11. Ada Apa Dengannya?

403 77 27
                                    

Gemercik air jadi pengusik kami berdua. Sekali dua guntur menggelegar. Live music kafe tak bertaji melawan kepungan hujan yang semakin deras turun. Langit terbelah cahaya kilat, laksana retakan tak berpola. Aku masih duduk berhadapan dengan Ayu. Kami bersitatap. Aku mengusap tengkuk. Diam mendengar ucapan Ayu.

"Lihat! Kau tetap diam, kan?" Ayu tersenyum sinis. Memalingkan muka. Menatap rintik hujan dari balik kaca.

Aku menunduk. Menyeringai. Menertawakan diriku sendiri. Pengecut kau, Nuca. Pengecut! Dadaku sesak. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Dan sekarang Tuhan mengabulkan. Aku ingin perbaiki semuanya. Mengapa malah berakhir seperti ini?

"Sudah kuduga, kau enggak akan berubah. Masih Nuca yang sama." Ayu berujar, masih melihat keluar. Tangannya terulur, menyeka matanya yang kian basah.

Aku menggigit bibir. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sungguh tak mengerti. Aku butuh penjelasan, Ayu. Biarkan aku mengerti dan menerima kenyataan. Kau mungkin memang bukan untukku. Namun, berilah alasan agar aku bisa berdamai dengan hatiku.

"Kau benar, Ayu. Aku memang masih sama. Hingga kini masih sangat mencintaimu. Berikan aku alasan untuk melepaskanmu. Merelakanmu bersanding dengan Mas Aksel," suaraku bergetar berat. Menahan buncah emosi dalam dada. Memandangnya pasrah.

Ayu tertoleh kaget. Wajahnya berubah serius.

"Cinta? Kau membual! Jangan ucapkan itu. Cintamu sudah musnah empat tahun lalu. Jangan paksa aku ingat-ingat lagi. Sekuat tenaga aku bangkit. Melepasmu yang ingin bebas dari gadis sepertiku. Kenapa kau bicara cinta? Pembohong!" Ayu meremas tisu di tangan. Mengepal. Suaranya parau. Tertahan dan penuh kesedihan.

Aku tersentak. Apa maksudnya? Membual? Pembohong? Cintaku musnah? Kapan? Sekalipun tidak pernah aku merasa seperti itu.

Apa maksudmu, Ayu?

Bersiap aku menyangkal. Saat itu pula Mas Aksel muncul. Berjalan mendekat. Senyum tak lepas dari bibirnya. Sirna sudah kesempatanku. Bibirku mengatup sempurna. Menelan ludah. Mengubah ekspresi wajahku. Entah berhasil atau tidak. Aku tidak tahu.

"Maaf, lama. Kalian ngobrol apa?" Mas Aksel duduk di sebelah Ayu. Aku tersenyum. Terpaksa. Kikuk merajai raga.

Ayu pun sama. Menoleh pada Mas aksel. Tersenyum tipis. Amat kentara canggung menyelimuti kami berdua. Entah Mas Aksel menyadarinya atau tidak. Dia terus saja berbicara. Mencairkan suasana. Mengajakku bercerita tentang masa kecilku. Aku hanya tersenyum. Mengangguk. Memutar gelas cokelat panasku yang kini terasa dingin. Memainkannya. Ayu sekali dua melirik ke arahku, menyajikan tatapan tak percaya mendengar ocehan Mas Aksel tentangku. Aku maklum, dua tahun kami bersama. Aku tak pernah bercerita detil tentang hidupku. Ini hal baru untuk Ayu.

Aku menatap jalanan. Hujan mulai reda. Digantikan titik-titik air tipis. Laksana taburan tepung di malam hari. Memantulkan cahaya lampu. Kuning, putih juga berwarna -warni. Indah sekali. Aku kurang memperhatikan apa yang Mas Aksel ucapkan. Seperti dengungan masuk ke telinga. Biasanya aku senang mengobrol dengan kakakku. Tapi tidak untuk malam ini. Ah, aku ingin pergi. Bagai paradoks. Separuh jiwaku berkata demikian. Namun, separuhnya lagi masih ingin menetap di sini. Menatap wajah Ayu. Masih sangat rindu padanya. Sekarang aku harus apa? Dua orang paling berharga dalam hidupku kini bersama. Dua orang yang aku inginkan untuk terus bahagia kini saling berbagi rasa. Bukankah ini bagus? Tetapi, aku tak bisa membohongi nurani. Bagaimana dengan hatiku? Bagaimana dengan sisa cintaku untuk gadis itu?

*****
"Nuc, nanti mampir ke rumah, ya," pinta Mas Aksel saat kami bertiga berada di luar kafe. Hendak mengakhiri pertemuan ini.

"A-aku enggak bisa, Mas. Besok ada rapat di kantor," aku menolak. Mengusap tengkuk. Berbohong.

Mas Aksel diam. Aku salah bicara. Sejak dia kembali ke kota ini, bisa dihitung dengan jari berapa kali aku bertandang ke rumah. Lebih sering dia yang datang ke apartemenku. Kadang menginap.

"Tunggu di sini sebentar," titahnya. Lantas berjalan cepat masuk ke kafe.

Aku dan Ayu bersitatap sejenak, lalu saling memalingkan wajah. Tak lama Mas Aksel keluar. Langsung merangkul leherku. Menariknya mendekat. Tubuhku sedikit membungkuk.

"Aku ikut mobilmu. Antarkan Sekar pulang dulu!" Perintahnya. Ternyata Mas Aksel menitipkan mobilnya di kafe ini. Mas Aksel kenal baik pemiliknya. Salah satu nasabah di tempatnya bekerja.

"A-apa?!"

"Sudah! Jangan membantah. Kau pasti kabur kalau aku tak begitu." Mas Aksel semakin erat mendekap leherku. Aku terbatuk. Terpaksa mengangguk setuju.

"Enggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri." Ayu mengibaskan kedua tangannya. Menggeleng cepat.

Mas Aksel melepaskan leherku. Menyentuh tangan Ayu. "Jangan! Kau kami antar. Sudah malam. Jangan menolak," sergahnya cepat.

"Kau enggak keberatan, kan, Nuc?" Mas Aksel menoleh. Melotot.

Aku paham. Tak mungkin berkata tidak kali ini. "Iya. Kau pulang bersama kami saja." Aku mengangguk pasrah. Ayu pun mengangguk setuju.

Kami berjalan masuk ke mobilku. Mas Aksel duduk di depan, di sebelahku. Ayu duduk sendiri di kursi belakang. Aku bersiap. Menyalakan mesin, menginjak gas. Mengarahkan kemudi keluar dari area kafe. Mas Aksel memposisikan diri sebagai navigator. Aku ikuti arahannya. Menuju rumah Ayu. Jujur aku mengambil keuntungan dari hal ini. Mengetahui kediaman Ayu. Setelah empat tahun kami lost contact sama sekali.

Tanpa kusadari mataku berulang kali melirik kaca spion yang tergantung di plafon. Berpura-pura mengamati objek di belakang mobil. Padahal bukan itu tujuanku. Aku mencari pantulan sosok Ayu. Wajahnya tepat tertangkap kaca itu. Menunduk, menyamping. Merapikan rambut. Mengusap wajahnya. Segala tindak tanduknya.

Tiba-tiba matanya menatap lurus kaca itu. Memergokiku yang tengah terpaku melihatnya. Secepat kilat kuputar bola mata. Kembali mengamati jalanan malam. Berdehem pelan. Jantungku berdetak cepat. Keringat menetes di dahi. Bodohnya aku. Bodoh kau, Nuca!

Hanya berselang lima belas menit, kami sampai di kediaman Ayu. Rumah asri dengan halaman cukup luas. Bangunannya tidak kecil juga tidak besar. Sedang apabila dihuni seorang diri atau keluarga kecil. Lingkungan komplek tenang. Dihiasi lampu temaram di pinggir jalan. Rumah Ayu terletak paling ujung. Seberang rumahnya ada taman komplek yang ditata sedemikian rupa. Ada beberapa pohon palem menjulang tinggi dililit lampu kelap-kelip kecil seakan berlarian mengitari pohon itu. Cantik.

"Makasih, Mas. Makasih, Nuca. Maaf, aku enggak persilakan mampir. Sudah terlalu malam," ucap Ayu sebelum turun dari mobil. Aku mengangguk.

"Iya. Hati-hati, Sekar. Sampai jumpa besok," balas Mas Aksel. Sedikit memutar tubuhnya. Menatap Ayu. Gadis itu mengangguk, lantas turun. Ayu berdiri di depan pagar rumahnya. Melambaikan tangan. Tersenyum simpul. Sedikit melirik ke arahku. Ah, jangan berharap, Nuca. Itu pasti hanya perasaanku saja.

Mas Aksel menurunkan kaca jendela. Melongok. Tangannya terulur seperti nyiur melambai-lambai. Tidak menghiraukan mobil yang telah melaju. Konyol sekali.

"Hah!" Mas Aksel mengembuskan napas keras. Setengah berteriak. Kembali menaikkan kaca hingga tertutup rapat. Duduk takzim di sebelahku.

"Aku mimpi apa semalam. Gadis secantik itu mau terima cintaku. Aku mimpi apa, Nuc?!" Mas Aksel meremas bahuku. Menggoncang-goncangkannya.

"Woi... nabrak entar, Mas! Dasar gila!" Aku berteriak. Mengendalikan kemudi. Kembali ke lajur yang benar.

Mas Aksel tergelak keras. Aku ikut tertawa. Menggeleng-gelengkan kepala. Kakakku ini begitu bahagia. Aku tidak mungkin merusak harinya. Ya Tuhan, apa aku harus merelakan Ayu? Meski hatiku jelas tak inginkan itu. Satu-satunya gadis yang namanya terprasasti dalam relung jiwaku.

Next? Vote, share, comment

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang