu udara berkisar 13 derajat celcius. Cukup dingin.

Sekitar pukul lima pagi, kami sudah sampai di puncak. Ada banyak pendaki lain yang lebih dulu tiba. Angin berembus kencang. Langit diterangi cahaya fajar menguning. Sebentar lagi sunrise menjelang.

Ayu menggigil. Aku menyerahkan thermo cup berisi cokelat panas yang sebelumnya Ayu siapkan untuk kami berdua. Dia tersenyum. Membukanya, lantas menyesapnya pelan.

"Dingin banget, Nuc!" seru Ayu melipat kedua tangannya di dada.

Aku merengkuh bahunya. Ayu menoleh. Tersenyum manis sekali.

Sunrise akhirnya datang. Cahaya merah tampak di ufuk timur. Kontras dengan langit kelabu. Ayu mengambil kamera yang sedari tadi tergantung di leherku. Mengabadikan tampilan langit yang berubah setiap detiknya. Awan bagai gulungan kapas berwarna oranye. Kabut putih laksana karpet di bawah sana. Mengambang. Menutup seluruh lembah. Andaikan bisa, ingin melangkah di atasnya, bergandengan tangan dengan dia. Terlalu indah untuk jadi nyata. Bentang alam sungguh memesona pagi itu. Selaras dengan hati kami berdua.

"Indah banget, Nuc. Makasih sudah ajak aku ke sini," senyum Ayu merekah. Pipi dan hidungnya merah merona. Menahan dinginnya udara.

Aku mengangguk senang, "Sama-sama," tersenyum puas.

Matahari semakin tinggi. Sinarnya merambat, menerangi belahan bumi. Aku memutuskan turun bersama Ayu. Sekali dua Ayu memotret pemandangan. Sebelum sampai ke tenda kami, aku mengajak Ayu ke sebuah padang. Di sana terdapat hamparan bunga edelweiss. Ayu berdecak kagum. Berlarian ke sana ke mari. Bibirnya melengkung sempurna. Binar di matanya semakin cemerlang. Tampak cantik meski tanpa riasan. Aku mengambil kamera. Memotret sosoknya di antara milyaran kuntum edelweiss.

Kau tahu, Ayu. Cantikmu memukau jiwaku. Akan selalu begitu. Bagai kuntum edelweiss yang terus mekar di padang hati. Cinta abadi.

*****
Hari minggu, pukul 14.00. Kami selesai berkemas. Langit mendung. Padahal pagi tadi matahari terik. Saatnya turun gunung. Melewati jalur yang sama seperti saat pendakian. Terasa lebih cepat daripada saat mendaki. Hanya sugesti? Tidak. Memang seperti itu. Karena melewati turunan lebih ringan daripada saat menanjak. Sampailah kami di pos satu. Menunggu mobil pick up yang akan membawa kami dan pendaki lain ke kota. Dilanjutkan menaiki angkot dan bus untuk kembali ke ibu kota. Kembali ke rutinitas harian. Skripsi siap menyambut. Revisi siap membuat jam tidur kacau. Mata perih dan berkantung. Mengantuk. Lelah. Dikejar deadline agar bisa wisuda periode depan.

Hujan membasahi bumi. Jalanan, pohon, rumah, gedung, semuanya tak terkecuali. Beruntung aku dan Ayu sudah menaiki bus. Belum sempat terkena guyuran hujan yang menderas. Aku menoleh. Ayu tertidur pulas. Kepalanya bertumpu pada bahuku. Rambut hitamnya menutupi sebagian wajah. Terlihat polos dan damai. Seperti bayi mungil tanpa dosa. Aku tersenyum. Mengembuskan napas pelan. Masih setengah perjalanan. Kupejamkan mata. Istirahat. Berharap terbangun saat bus sampai di terminal tujuan kami berdua.

"Nuc..., Nuca," suara Ayu lembut menembus telingaku. Mataku enggan terbuka. Lengket sekali.

Ayu menggoncangkan bahuku pelan. Memanggil namaku lagi beberapa kali. Ah, malas sekali. Aku benar-benar masih mengantuk. Tidur sebentar lagi tak mengapa, kan?

Cup!

Aku terkesiap. Kecupan lembut mendarat mulus di pipiku. Jemari hangat membelai pelan wajahku. Kubuka mata. Mengerjap-ngerjap. Aku menoleh. Ayu tersenyum. Mata bulat itu berbinar terang. Aku membetulkan posisi duduk. Mengangkat kedua tanganku. Meregangkan otot yang kaku. Meremas bahuku. Mengusap-usap tengkuk. Pegal sekali. Ayu masih setia menatapku dengan segala tingkahku.

Aku menoleh, "Apa?" bertanya malas.

"Sudah sampai terminal, Nuc. Pulang enggak? Mau camping lagi di sini?" Ayu terkekeh pelan.

"Oh... enggak, lah."

Aku bangkit. Mengambil ransel, lantas turun beriringan dengan Ayu. Langsung menuju kamar mandi yang tersedia di dalam terminal. Mencuci muka sebentar. Aku meminta Ayu duduk. Aku tetap berdiri, melambaikan tangan. Memanggil taksi yang masih mangkal di terminal. Sesaat taksi itu sudah berada di hadapan, kami berdua bergegas masuk. Meminta pak sopir tancap gas menuju kos Ayu terlebih dahulu.

Ayu tergopoh turun begitu sampai di depan kos. Aku memutuskan langsung pulang. Tak mampir dulu. Sudah pukul setengah dua belas malam. Kami berdua sudah letih. Mungkin lusa aku akan menemuinya.

"Langsung istirahat," pesanku padanya sebelum dia membuka pintu gerbang.

"Iya. Kau juga. Bye, Nuc." Ayu melambaikan tangan.

"Bye." Aku balas lambaikan tangan. Meminta pak sopir menginjak gas. Pergi dari tempat itu. Melirik Ayu dari kaca mobil. Tepat saat dia masuk ke dalam rumah. Syukurlah.

*****
Aku rebahkan tubuh di atas ranjang. Rambutku masih lembap. Belum kering sempurna. Seluruh badanku pegal. Beruntung besok tak ada jadwal bertemu dosen pembimbing. Bisa istirahat seharian sampai waktu kerja tiba.

Jemariku meraih kamera di atas nakas. Menekan tombol on di bagian atas bodi kamera. Memencet menu, melihat hasil jepretan kami berdua. Indah. Semua indah. Namun, satu yang menjadi favoritku. Potret Ayu dikelilingi edelweiss putih nan cantik. Senyum merekah di wajah. Pipinya penuh rona merah. Matanya sedikit menyipit. Rambut hitam tergerai sedikit berantakan diterpa angin. Tak mengurangi sosoknya yang nyata memesona.

Aku bangkit. Berjalan menuju meja. Meletakkan kamera itu. Lantas mengambil laptop. Menekan power. Kipas laptop berdesing pelan, layarnya menyala. Aku menancapkan kabel data untuk memindahkan file dalam kamera ke laptop. Dalam hitungan menit proses itu terselesaikan. Untuk beberapa saat, aku masih berkutat dengan laptopku.

Pukul 01.00 dini hari. Aku kembali ke peraduan. Belum bisa tidur. Aku lelah. Namun, entah mengapa mataku enggan terpejam. Pikiranku melayang, singgah pada berbagai kenangan dalam hidupku. Masa kecil abu-abu. Juga tentang Ayu. Waktu berlari tanpa henti. Tak kenal istirahat. Dua tahun sudah aku bersamanya. Tak terasa. Banyak hal kami lalui berdua. Aku sudah mengenal kedua kakak lelakinya. Juga ayah ibunya. Pernah beberapa kali bertemu muka saat mereka mengunjungi Ayu. Mereka menerima keberadaanku di hidup Ayu. Sangat baik memperlakukanku.

Dua tahun kami bersama. Tak sekalipun aku memperkenalkan Ayu pada keluargaku. Pada ibu dan Mas Aksel. Ayu sering bertanya. Berulang kali aku mengelak. Mengalihkannya, mencari-cari topik lain. Terakhir saat di gunung. Aku sepengecut itu. Bahkan untuk sekadar cerita latar belalangku saja aku takut. Yang dia tahu, aku seorang yatim piatu. Itu saja. Aku merasa hina. Entah apa alasannya. Aku merasa bukan apa-apa.

Aku menatap langit-langit kamar. Termangu pada baling-baling kipas yang berputar pelan. Meletakkan satu tanganku di dahi. Mendesis getir, "Aku takut, kelak membuatmu tak bahagia bersamaku," menelan ludah, memaksa mataku terpejam. Dadaku sakit. Seperti ditekan kuat-kuat. Aku tak tahu apa ini. Yang pasti aku takut dia menangis. Aku takut membuat dia terluka. Aku takut dia hilang dari hidupku. Aku takut. Terlalu takut.

"Aku takut kau pergi, Ayu."

Next? Vote, Share, Comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang