2. Dia

606 91 18
                                    

Aku beranjak dari ruang kantorku. Berjalan pelan menuju pintu lift. Menunggu pintu itu terbuka. Tersenyum lantas menundukkan dagu jika bertemu rekan kerja yang kebetulan melintas. Kemudian melangkah masuk ke dalam lift yang terbuka, menekan cepat tombol menuju basement. Terdiam, menatap pantulan diriku sendiri di pintu lift laksana cermin. Lelaki berusia 26 tahun dengan wajah datar tanpa ekspresi terpampang di sana. Menyedihkan.

Aku berjalan menuju mobilku yang terparkir. Dengan segera masuk dan menyalakan mesinnya. Keluar dari gedung megah tempatku bekerja. Setelah lulus kuliah, aku beruntung diterima kerja di kantor migas sebagai salah satu process engineer. Langsung memutuskan hidup sendiri di kontrakan kecil dekat kantorku. Tak ingin kembali ke rumah keluargaku, orang tua Mas Aksel. Ingin bisa berdiri sendiri dengan kakiku, membanggakan mereka yang telah membesarkanku.

Baru setahun belakangan aku membeli apartemen sendiri. Setelah menabung dari hasil jerih payahku. Bukan apartemen mewah, namun cukup untukku bernaung. Sedangkan Mas Aksel, saat aku masuk kuliah dia baru saja lulus dan diterima bekerja di bank terbesar di negeri ini. Namun, ditempatkan di luar pulau. Baru dua tahun belakangan dia mutasi kerja di ibukota. Menduduki posisi pimpinan cabang salah satu kantor cabang pembantu bank tersebut.

Jalanan ibukota macet, seperti biasa. Apalagi jam-jam rawan seperti ini, selepas magrib. Aku mendesah pelan. Entah akan sampai sesuai rencana atau tidak ke kafe destiny. Tempat Mas Aksel dan Sekar menungguku. Kepulan asap kendaraan membuat malam ini semakin kelabu dengan polusi. Ditambah lengkingan klakson tak henti-hentinya saling bersahutan melenguh di sepanjang jalan.

Aku letakkan tangan kananku di kening. Mengusap peluh yang menetes. Malam ini terasa panas sekali. Padahal air conditioner mobil kunyalakan. Tak terlalu berkesan untukku. Aku menatap jalanan. Masih saja mengular, tak ada celah untuk lewat. Atau berbalik arah. Aku terjebak di tengah kemacetan ini. Aku tarik tuas handrem. Melepaskan peganganku pada kemudi. Membuka dua kancing teratas kemejaku, lantas menyandarkan kepalaku sejenak pada kursi. Mengamati kelip cahaya merah dari kendaraan yang berpendar-pendar. Anganku menerawang jauh. Mengais kenangan akan Ayu, gadis dalam hidupku.

*****
Enam tahun silam

Saat itu hujan deras, mega menutupi langit. Menjadikannya putih di semua sisi. Butiran hujan menghantam bumi. Membuatku tertahan di tempat ini. Tak bisa melangkahkan kaki. Aku berjalan ke jendela. Menatap luar. Hujan masih turun tanpa ampun.

Mataku teralihkan pada jemari lentik yang menyentuh kaca jendela. Aku menatap empunya. Gadis yang cantik. Rambutnya hitam sebahu. Matanya lurus melihat hujan. Mungkin dia sama denganku. Tertahan di tempat ini karena hujan yang tak juga berbelas kasihan berhenti. Itu kali pertama aku berjumpa dengannya. Saling diam. Hanya dua orang asing yang kebetulan terjebak di tempat ini.

Sejak hari itu aku sering bertemu dengannya. Berada di tempat ini. Perpustakaan universitas. Pandangan kami sering beradu. Membuatnya cepat-cepat memalingkan muka. Aku terkekeh pelan. Cukup terhibur dengan ekspresi wajahnya saat ketahuan mencuri pandang padaku. Pipinya merona, ranum bak stroberi merah merekah.

Hari itu aku ke tempat ini lagi. Iseng. Aku suka membaca. Semua kulahap. Buku autobiografi semuanya. Di samping literatur untuk kuliahku tentu saja. Aku mendapati sosoknya. Duduk takzim dengan buku di atas meja. Rambutnya turun menutupi sedikit wajahnya. Membuatku terkesima. Berdiri menatapnya untuk beberapa lama. Beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya. Mata itu menangkapku yang terpaku menatapnya. Bulat indah bercahaya. Bagai permata. Refleks aku memutar bola mataku. Kembali pada buku-buku yang tertata rapi di hadapanku. Pura-pura memilih buku untuk kubaca.

Tanpa kusadari dia sudah berdiri di sampingku. Mengembalikan buku yang tadi dibacanya. Darahku berdesir pelan. Jarak kami hanya satu meter, cukup dekat hingga tercium aroma parfum dari tubuhnya. Aku meliriknya, kakinya sedikit berjinjit. Kepalanya mendongak, tangannya terulur ingin menggapai sebuah buku. Aku ingin menawarkan bantuan. Tapi bolehkah? Aku terlalu canggung. Bahkan sangat canggung untuk memulai semuanya.

"Maaf, boleh minta tolong?"

Aku tersentak, untuk pertama kali aku mendengar suaranya. Lembut dan tegas dalam waktu yang sama.

"Ten-Tentu," jawabku anggukkan kepala, menoleh padanya.

Gadis itu menunjuk sebuah buku, tangannya tak sampai menggapainya. Dengan cepat aku mengambilnya. Karena terlalu bersemangat, tanpa sengaja sebuah buku lain terjatuh di lantai. Kami berdua langsung jongkok, hendak mengambil buku itu. Maju mundur tangan kami ragu untuk mengambilnya.

Dia tersenyum tipis, "Aku saja yang ambil." Dia mengambil buku itu, kembali berdiri setelahnya.

Aku menyerahkan buku yang tadi ingin dia baca. Dia menerimanya. Lantas mataku teralihkan pada lipatan kertas bermotif bunga di lantai. Aku mengambil kertas itu, sepertinya dari dalam buku yang tadi terjatuh.

"Tunggu," sergahku saat gadis itu hendak berjalan menjauh.

"Iya?" jawabnya penuh tanya, memutar tubuhnya.

"Sepertinya ini dari dalam buku itu." Aku menyodorkan kertas itu padanya. Menunjuk buku yang dia bawa.

"Oh... " Gadis itu menerimanya, entah aku salah atau tidak ada gurat kecewa dari ucapannya.

Dia kembali duduk. Sedangkan aku masih berdiri di antara ribuan buku ini. Melewatkan kesempatanku untuk bertanya siapa namanya. Melewatkan kesempatanku untuk duduk dan berbincang dengannya. Sungguh bodoh.

Tiba-tiba,

"Kau harus baca ini!" Gadis itu menarik lenganku. Memaksaku duduk di sampingnya. Menyerahkan lipatan kertas yang tadi kutemukan.

Aku menatapnya ragu. Dia anggukkan kepala seolah berkata bacalah!. Aku kembali fokus pada kertas di tanganku. Ternyata itu surat. Entah milik siapa. Aku membacanya perlahan, indah namun menyedihkan. itu kesan yang kutangkap.

"Kira-kira punya siapa, ya?" tanyanya antusias.

"Ini ada namanya. Dari Damar untuk Puspita," jawabku melipat kembali kertas itu. Mendorongnya hingga sampai di depan gadis itu.

"Oh, iya. He-he..." Dia terkekeh pelan.

"Tapi... Tapi... Mereka akhirnya bertemu atau enggak, ya? Secara ini tahun 1998. Sekarang sudah tahun 2015. Hebat!" ujarnya berbinar menatapku.

Aku tertegun menatapnya. Gadis ini begitu percaya diri. Berbicara denganku tanpa rasa kikuk sama sekali.

"Entah," jawabku singkat.

"Sayang aja andaikan enggak ketemu. Suratnya bagus lagi," tukasnya kecewa.

Aku menyeringai, "Seperti pujangga mabuk."

Dia menatapku galak, "Nglindur apanya? Bagus kok!"

"Iya... iya. Bagus. Jujur bagus. Tapi seperti orang mabuk." Aku tergelak pelan. Jangan sampai diusir dari perpustakaan ini.

"Dasar!"

Dia tersenyum. Membuat sebuah lengkungan di bibir tipisnya. Memamerkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Cantik. Amat cantik.

Hening untuk beberapa saat.

"Oh, iya. Kita belum kenalan. Namaku Ayu. Namamu siapa?" Gadis itu bertanya, membuka kembali percakapan.

"Aku Nuca."

"Salam kenal, Nuca." Dia mengulurkan tangan, hendak menjabat tanganku. Aku menyambutnya. Kembali gadis itu memberiku seutas senyum.

Sekar Ayu Raharja, itu nama lengkapnya. Aku berkenalan dengannya saat usiaku dua puluh tahun. Saat kuliahku memasuki semester empat awal. Dia seumuran denganku, namun kami beda jurusan. Dia pribadi yang terbuka, mudah bergaul. Berbeda denganku yang serba kikuk. Apalagi untuk mengenal orang baru.

"Boleh minta nomor ponselmu?" Tanyanya siang itu.

"Tentu."

Next? Vote, share, comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang