25. Kenangan Buruk 2

234 51 16
                                    

Hari itu tepat seminggu setelah ulang tahunku yang ke-18. Aku menerima surat yang menyatakan kalau aku lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri terbaik di kota ini. Lebih membanggakan lagi, aku diterima melalui jalur undangan. Tanpa melalui tes tertulis, hanya melalui nilai rapor.

Siang yang terik. Aku berada di teras rumah. Duduk di pagar langkan yang terbuat dari beton. Menengadah. Melemparkan pandanganku pada langit biru berhias awan seputih kapas. Awalnya awan itu berbentuk buah anggur, lambat laun bertransformasi menjadi wajah seorang wanita. Dalam anganku dia tersenyum, menatapku bahagia. Aku ikut tersenyum, layaknya anak kecil yang mendapatkan pujian dari sang ibu karena berlaku baik.

Tidak lama kemudian, terdengar suara mesin mobil mendekat. Lambat laun berhenti di halaman rumah. Pintu mobil dibuka, terlihat ibu dan Mas Aksel beriringan keluar. Berjalan masuk ke dalam rumah.

Seketika aku berdiri, menyambut kedatangan keduanya. Aku bersiap memberi kejutan. Mulutku sudah terbuka saat itu.

"Aksel, Ibu mau istirahat. Jangan ada yang mengganggu!" Ibu memberikan penekanan di akhir kalimat, menyerahkan tas jinjingnya pada Mas Aksel.

"Iya, Bu." Mas Aksel menerima tas itu.

Aku menutup mulut rapat, menundukkan kepala. Membiarkan Ibu berjalan melewatiku begitu saja. Tanpa melirikku sedikit pun. Tidak berani lagi aku menyela. Kata-kata Ibu cukup menarik nyaliku mundur teratur. Seperti pecundang yang tunggang langgang sebelum perang dicetuskan.

Mas Aksel mendekatiku, tersenyum. "Apa itu?" Dia menunjuk kertas yang masih kupegang erat.

Aku mengangkat kepala. "Ini ... ini surat pemberitahuan dari universitas. Aku diterima, Mas."

Senyap beberapa saat.

"Oh ... wow. Hebat kau, Nuc. Hebat!" Mas Aksel meremas bahuku. Suara tawanya nyaring terdengar. Aku ikut tertawa.

"Biar kusampaikan surat itu pada Ibu."

"Apa tidak merepotkan, Mas?"

Mas Aksel berdecak pelan. "Kau ini, seperti sama orang asing saja. Berikan suratnya."

Aku menggaruk kepala, menyerahkan surat itu ke tangan Mas Aksel yang sudah sedari tadi menunggu.

"Terima kasih, Mas."

Mas Aksel mengangguk. "Aku masuk dulu, ya."

Mas Aksel mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Baru beberapa langkah, dia memutar raganya.

"Ah, aku sampai lupa. Selamat atas diterimanya kau, Nuca. Semoga kelak kau sukses, ya," ucapnya, lantas kembali berjalan.

Aku tersenyum senang. Mas Aksel orang pertama yang memberiku ucapan selamat.

Beberapa hari berlalu. Ibu tidak berkomentar tentang surat itu. Ingin rasanya bertanya, tetapi aku segan. Aku gelisah. Hatiku tidak bisa tenang. Bagaimanapun Ibu harus mengetahuinya. Beliau adalah waliku satu-satunya.

Malam itu, kami bertiga makan bersama. Aku melirik Ibu. Beliau sudah selesai. Aku pun. Sebelum Ibu beranjak, aku bulatkan tekat untuk bertanya.

Aku mengambil napas dalam, berdehem pelan.

"I-ibu ...," panggilku terbata.

Ibu menoleh, menatapku lurus. Datar seperti biasanya.

"Ibu sudah membaca surat dari Nuca?" tanyaku.

Ibu mengerutkan dahi. "Surat apa? Tidak ada surat."

Aku menelan ludah. Bukannya surat itu kutitipkan pada Mas Aksel beberapa hari yang lalu?

RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang