10. Bertemu Sekar

383 81 28
                                    

Titik air membasahi kaca mobilku. Satu dua lantas menderas turun. Ah... apa aku bilang. Akhirnya hujan, hanya menunggu waktu saja. Aku menekan tombol, wiper bergerak ke kanan dan ke kiri, berderit menyeka air. Banyak motor memilih menepi di bahu jalan, memakai jas hujan. Ada pula yang memilih berteduh di warung-warung kaki lima yang bertebaran di samping jalan. Memesan segelas minuman hangat. Tak enak jika hanya menumpang berteduh saja. Dan ada pula yang nekat menerjang hujan. Tak masalah basah kuyup. Asal segera sampai di tujuan. Mungkin pikiran mereka seperti itu.

Akhirnya aku melewati perempatan. Kini, jalanan lebih lengang. Aku bisa menginjak gas lebih dalam. Aku sudah sangat terlambat. Mereka pasti sudah menunggu. Yah, lebih baik terlambat dari pada tak datang. Mas Aksel bisa sangat marah jika aku nekat kabur.

Ponselku berdering. Bisa kupastikan itu Mas Aksel. Tanganku meraba dashboard. Mencari-cari hands-free yang tadi kulemparkan asal di sana. Ah... ketemu. Langsung kupasang di telinga kiri. Menekan tombol. Menerima panggilan itu.

"Ya, halo," jawabku.

"Kau di mana, Nuca? Lama sekali," protes Mas Aksel menyambutku.

"Iya, Mas. Lima menit lagi. Baru keluar dari kemacetan," aku beralasan. Bukan harusnya. Memang kenyataannya seperti itu.

Mas Aksel mengembuskan napas pelan, "Ya sudah. Kau beruntung kali ini. Hatiku sedang berbunga."

"Hmm? Kenapa?" Aku penasaran. Tanganku sigap mengemudi.

Dia tertawa. Aku ikut tertawa. Entah apa alasannya. Hening untuk beberapa saat.

"Kenapa? Kalau enggak mau jawab, aku tutup teleponnya," ancamku bercanda.

"Oke, oke. Sekar. Sekar, Nuc!" Serunya tertahan.

"Sekar kenapa?"

"Sekar terima cintaku. Ah, Tuhan. Senang sekali! Nanti saja aku cerita detailnya," suaranya sangat bersemangat.

Deg!

Hatiku nyeri. Aku tak tahu sebabnya. Aneh.

"Oh... baguslah."

"Cepat kau datang, ya!" Perintahnya.

"Iya. Tinggal melewati satu bangunan aku sampai," jelasku.

"Oke. Aku putus teleponnya. Enggak enak meninggalkan pacarku lama-lama duduk sendirian. Ha-ha-ha..." dia tergelak. Aku pun. Sesaat kemudian sambungan telepon diputus.

Tak berapa lama, aku memasuki area kafe. Memarkir mobilku berdekatan dengan pintu. Hujan makin deras. Aku turun. Berlari. Menangkupkan kedua tangan melindungi kepalaku dari tetesan air. Aku mengusap rambut, wajah dan tangan. Mengeringkan sekenanya. Melangkahkan kaki masuk. Mas Aksel melambaikan tangan padaku. Tersenyum. Aku balas tersenyum. Berjalan mendekat. Semakin dekat. Hingga berjarak tak lebih satu meter dari meja mereka berdua.

Gadis yang berada di hadapan Mas Aksel memutar kepalanya. Mendongak menatapku.

Mata kami bertemu. Aku terkesiap. Badanku seketika dingin bagai disiram air es. Gadis itukah Sekar? Sekar kekasih Mas Aksel?

Aku melebarkan kelopak mataku. Langkahku terhenti seketika. Menatapnya lekat. Menelan ludah. Dia pun sama. Kaget melihatku. Untuk beberapa detik kami saling pandang. Lalu lalang pelayan kafe tampak buram. Home music terdengar lemah. Lama-lama menghilang dari pendengaran. Lantas waktu seolah berhenti. Lampu sorot seakan tertuju pada kami berdua. Seperti dalam film. Terasa dramatis. Jantungku berdetak kencang. Bahkan melompat keluar andaikan bisa. Sukmaku ingin memeluknya. Ingin sekali.

"Nuca! Ayo duduk. Kau ngapain berdiri mematung di situ?" Seruan riang Mas Aksel menelanku bulat-bulat. Memuntahkanku kembali pada kenyataan.

Takdir apa ini? Takdi apa ini, Tuhan?

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang