16. Tamu

329 62 18
                                    

Hari berlalu dengan cepat. Seminggu sudah aku terima kabar keduanya akan menikah. Aku mengembuskan napas lelah. Duduk di atap gedung pencakar langit ini. Menikmati langit merah dari ketinggian. Sebentar lagi matahari bertekuk lutut di kaki cakrawala. Jangan anggap seindah di pantai. Tidak. Polusi mendominasi kota. Kabut asap membuat mata perih. Jarak pandang pun terbatas. Aku menenggak air mineral botol. Membasahi kerongkonganku yang kering kerontang.

Kabar tentang pernikahan itu membuatku berpikir keras. Apa perlu jujur pada Mas Aksel tentang hubunganku dengan Sekar? Aku tak ingin membuatnya terluka. Jangan berharap aku menjadi pendamping pria jika pernikahan ini benar terjadi. Aku tak sudi. Egoiskah aku? Terserah. Selama hidup aku berusaha untuk patuh. Sangat patuh hingga leherku tercekik. Sulit bernapas. Namun, tak ada yang berjalan seperti seharusnya. Aku tetap jadi setitik nila menyedihkan. Tak pernah dipedulikan. Selalu dianggap benalu yang harus dimusnahkan.

"Sampeyan ngapain di sini?" Deni menyentuh pundakku. Lantas duduk di sebelahku. Ikut menatap langit. Aku tersenyum tipis. Dia teman sekantorku. Kami pertama bertemu saat seleksi di perusahaan ini. Ternyata kami berdua diterima. Ditempatkan pada divisi dan kantor yang sama pula. Dan ya, aku lumayan dekat dengan Deni. Dia satu-satunya sahabatku.

"Hanya ingin melihat langit merah. Ditemani polusi yang merajalela," jawabku bergurau.

"Ah ... sampeyan ini!" Deni menyikut lenganku. Tergelak.

"Sebenarnya ada apa? Cerita, Nuc. Aku tahu kalau sampeyan duduk sendirian di sini, bisa dipastikan sedang banyak pikiran." Deni berpendapat. Skakmat. Aku memang sedang banyak pikiran. Terlalu banyak.

"Masalah wanita?"

Mataku membulat. Refleks menoleh. Berusaha menahan mimik mukaku agar terkesan biasa saja. Menelan ludah.

"Ha-ha-ha... wanita apa? Jangan asal menyimpulkan, Den," jawabku melirik padanya. Kikuk. Menggaruk kepalaku yang tak gatal.

Deni tersenyum penuh arti. "Ya sudah kalau sampeyan ndak mau cerita. Wanita itu rumit. Lain di mulut lain di hati. Kadang bilang tidak padahal dalam hati iya. Sukanya bermuka masam, kalau ditanya selalu bilang ndak ada apa-apa. Ah ... makhluk paling absurd di dunia."

Aku mengerjapkan mata. Benarkah ini Deni ya bicara? Jomlo akut dari lahir? Astaga. Tetapi benar apa yang dia katakan. Itulah wanita.

Aku tergelak keras. Disusul Deni yang ikut tertawa. Kembali menatap langit petang. Matahari benar-benar takluk. Hilang sudah. Hanya semburat kemerahan yang masih tersisa. Lampu-lampu kota berpijar. Bunyi klakson melenguh, jalanan mulai padat. Waktu pulang kerja. Seperti biasa, mulai mengular. Dan aku, masih duduk takzim. Enggan pergi. Masih ingin berdiskusi dengan angin kosong. Tak perlu jawaban, ingin didengar saja. Mengangkat tanganku ke atas. Mengepal. Meregangkan otot. Mendongak. Tolong, aku ingin bahagia. Bisakah hilangkan dia dari hati dan pikiranku? Separuh hatiku mengeluh. Separuhnya lagi tak ingin dia hilang. Inginkan dia seutuhnya untukku. Aku lelah dengan perdebatan batinku. Lelah, Tuhan.

*****
Esok harinya, setelah jam makan siang. Kantor mendadak sibuk. Tamu yang dibilang Deni tempo hari, benar datang siang ini. Satu divisi berbenah. Entah siapa yang datang dan berapa orang. Yang aku tahu rombongan ini dari Revinery Unit di Kalimantan. Informasinya sebatas itu. Belum ada yang lain. Para cleaning service cekatan membersihkan ruangan. Managerku menyiapkan berkas laporan. Apa itu diperlukan? Aku pun tak tahu. Aku bekerja seperti biasa. Tak ikut gegap gempita siang itu. Banyak rekanku bergerombol. Bisik-bisik. Menerka apa yang akan dibicarakan dan dilakukan rombongan ini. Ah... aku tidak peduli. Tetap berkutat dengan komputerku.

Tamu itu menyambangi ruangan kami. Dengan beberapa orang. Langsung disambut managerku. Berjabat tangan, beramah tamah sebentar. Lantas masuk ke ruang kerjanya. Aku melihat sekilas. Pastilah beliau orang penting. Perawakannya tinggi, tidak kurus maupun gemuk. Pas. Rambut putih mendominasi. Kaca mata membingkai kedua indra penglihatannya. Beliau mengenakan kemeja putih. Ada logo perusahaan di dada kanan. Sama seperti yang kupakai dan ribuan pegawai lain di perusahaan ini.

Setelah satu jam di dalam, tamu berserta managerku keluar ruangan. Membicarakan sesuatu, aku pun tak paham. Gelak tawa menggema di langit-langit. Menyeruak ke segala penjuru. Aku masih tak peduli. Tetap melanjutkan pekerjaanku. Suara langkah berhenti di hadapanku. Aku mendongak. Managerku memintaku berdiri. Berjabat tangan dan memberi salam pada tamu kami. Bapak itu tersenyum ramah. Menganggukan kepalanya.

"Ini Giovannuca, Pak Teguh. Yang saya bicarakan tadi." Pak Manager menepuk bahuku pelan. Aku tersenyum tanggung. Menganggukkan dagu. Rekan yang lain melirik. Aku tak nyaman menjadi tontonan.

"Kapan-kapan kita berbincang, Giovannuca." Bapak itu tersenyum. Wajahnya teduh.

"Baik, Pak. Maaf, panggil saya Nuca saja," jawabku patuh. Berpikir, apa yang Bapak ini ingin dibicarakan denganku?

"Tolong, Tika. Atur jadwal saya bertemu Nuca, ya." Pak Teguh berseru pada salah satu staf yang ikut dengan rombongannya.

"Baik, Pak Teguh." Gadis itu menjawab. Aku tak asing dengan suaranya. Aku sedikit miringkan kepala. Melihat gadis itu. Rambutnya lurus sebahu. Hitam legam. Poni tertata rapi di dahinya. Dia menundukkan wajah. Mencatat apalah aku tak tahu.

Beberapa detik aku mengamati, gadis itu mengangkat wajahnya. Aku terbatuk. Tersedak ludahku sendiri. Orang yang amat kukenal. Pandangan kami bertemu. Tika terlihat kaget. Tika, jika kalian tak ingat, dia sahabat Ayu. Terakhir bertemu saat aku kebingungan mencari Ayu ke kos mereka. Dan kata-kata tajam menusuk jiwa jadi kenang-kenangan pertemuan terakhir kami. Nostalgia sekali.

Aku mencoba tersenyum. Menundukkan dagu ramah. Dia tersenyum janggal. Syukurlah, setidaknya dia membalas senyumku. Akan jadi canggung dan aneh jika dia tetap jutek seperti dulu.

Rombongan itu tak lama berada di ruang kerjaku. Hanya basa-basi pada kami semua. Lantas keluar meninggalkan ruangan. Aku tak sempat berbicara dengan Tika. Saat keluar dia sempatkan menoleh ke arahku. Hanya sekejap saja, lantas memalingkan wajahnya. Kembali menatap lurus ke depan, berjalan di belakang Pak Teguh.

"Siapa?" Deni menyambar leherku. Penasaran. Aku tersentak, sedetik lalu masih mengamati gadis itu.

"Siapa apanya? Pak Teguh?" Aku tak mengerti. Menarik tangan Deni agar sedikit melonggarkan pitingannya.

Deni berdecak kesal, "Cewek yang tadi, Nuc. Yang rambutnya sebahu. Yang pakai kacamata. Yang tersenyum sama sampeyan. Yang____"

Aku membekap mulut Deni. Bicaranya terlalu banyak. Mendeskripsikan Tika sepanjang dan sedetail itu. Bagai kereta pengangkut sembako. Tak ada jeda. Sinting!

"Sudah. Aku mau kerja, Deni. Sana kembali ke mejamu," hardikku. Melemparkan tangannya yang sedari tadi menggelayut di leherku.

"Nuc, kasih tahulah. Siapa dia? Ayu tenan." Deni duduk di meja kerjaku. Tersenyum dengan wajah menggelikan. Aku menatapnya kesal.

Aku mengangkat bahu. Malas menanggapi.

"Jangan bilang dia mantan pacarmu waktu SMA atau kuliah dulu? Setauku sampeyan jomlo sekarang. Benar begitu, Nuc?" Deni menggerutu. Menyimpulkan sendiri. Aku kembali fokus pada komputerku. Tak memedulikan sahabatku ini. Dia bersungut-sungut menatapku yang masih membisu. Kesal. Lantas kembali ke meja kerjanya. Putus asa menghadapiku.

*sampeyan : kau

Next? Vote, share, comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang